Thursday, December 31, 2015

Ketika Akhirnya Bumi Sekali Lagi Menyelesaikan Satu Putarannya Terhadap Matahari


Bumi butuh waktu 365 hari untuk mendapat satu putaran mengelilingi matahari. Atau mungkin lebih tepatnya 365,25 hari.

Hari ini bumi telah resmi mendapatkan satu putaranya, lagi. Jika Tuhan mengizinkan, bumi akan mulai untuk putaran baru berikutnya beberapa menit setelah saya selesai menulis ini.

Jika itu terjadi, kita, manusia akan kembali mulai hari-hari dengan hitungan baru. Hari pertama, di bulan pertama, tahun baru 2016.

Saya tidak tahu sudah berapa kali tepatnya bumi berhasil menyelesaikan satu putaran matahari. Milyaran yang jelas.

Lucunya, gerakan ini terlanjur dinamai gerak revolusi bumi. Kenapa? Ada yang bisa jawab? Saya justru jadi penasaran siapa yang pertama mencetuskan istilah ini. Seolah setiap 365 hari berlalu kita akan tergerak untuk berevolusi. Ini kah kenapa setiap pergantian tahun orang-orang akan saling bertanya soal resolusi? hahaha. entah...

Bagi saya selama ini pergantian tahun tidak pernah menjadi momen spesial. Apa yang sering lakukan ketika tahun berganti adalah hanya mengganti kalender dengan yang baru. Saya tidak suka kembang api. Berisik. Saya juga memilih tidak keluar rumah. Macet.

Tapi manusia ada di dalam sistem yang berjalan dengan skema tersendiri. Meski saya tak suka menandai pergantian tahun dengan momen khusus, bumi tetap akan membawa saya berevolusi bersama. Dan sekarang saya bersama bumi dan manusia-manusia yang sedang melontarkan kembang api akan bersama meninggalkan 2015, yang bisa jadi merupakan tahun spesial.

Bagi Indonesia ini tahun konsolidasi. Khususnya dengan pemerintahan yang baru dan pertumbuhan ekonominya. Begitu juga saya. 2015 rasanya tahun penantian untuk ajakan bertualang di zona yang baru yang sudah saya terima. Keputusan terbesar yang mungkin pernah saya lakukan selama hidup akan menjadi pembuka lembar revolusi saya yang baru. Jadi, selamat mencapai revolusi berikutnya!

sumber gambar: dari sini

Tuesday, December 8, 2015

Ketika Kita Masih Ada di Zaman Di mana Sosial Memutuskan Apa Tugas Laki-Laki dan Perempuan



"Darimanapun cewenya, kalau serius jangan pernah disakitin, kasian bapaknya ngerawatin dari kecil," begitu celetuk pacar teman saya di grup chat, di mana saya juga tergabung.

Sepanjang yang saya tahu, sebelumnya teman-teman dalam grup itu sedang ribut membicarakan rencana pernikahan teman saya dan pacarnya tadi. Menikahnya awal tahun depan.

Ketika membaca celetukan itu, tiba-tiba fokus saya berganti. Saya jadi bingung dengan maksud si pacar, yang mari kita inisialkan dengan P. Jadi siapa yang ia perhatikan? si cewe atau bapaknya?

Tapi yang jauh lebih penting, lalu dianggap apa si cewe ini? peliharaan? atau barang, yang kepemilikannya kemudian dipindah tangankan dari bapaknya ke suami?

Saya bingung dengan P, apakah tidak cukup hanya mengatakan, "darimana pun cewenya kalau serius jangan pernah disakiti"? stop di situ. Itu akan terdengar lebih manusiawi kan? Terlebih yang ia sebut hanya "bapak" sebagai sosok yang sudah merawat teman saya dari kecil. Kemana ibunya?

Dari cara ia menyusun dan memilih kata-kata, si P bukannya menampilkan dirinya sebagai calon sosok laki-laki yang penuh tanggung jawab, (mugkin) seperti yang dia harapkan. Ini justru, di mata saya, adalah perkataan seseorang yang narsis dan memandang rendah si calon istri dan perempuan pada umumnya.

Anehnya tidak ada yang protes di grup itu. Anehnya lagi, karena tidak ada yang protes lama kelamaan saya jadi bertaya-tanya apakah saya terlalu berlebihan menyikapi celetukan si P?

Saya sadar, persoalan menanggapi masalah gender ini juga disetir oleh tanggapan sosial. Dan itu sudah terbiasa kita terima begitu saja. Bahwa laki-laki adalah penjaga, dan perempuan itu rapuh jadi harus dijaga. Bahwa perempuan itu dimiliki dan yang punya hak memiliki perempuan adalah laki-laki, dalam hal ini bapak atau suami.

Dan sesungguhnya kebiasaan mendikotomi peran gender ini sudah terkonsep sejak lama. Itu membuat sampai akhirnya tak ada yang sadar sistem ini sangat mendeskriminasi. Padahal, dengan membaca celetukan si P itu saya jadi teringat masa di mana perempuan hanyalah dianggap sebagai harta rampasan dari laki-laki ke laki-laki lain.

Si P ini bisa jadi merupakan korban dari kebiasaan sosial itu. Kalau diingat-ingat, suatu hari saya juga pernah mendengar P secara spesifik mendeskripsikan pekerjaan si calon istri ketika berumah tangga nanti. Saat itu saya dan beberapa teman, termasuk teman saya yang menjadi calon istri P itu mengunjungi rumah si P untuk sebuah acara syukuran kecil-kecilan.

"Nih neng, belajar siap-siap nanti kalau udah nikah," kira-kira itu yang dia katakan sambil menumpuk piring kotor. Teman saya itu patuh. Ia segera mengambil alih tumpukan piring kotor itu dan membawanya ke bak cuci piring.

Oke. Sebenarnya saya mengakui ini bukan masalah, selama si teman saya tadi juga tak mempersoalkan atau menggerutu macam-macam. Ia jutru terlihat tersipu-sipu karena mungkin si calon suami terkesan memamerkan "hubungan mereka yang sudah sangat serius" itu di hadapan teman-temannya.

Jadi masalahnya?

Masalahnya adalah, semua ini akan menjadi hulu ke persoalan yang lebih kompleks. Laki-laki yang merasa dirinya meng-hak-i perempuan ini yang 7akhirnya berbuntut perilaku KDRT, entah itu secara psikologis maupun fisik. Laki-laki akhirnya jadi punya bahan untuk menuding perempuan bukan istri yang baik ketika melihat rumah yang berantakan, masakan yang kurang asin, atau anak yang nakal. Istri akhirnya dilarang berkarya dan menggapai cita-citanya karena harus fokus pada "tugas"-nya.

Mari kita runut apa sebenarnya yang membuat label dapur pada jidat perempuan dan label pekerja pada jidat laki-laki itu sulit untuk dilepas.

Konsepsi pembagian peran yang akhirnya dianggap biasa oleh seorang laki-laki dan perempuan dewasa sesungguhnya sudah terjadi sejak mereka belum lahir. Ingat? Beberapa kado yang berdatangan untuk si calon bayi atau bahkan yang dibelikan oleh orang tua si calon bayi kebanyak lebih dulu melalui pertimbangan, seperti : "Ini untuk cewe atau cowo, ya?"

Dan akhirnya pemikiran itu disederhanakan dengan, kalau warna pink atau ungu itu untuk perempuan. Kalau warna biru, merah, hijau itu untuk laki-laki. Pertimbangan itu pun kemudian dipermudah oleh beberapa produsen pakaian yang secara jelas melabeli merk-nya dengan "girl" dan "boy". Seakan keduanya adalah spesies yang berbeda.

Sally Peck, Editor the Telegraph juga pernah mengulas, sejak anak perempuan dan laki-laki lahir, mereka memang telah menerima perlakuan yang berbeda. Berdasarkan sebuah studi, orang tua akan berbicara dengan bayi perempuan lebih lama. Sementara, mereka akan membiarkan anak laki-laki bermain lebih jauh dari mereka dibanding anak perempuan.

"Anak laki-laki menjadi jauh lebih aktif saat mereka tumbuh dewasa, karena orang tua mendorong anak laki-laki mereka menjadi sporty, sedangkan anak perempuan didesak untuk bersabar dan tenang," kata seorang Psikolog dari Universitas of Kentucky, Christia Spears Brown, dalam ulasan Peck tadi.

Hmm..Kalau di kita, akan sering dengar kata-kata begini: "Eh, anak cowo nggak boleh nangis!" atau "Eh anak cowo nggak papa kalau jatuh..". Iya nggak? iya dong...

Stereotip datang tak cuma dari pakaian dan cara mendidik orang tua. Pemisahan konstruksi gender juga dimunculkan oleh perusahaan mainan. Ini seperti yang dikatakan oleh Jess Day, yang merupakan anggota dari grup kampanye Let Toys Be Toys.  

Sekarang bisa kita lihat, kebiasaan yang sudah dianggap lumrah adalah, pengelompokan mainan untuk laki-laki dan perempuan. Di dalam kelompok mainan yang dilabeli sosial sebagai mainan laki-laki, kita bisa menemukan robot-robotan, mobil-mobilan, bola, juga tembak-tembakan. Lalu di zona yang katanya untuk perempuan itu, kita akan menemukan miniatur peralatan masak, boneka, miniatur rumah-rumahan, dan sebagainya yang kebanyakan diwarnai dengan pink atau ungu.

Dampaknya? Kita pasti merasa, beberapa lahan olahraga akan sangat sulit dilepas dari zona maskulin dan ya itu tadi, wilayah rumah tangga, masak-masakan, merawat anak dianggap ranah perempuan dan sama sekali tidak pas untuk manusia berpenis.

Sementara kata Day, penelitian oleh the Welsh Organisation menunjukkan anak-anak pada usia Balita sudah memiliki ide yang sangat jelas tentang pekerjaan yang cocok untuk anak laki-laki dan perempuan. "Ini akan sangat sulit untuk diubah," tegasnya.

Memang, ketimpangan antara laki-laki dan perempuan mungkin dampaknya tidak selalu harus kepada kasus KDRT. Setidaknya, kasus P tadi adalah contoh saat ini masih banyak yang belum sadar pembagian peran berdasarkan gender itu adalah konsepsi basi!

Namun, kebiasaan di lingkup siosial seperti ini lah yang membuat perempuan, mungkin tanpa ia sadari, hidup dengan ribuan tuntutan di otaknya. Ini akhirnya yang membuat orang berpikir mendidik perempuan itu jauh lebih sulit dibanding mendidik anak laki-laki.





Tambahan bacaan:
http://s.telegraph.co.uk/graphics/projects/parenting-gender-neutral/

Sumber gambar dari sini