Tuesday, March 14, 2017

Lagi-Lagi Soal Pelecehan Seksual




Saya lupa awalnya bagaimana, tapi tiba-tiba pembicaraan soal pelecehan seksual muncul di salah satu grup chat saya. Kemudian ada yang mengajukan pertanyaan atau lebih tepatnya semacam polling mengenai apa sih yang menyebabkan terjadinya pelecehan secara seksual?

Ada yang nyeletuk karena hasrat seksual tidak terkendali. Ada yang bilang itu karena adanya kesempatan, kondisi sepi, atau keadaan masyarakat yang renggang. Ada juga yang berpendapat itu karena rasa superioritas. Di antara banyak pendapat itu ada satu yang mengganggu saya. Dia mengaku miris melihat perempuan dengan hot pants yang buka dikit joss (ini istilah dia).

“Kesempatan dan niat memang. Saya pribadi, kalau masuk mal, lihat begituan, kalau ada kesempatan, pengen saya bilangin: ‘kasian orang-orang lain, kulit dan tubuh mulusmu jangan kau umbar, karena yang kena bukan kamu, tapi orang lain, yang kebetulan berposisi lemah’. Soal ilmiah, penelitian macem-macem itu kan cuma omong kosong. Buktinya masih banyak orang yang melakukan kekerasan seksual,” begitu kemudian lengkapnya dia menambahkan pendapatnya.

Oke. Saya akui saya cukup, atau bahkan sangat sensitif dengan pembicaraan soal begini. Tapi kalau di depan orang yang tidak begitu kenal, saya lebih memilih menahan diri dan tidak ikut komentar karena takut saya bisa berapi-api di depan dia.

Cuma begini, saya menangkap argumen itu sedang menempatkan laki-laki sebagai korban. Laki-laki itu lemah sehingga pasif dalam menanggapi “serangan” perempuan berbaju mini. Dan jangan salahkan laki-laki kalau mereka tiba-tiba hilang kesadaran, gelap mata, seperti orang kesurupan, atau khilaf bahasa umumnya, kemudian menyerang perempuan berbaju mini tadi. Kadang tanpa sadar (atau sengaja sih?) banyak orang menempatkan laki-laki semacam makhluk barbar yang otaknya berada di selangkangan. Bukankah ini juga pelecehan untuk laki-laki?

Saya cukup sering mendengar pembenaran seperti, laki-laki nafsu melihat tubuh perempuan itu wajar. Itu sifat alami mereka. Jadi jika mereka mencolek payudara perempuan itu karena terbawa naluri. Sudah alami mereka bersikap begitu. Apa konsekuensinya? Ya sudah tidak bisa disalahkan. Makanya perempuan saja yang harus diperbaiki. Bungkus rapat-rapat lah tubuh perempuan kalau tidak mau tiba-tiba diterkam laki-laki di pinggir jalan. Perempuan harus jaga diri, karena banyak laki-laki yang gagal menahan nafsunya!

Emang beneran begitu apa? Dulu waktu saya duduk di kelas 6 SD, saya belum mengenakan jilbab. Tapi saya ingat saya pakai kaus hitam lengan panjang yang tertutup sampai di bawah batas leher dan celana jeans panjang sampai mata kaki.

Waktu itu siang hari. Kondisi memang sepi, karena kami bertiga, saya dan dua kawan perempuan saya iseng jalan-jalan ke belakang areal masjid yang masih berupa kebun. Dari arah berlawanan ada seorang bapak, sudah agak tua, berjalan ke arah kami. Saya kaget karena si bapak tiba-tiba meremas payudara sebelah kanan saya. Saya takut, tapi saya tidak lari. Kalau lari kedua teman saya pasti akan bertanya dan saya malu jika harus menjelaskan. Maka saya juga tidak teriak.

Kejadian berikutnya waktu saya SMP. Itu terjadi di angkot yang membawa saya pulang dari sekolah. Angkot berhenti untuk mengangkut seorang bapak, yang juga tak lagi muda. Bapak itu duduk di sebelah kanan saya. Angkot yang terisi penuh membuat si bapak makin mepet duduknya di sebelah saya. Saya yang saat itu cuek dan terus ngobrol dengan teman di depan saya, tidak sadar sejak kapan rasanya ada tangan masuk ke saku rok sebelah kanan. Tangan itu tidak bergerak. Cuma diam di sana sambil meraba paha saya. Ketika sadar saya langsung diam. Tidak lagi mood ngobrol. Dan reflek langsung menyikut bapak di sebelah saya itu. Dia sempat menarik tangannya sebentar. Tapi tak lama, karena tangan si bapak kembali masuk saku rok saya. Itu sampai akhirnya penumpang berangsur turun. Saya bisa geser menjauh dan si bapak seperti takut ketahuan karena kami sudah berjarak. Sialnya bapak itu tidak juga turun sampai penumpang hanya tinggal kami berdua di belakang. Rumah saya memang cukup dekat dengan pangkalan angkot, jadi saya cukup sering menjadi satu-satunya penumpang yang tertinggal. Saya sangat bersyukur ketika akhirnya bisa keluar dari angkot itu. Tapi ketika keluar, bapak yang sudah pindah duduk di samping pintu itu tidak diam saja. Di samping telinga saya, dia mengeluarkan bunyi decakan yang membuat saya sangat tidak nyaman.

Untuk ketiga kalinya saya mengalami kejadian serupa. Waktu itu sudah kuliah. Saya sudah pakai jilbab. Kondisi sepi karena saya sedang lari pagi sehabis waktu solat subuh. Saya lari di rute biasanya, jalan raya kompleks. Tidak ada pikiran buruk apapun ketika itu. Saya memang suka lari pagi waktu mobil dan motor belum berseliweran. Tapi pagi itu, tiba-tiba saya merasa ada yang tidak beres. Saya mulai sadar kalau di belakang saya ada suara motor yang berjalan pelan seperti mengikuti. Saya percepat lari saya, motor itu tetap terus menjaga posisi, persis di belakang saya. 

Bohong kalau bilang saya tidak takut. Apalagi tidak ada orang di sekitar situ. Tiba-tiba orang itu, dari arah belakang, menjulurkan tangannya dan meremas pantat saya lengkap dengan seruan tidak mengenakkan dari mulutnya, sambil tancap gas. Saya marah, kaget, sekaligus bingung. Mata saya belingsatan mencari batu besar yang mungkin bisa saya lempar dan mampu memecahkan kepalanya seketika. Karena tidak ketemu juga, saya cuma bisa meneriakinya dengan semua makian yang melintas di otak saya.

Pagi itu, lari pagi saya tidak sampai setengah jam. Saya langsung lari pulang. Butuh waktu lama untuk akhirnya saya berani lari pagi sendirian lagi. Bahkan sampai sekarang saya suka merasa gelisah jika mendengar suara motor yang berjalan pelan di belakang saya. Amarah itu pun masih ada. Bahkan ketika menuliskan cerita ini saya masih sangat menyesal kenapa di sekitar saya tidak ada benda yang bisa membuat orang itu mati di tempat.

Itu juga yang membuat saya tidak bisa tidak marah ketika ada seseorang yang malah menyalahkan busana perempuan ketika mereka adalah korban. Coba tunjukkan pakaian saya yang mana yang salah sehingga membuat saya PANTAS dilecehkan? Atau apa? Saya salah karena saya hanya diam? Tidak teriak? Atau saya salah karena saya yang perempuan ini jalan-jalan di tempat sepi atau saya salah besar karena lari pagi sendirian? Saya tidak cukup terampil menjaga diri dan hanya memancing orang berbuat mesum pada saya? Saya salah karena saya tidak segera turun dari angkot ketika tahu paha saya diraba? Atau saya salah karena saya kan bisa saja minta tukar posisi duduk dengan teman saya. Begitu?

Kadang saya berpikir, mungkin kah lebih mudah berpikir untuk mengatur perempuan, baik dalam berpakaian maupun bertindak dibanding memikirkan cara mengatur nafsu untuk berbuat mesum. Apapun alasannya, perilaku mendobrak privasi orang lain itu sudah salah. Logika membenarkan itu. Apakah ketika kemalingan, yang dipenjara yang punya rumah? Apakah ketika dijambret yang dihukum yang dijambret? Ini logika darimana?

Ketika teman saya di grup itu mengaku cukup miris melihat perempuan memakai pakaian mini yang dinilai bisa menggerakkan naluri laki-laki, saya justru miris ketika orang beramai-ramai membenarkan alasan ini, bahkan di TV. Korban pelecehan ini sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sudah dirugikan karena tubuhnya dijamah tanpa izin, masih harus menanggung malu dan disalahkan semua orang.

Saya cukup kecewa, karena pikiran ini bukan hanya menjangkiti laki-laki. Bahkan sesama perempuan juga banyak yang lebih dulu mencari “kesalahan” si korban pelecehan dibanding mendengarkan ungkapan ketakutan dan rasa malu korban setelah dilecehkan.

“Etapi dianya kan emang bukannya suka gitu ya sama cowo. Itu sih gue bilang emang dari cewenya dulu sih. Kalau cewenya nggak ngasih kesempatan ya nggak bakalan jadi,” begitu kata salah satu teman perempuan saya sewatu saat ketika menanggapi kasus pelecehan yang pernah terjadi di sekitar kami.


Saya cuma diam. Malas menanggapi. Saya cukup tahu teman saya ini sudah lebih dulu diyakinkan lingkungannya untuk mempercayai hal-hal semacam itu. Saya malas berdebat. Dengannya, saya berjanji pada diri sendiri, tidak akan lagi membahas hal semacam ini atau saya bisa-bisa malah menjauh darinya dan malas berteman dengannya lagi. 



*) gambar dari sini

Menyuarakan Pilihan Bersama Ash, Rosita dan Meena



Berlatar di dunia metafora di mana hewan menjalani kehidupan layaknya manusia, lewat film animasi Sing (2016), seekor koala jantan, Buster Moon (Matthew McConaughey) berusaha untuk menghidupkan kembali gedung teater warisan ayahnya. Ia kehabisan akal karena bisnis teaternya tak lagi punya penonton.

Mr. Moon, hanya dibantu oleh satu-satunya asisten, miss Crawly (diisi sendiri oleh sang sutradara, Garth Jennings), si kadal hijau yang uzur. Permasalahan muncul ketika Moon meminta Miss Crawly membuat poster kompetisi menyanyi yang akan ia adakan dalam rangka menyelamatkan gedung teater. Moon tak menyangka kontesnya itu mampu menarik banyak sekali minat masyarakat, meski hadiah yang ia tawarkan hanya sebesar 1.000 dolar AS (Rp 13.363.000). Atau jumlah itu lah yang ia tawarkan sebelum tanpa disadari si asisten melakukan kesalahan dalam mencetak poster. Poster hadiah itu salah ketik menjadi 100ribu dolar AS (Rp 1,34 miliar).

Tadinya film ini saya tonton karena iseng saja. Di balik ceritanya yang sederhana, tidak menduga Jennings yang merangkap tugas sebagai sutradara sekaligus penulis, dibantu oleh Christophe Laurdelet rupanya menyisipkan pesan pedas di balik garapannya itu.

Dari animasi ini kita akan mengenal lima karakter penyanyi yang akhirnya terpilih dari ratusan kontestan yang ikut audisi. Sebutlah Ash (Scarlett Johansson), landak yang merepresentasikan anak muda penggemar musik rock, Mike (Seth McFarlane), seekor tikus putih angkuh dan culas yang punya suara a la penyanyi swing, Rosita (Reese Witherspoon), ibu babi dengan 25 anak, Johnny (Taron Egerton), anak perampok gorilla yang tak ingin mengikuti jejak ayahnya, dan Meena (Tori Kelly), gajah pemalu bersuara emas.  

Kelimanya punya latar belakang, mimpi, dan ambisi yang berbeda. Dari segi cerita, memang sih pengenalan tokoh ini membuat plotnya melebar ke segala arah. Setiap tokoh mendapat porsinya untuk dikisahkan latar belakangnya. Tapi justru melalui ini lah, Jennings menyampaikan maksudnya. Bagi saya, pesan mengenai keadilan gender begitu kuat disampaikan.



Ash, landak ini mengawali karier bernyanyinya sebagai band duo di café. Namun ia hanya menjadi bayangan pacar sengaknya yang selalu mendominasi penampilan.

“Ash, babe, I’m the lead singer, ok? Just stick to the backing vocals,” tegur si pacar, Lance, ketika Ash mengambil porsi menyanyi lebih banyak dari kemauannya.

Pada akhirnya ketika keduanya juga ikut audisi pencarian bakat, hanya Ash yang diterima. Namun, Lance terus meremehkannya. Ketika Ash menunjukkan keinginannya untuk menciptakan lagunya sendiri, ia ditertawakan. “I know i make it look easy, babe, but it’s not,” kata Lance.

Belum lagi Moon memaksa Ash untuk mengenakan pakaian berwarna pink dengan rok mini untuk penampilannya. Moon juga memaksanya menyanyikan lagu pop tentang cinta yang dinyanyikan oleh perempuan.

You’re a female and you’re a teenager. This song was made for you,” kata Moon ketika diprotes Ash.

Rasanya, pertunjukan semacam itu banyak kita jumpai di kehidupan sehari-hari. Perempuan harus menjaga suaranya lirih. Laki-laki adalah makhluk superior yang harus senantiasa didengar. Jika tidak siap-siap kamu akan ditinggalkan. Seperti Lance yang kemudian mendapatkan perempuan lain sebagai “korban” ke-sengak-annya. Sosial juga kerap membatasi perempuan, bahkan dari segi selera. Pink itu warna perempuan. Musik pop cinta-cinta-an itu sangat cewe. Yaaahhh hal-hal basi semacam itu lah…  

Lain lagi ceritanya dengan Rosita. Hari-harinya digambarkan sebagaimana citra ibu rumah tangga yang tak punya waktu untuk dirinya sendiri. Melihat Rosita, rasanya seperti ada yang mewajibkan dia untuk tersenyum setiap waktu layaknya pelayan toko melayani pembeli. Itu meski dia lelah dan perhatiannya hanya ditanggapi tak acuh oleh suaminya, yang hanya mengajaknya bicara ketika bertanya di mana letak kunci mobil atau soal wastafel kamar mandi yang mampet.


Pada akhirnya Rosita mengkuti kata hati untuk memperjuangkan mimpi terpendamnya lewat kontes menyanyi milik Moon. Ia mendapatkan cara untuk tetap bisa mengurus rumah dan 25 anaknya sekaligus datang ke teater. Ia pun mendesain semacam mesin sederhana yang bisa mengurus dari mulai membangunkan anak-anaknya, mengingatkan sang suami untuk membawa kunci, menyiapkan sarapan, mengantar mereka ke pintu ketika akan berangkat sekolah, mencuci piring, menjemur pakaian, semua itu lengkap dengan rekaman suara Rosita seolah ia ada di sana sebagaimana biasanya.  

Begitu lah cara Rosita menjalankan peran gandanya selama beberapa hari. Sedih melihat perannya bisa begitu saja digantikan oleh mesin, tanpa diketahui, baik oleh suami, maupun keduapuluh lima anaknya. Itu sampai akhirnya sang suami tanpa sengaja megacaukan mesin buatan Rosita. Ini lah titik balik keluarga Rosita yang pada akhirnya menyadari sisi lain Rosita tidak sebagai makhluk domestik. Rosita adalah penyanyi dan penari yang hebat!


Belum lagi pemilihan karakter binatang dalam kisah ini. Kalau dipikir-pikir, kenapa juga pembuat film ini tidak memilih merak yang cantik, kelinci yang lucu, lumba-lumba yang katanya pandai menyanyi, atau kucing yang seksi? Justru Meena dan Rosita seakan menampar orang-orang yang hanya memuja kebagusan fisik dibanding melihat kemampuan mereka sebenarnya. Mike, seekor tikus kecil yang sempat diremehkan, ternyata juga punya bakat menyanyi yang mempesona. Saya juga senyum-senyum melihat seekor gorilla menyanyikan lagu I’m still standing-nya Elton John sambil memainkan piano. Jangan lupakan juga Ash yang mempertegas kemerdekaan perempuan dalam membuat pilihannya sendiri. Landak yang dalam film ini digambarkan berbahaya karena durinya yang menancap ke segala arah itu nyatanya bisa menggebrak panggung dan mendapatkan pengakuan luar biasa.



Tapi rasanya, terlepas dari soal gender ya, dari awal film ini memang sudah punya argumen, bahwasanya masyarakat masa kini lebih memilih untuk menonton pertunjukan bakat atau sebutlah kontes menyanyi seperti The Voice, X-Factor, atau apalah lainnya, dibanding menonton pementasan semacam teater. Jadi mau coba iseng menonton film ini? 




*) sumber gambar dari sini dan sini

Tuesday, November 22, 2016

The Lobster: Dagelan Satir Untuk Para Jomblo





Ketakutan untuk hidup sendiri dan mati dalam kondisi kesepian rasanya jadi alasan terkuat untuk “menikah”. Rasa takut ini yang kemudian diterjemahkan dengan brutal oleh Yorgos Lanthimos. Filmnya yang berjudul The Lobster (2015) itu memberikan kesan, naluri mencari pasangan hewan rupanya dinilai lebih “pintar” dibanding otak manusia yang terlalu banyak pertimbangan.

Secara absurd, The Lobster dibuka dengan adegan seorang perempuan tiba-tiba menembak salah satu dari tiga ekor keledai. Tak ada alasan maupun penjelasan untuk adegan ini. Malah, adegan langsung bergulir menampakkan seorang laki-laki yang akan dibawa pergi dari rumahnya oleh beberapa orang. Si tokoh utama, David (Colin Farrell), yang cupu dan buncit tinggal melajang setelah istrinya lari dengan pria lain. Ia tinggal bersama seekor anjing, yang ia panggil “ kakak”.

Lanthimos rasanya begitu berikhtiar untuk menciptakan dunia yang merupakan mimpi buruk bagi para jomblo. Dunia dalam the Lobster melarang orang dewasa untuk hidup tanpa pasangan. Para single, baik yang sengaja tak mau berpasangan, yang sudah pernah berpasangan, ataupun yang sama sekali belum pernah punya pasangan akan dibawa ke sebuah hotel yang terlihat seperti panti rehabilitasi.

Di hotel itu, mereka diberi waktu 45 hari untuk mencari pasangan. Harus sesama penghuni hotel. Kalau gagal, mereka akan dimasukkan ke sebuah ruangan yang bakal mengubah mereka jadi binatang. Lalu mereka dilepaskan ke hutan dan akan bernasib sesuai hukum alam.

Para jomblo penghuni hotel ini berkesempatan memperpanjang kesempatan hidupnya sebagai manusia dengan cara memburu para jomblo (loner) yang hidup di hutan. Satu loner dihargai satu hari.

Setiap orang yang masuk hotel, juga boleh memilih binatang yang mereka mau. David, ketika ditanya pilihannya, menyebut lobster. Alasannya, selain ia memang menyukai laut, hewan ini ningrat dan berumur panjang.

Film ini memang menyuguhkan ide surreal yang sebenarnya tidak belibet. Sekali nonton kamu akan langsung kena sindir oleh ide ceritanya (itu saya!). Sindiran keras, terutama ketika film ini menjabarkan alasan-alasan mekanis kenapa seseorang harus hidup berpasangan. Bagaimana bedanya jika kamu memilih melajang seumur hidup. Lalu juga bagaimana manusia selalu harus punya alasan eksplisit untuk memilih pasangan hidup. Sindiran ini diwarnai unsur komedi gelap yang mampu membuat saya senyum-senyum semabari mendengus di beberapa adegan. 

Secara harfiah, Lanthimos “menakut-nakuti” penghuni dunia ciptaannya itu dengan memberikan hanya dua pilihan: pertama, kamu harus menikah dengan pilihan jodoh yang sulit atau kamu bisa dapat yang sesuai tipemu tapi kamu dilarang menikahinya.

Entah kenapa, realita yang disuguhkan oleh dunia mungil dalam hotel itu membuat berpikir kalau semakin dicari kecocokan yang ideal itu tidak ada. Itu diwujudkan dengan aturan dalam hotel yang mengharuskan pasangan harus memiliki paling tidak satu kesamaan untuk disebut cocok. Keragaman pun dijabarkan secara eksplisit dengan menampilkan tokoh-tokoh seperti si pincang (Ben Whishaw) dan si gagap (John C. Reilly). Ya, sekali lagi manusia harus memilih dari pilihan yang tidak pernah sempurna.


Di sisi lain, film ini mempertontonkan betapa keterpaksaan untuk memilih seseorang menjadi pasangan hidup membawa penderitaan berkepanjangan. Persoalan ini akan semakin kejam di akhir film. Jadi, selamat menonton!

poster: sini

Monday, October 10, 2016

Tenang!! Jalan Hidup Perempuan Sudah Ditentukan Sejak Kelaminnya Terlihat




Suatu sore saya menyadari, rupanya saya bisa mengendarai motor tanpa tersesat dengan tidak benar-benar fokus mengendalikan kemudi. Padahal sebagian besar otak saya hanya melamun memikirkan film mana yang akan saya tonton malam nanti, tapi saya masih bisa sampai kos tanpa salah memilih jalan. Seolah tangan saya tau ke mana membelokan motor tanpa diperintah si otak.

Rutinitas pulang-pergi, membuat tubuh saya hafal dengan jalur perjalanan yang akan saya tempuh. Hal yang sama terjadi pada hidup saya beberapa tahun terakhir. Rasanya saya mulai disusupi patokan hidup mainstream dengan urutan sekolah, kuliah, kerja, lalu menikah, punya anak, cucu, dan mati. Jika benar-benar dipikirkan, saya hanya bisa menjawab film apa yang akan saya tonton malam nanti. Sejauh itu lah perencanaan saya. Bagaimana kehidupan saya selanjutnya setelah dari sini? Ya sudah lah jalani saja.

Tapi banyak orang bilang, saya memang suka mempersulit sesuatu yang sebenarnya mudah. Katanya, saya selalu suka terlalu banyak berpikir, karena menurut mereka jalan hidup saya mudah. Beberapa dari mereka sering kali sudah membantu saya dengan statement seperti ini: "yaelah ris ngapain sekolah tinggi-tinggi, cewe ujung-ujungnya di dapur". Orang-orang itu memang lebih tau masa depan saya dibanding diri saya sendiri. Terimakasih.

Dengan saran itu, pilihan hidup saya sudah ditentukan tanpa benar-benar dipikirkan. Oh mungkin malah sudah ditentukan sejak dokter yang membantu persalinan ibu saya berkata: "Selamat bu, anak ibu perempuan."

Kalau memang begitu sih memang jadi mudah ya. Saya tak lagi harus ribet mengumpulkan uang, tidak perlu ribet hidup jauh dari orang tua, tidak usah ribet mikirin soal investasi, tabungan, bla bla bla, buat apa toh saya nanti hanya akan berkutat di dapur. Enteng banget memang jadi perempuan. Cuma di dapur.

Hahaha. Nada mendiskreditkan soal dapur memperlihatkan banyak orang tidak benar-benar menyadari apa saja yang terjadi di dapur. Mereka tidak sadar semua benda di dapur itu bisa jadi senjata. Kapanpun kamu bisa berdarah, kena luka bakar, atau mati berkeping-keping karena tidak tau cara pasang klep gas tabung. Dan semua itu butuh otak untuk bisa menghindar dari bahaya.

Hidup sebagai anak kos juga membuat semakin sadar, tiap pagi otak selalu bekerja dengan pertanyaan: mau makan apa hari ini? Dan saya yakin kebingungan ini juga yang pasti dirasakan ibu-ibu di rumah yang kerjanya CUMA DI DAPUR. Bekerja dengan otak, harus hati-hati menyiapkan makanan enak untuk suami dan anak-anaknya yang hanya mampu protes "kok cuma ini doang makannya", "kok kurang asin?", "kok masak ini lagi? Bosen!". Otak terus berputar, untuk menyiapkan makanan berbeda sekaligus spesial yang cocok dengan lidah suami dan anaknya agar mereka semua bisa betah terus-terusan makan di rumah.

Kemudian ketika ada yang memilih untuk kembali kuliah setelah kuliah s1 nya rampung, omongan itu kembali muncul. Katanya: "tuh makanya perempuan nggak usah tinggi-tinggi sekolahnya ris, entar susah dapet suami, cewe nggak bisa kalau di atas laki-laki, pasti gengsinya kena yang cowonya". Sering denger juga dong pasti omongan macem begini, yekan?

Lalu malangnya konsekuensi dari ucapan itu adalah, kami perempuan takut mengejar karier sesuai cita-cita. Kami takut gaji suami kalah besar dengan gaji kami. Kenapa? karena kami lebih takut perceraian dibanding tidak mendapatkan cita-cita kami.

Oke lah, baik tidak usah bekerja. Tapi kami mau kuliah lagi dong… Beberapa dari kami nyatanya tidak boleh melanjutkan kuliah yang lebih tinggi karena suami tidak memilih melanjutkan s2. Dan itu semua salah, kami, perempuan, kalau si suami tidak mau bekerja lebih keras untuk dapat gaji lebih atau berminat melanjutkan sekolah yang lebih tinggi. Jadi kata siapa perempuan selalu benar? Haha. Seolah perempuan harus menjaga diri agar “status”-nya tidak melangkahi suami. Itu demi gengsi suami.

Apa sih risa? Penis envy? Nggak kok. Tenanggg.... Saya hanya lelah dengan semakin seringnya saya menangkap omongan semacam ini di sekeliling saya. Terutama dengan keberadaan teman laki-laki yang lebih banyak dalam pekerjaan saya sekarang.

Saya bukan sirik. Saya justru kasian. Mungkin mereka memang tidak mau menerima perubahan di sekelilingnya atau mungkin tidak siap. Saya rasa bukan hal aneh lagi untuk menerima kenyataan kalau perempuan pun punya pilihan hidup yang beragam. Dan kalaupun itu ingin menjadi ibu sepenuhnya, memasak untuk suami dan anaknya, bukan berarti mereka tidak usah pintar. Laki-laki pun saya tau, pasti lebih suka dengan perempuan yang cerdas dibanding yang tidak tau harus berbuat apa-apa terhadap hidupnya.

Ah, mungkin memang pembagian kerja berdasarkan gender itu lebih mudah diatur. Hal semacam ini tidak akan butuh kompromi lebih lama, antara sepasang suami istri, atau pasangan yang akan menikah. Ya karena memang sudah terbiasa melihat yang begitu. Tapi toh jika nanti saya memutuskan untuk tidak lagi bekerja dan fokus menimang anak dan menghadapi bahaya dapur, itu karena pilihan saya. Bukan karena stereotipe yang menulis jalan hidup saya. 

*gambar dari sini

Saturday, August 27, 2016

Di Mana Tanah Air Saya dan Apa itu Nasionalisme?




Baru-baru ini Arsip Nasional RI (ANRI) menggelar pameran di Sarinah, Jakarta Pusat. Yang dipamerkan rata-rata arsip sebelum, ketika, dan setelah kemerdekaan RI. Tujuannya, kata Mustari Irawan yang adalah Kepala Anri itu, untuk memberikan pencerahan nasionalisme kepada masyarakat luas.

Biasa lah, menjelang 17 Agustus si Nasionalisme itu jadi obrolan khalayak. Terus terusan disebut sampai pada puncaknya pas pidato presiden di TV. Setelah itu, masih disebut, mungkin dalam diskusi di café-café yang mengundang wartawan. Setelah itu, seiring dengan semakin habisnya bulan Agustus, orang mulai sembuh dari penyakit kerasukan Nasionalisme.

Tapi sebenarnya siapa itu Nasionalisme? Kalau masih SD dan diajarkan PPKN pasti bisa jawab tanpa ragu. Nasionalisme itu rasa kebangsaan sebagai bangsa yang berdaulat dan merdeka, katanya. Paling tidak secara dogmatis, seseorang memiliki nasionalisme jika berupaya melindungi budaya dari masuknya budaya asing. Kalau secara politis mungkin melawan penindasan hak manusia dari kolonialisme.

Upayanya diawali dengan membentuk identitas nasional. Nama Indonesia salah satunya. Penghuni pulau Jawa, Kalimantan, dan sebagainya itu disatukan dan dilabeli Orang Indonesia. Lalu diberi pelajaran PPKN untuk yakin dengan identitas “saya orang Indonesia”.  Sudah besar harus punya KTP dan bikin passpor kalau mau ke luar negeri karena akan melewati batas negara.

Tapi pernah kah ada yang mejelaskan kenapa orang Batak, orang Baduy, orang Dayak, Orang Sunda, Orang Jawa, orang Bugis, orang Asmat sekarang harus juga mengakui keindonesiaan mereka? Toh sebelumnya mereka punya sistem pemerintahan sendiri, punya wilayah sendiri.

“Kita sekarang memang berbeda, tapi dulu kita satu”. Begitu kata Ery Soedewo, peneliti dari Balai Arkeologi (Balar) Medan. Sebelumnya, ia meneliti awal mula berpisahnya bahasa Gayo dan Karo menjadi dua bahasa yang berbeda dari sudut pandang arkeolinguistik. Bahasa memang menandakan keragaman sekaligus mewakili identitas suku bangsa tertentu.

Dalam sebuah studi arkeologis yang belum ada habisnya itu, sebagian besar kepulauan Indonesia dulunya berbahasa sama, bahasa Austronesia. Tapi dulu juga bukan hanya di kepulauan Indonesia, bahasa ini dipakai orang-orang yang meninggali Madagaskar di ujung barat hingga Kepulauan Paskah di ujung timur Pasifik, dari Taiwan-Mikronesia di batas utara hingga Selandia Baru di batas selatan. Orang-orang penutur Austronesia ini pun tak begitu saja ada di kepulauan Nusantara. Mereka datang dari Taiwan.
Akhirnya diputuskan oleh para ahli, bahwa para pendatang yang bicara dengan bahasa Austronesia itu adalah nenek moyang penduduk Indonesia sekarang. Sampai sekarang juga ada 60 persen penutur Austronesia menghuni Indonesia. Tapi, mereka bukanlah satu-satunya pendatang di Nusantara. Jangan lupakan kedatangan bangsa Arab, India, maupun Eropa.
Bahkan kata Harry Truman Simanjuntak, seorang arkeolog senior yang bermarkas di Puslit Arkenas, sebelumnya paling tidak ada tiga kelompok yang pernah melakukan migrasi besar ke Nusantara. Mereka adalah Australomelanesid, penutur Austro-asiatik, dan penutur Austronesia itu tadi.
Penutur Austro-asiatik datang sekira 4.300 tahun lalu. Selanjutnya adalah penutur Austronesia yang datang pada 4.000 tahun lalu. Sebelum keduanya tiba, di Indonesia sudah tinggal kelompok lainnya, Australomelanesid. Mereka menghuni kira-kira 13.000-5.000 tahun lalu dan hingga sekarang hidup di wilayah Indonesia timur, termasuk di Papua.
Lalu apa? Ya kayanya tidak mungkin melabeli kelompok tertentu sebagai manusia asli Indonesia. Herawati Sudoyo, peneliti biologi molekuler dari Eijkman Intitute, pernah menjelaskan ini dari sudut pandang genetik. Rupanya, hampir semua etnis di Indonesia memiliki gen yang saling bercampur. Di antaranya Alatic, Sino-tibetan, Austro-asiatik, Austronesia, Papua, Dravida, Indo-Eropa, dan Niger-Kongo.
“Nenek moyang penutur Austro-asiatik di Asia Tenggara yang te rungkap dari data genomik menunjukkan adanya migrasi Austronesia ke jalur barat yang bercampur dengan penutur Austro-asiatik dan kemudian menetap di Indonesia barat,” ujarnya.
Misalnya, gen manusia Jawa asli ternyata membawa genetika Austro-asiatik dan Austronesia. Begitu pula manusia etnis Dayak dan manusia di Pulau Sumatra, yang tampak pada etnis Batak Toba dan Batak Karo.
Sementara penduduk asli Pulau Alor, misalnya, membawa genetika Papua. Manusia asli Lembata dan Suku Lamaholot, Flores Timur membawa genetika Papua dengan presentase paling tinggi dan sedikit genetika bangsa penutur Austronesia.
Jadi apa yang menyatukan Indonesia sekarang sehingga orang Dayak, orang Jawa, Orang Batak, dan sebagainya itu bisa bangga menyebut diri: “Kami orang Indonesia”? Dan lantas ketika menyadari bahwa kita semua itu awalnya hanyalah bangsa pendatang maka siapa yang bisa menjelaskan konsep nasionalisme dan tanah air?
Yang jelas Indonesia bukan milik siapapun. Konsep dijajah dan menjajah itu juga lebih mirip sikap adaptasi berjuang untuk mempertahankan diri di tengah perubahan yang datang. Artinya kita yang hidup sampai sekarang, mau itu ras apapun, sama-sama termasuk kelompok yang bertahan menghuni Indonesia. Rasanya saya bakal setuju sama omongan kalau pribumi itu sikap, bukan darah.
Ya jadinya kalau saya sekarang dicekokin dengan bahasan nasionalisme saya akan mati gaya. Konsep nasionalisme rasanya tidak sesimpel waktu SD dulu.

Kalau saya sih jika ditanya, saya akan tegas dan lugas bilang: Saya orang Jawa, lahir di Yogyakarta, besar di Bekasi, jadi maafkan bahasa Jawa saya yang campur aduk dengan gue-elo, meski bapak ibu saya asli orang Jogja.

Ya mudah-mudahan dimaafkan. Toh pada dasarnya percampuran budaya juga tidak bisa dihindari. Kalau ada temanmu yang lebih suka film-film Korea atau nyanyi-nyanyi lagu Suju dengan bahasa yang nggak kamu mengerti, jangan khawatir. Dia bukannya tidak cinta ibu bapaknya yang bukan orang Korea. Mencampurkan nasionalisme, keindonesiaan, dan selera musik, fashion, atau film itu terlalu absurd. Toh Indonesia itu memang bhineka dari dulunya. Sekarang hanya bertambah bhineka saja karena memang jamannya sudah semakin terbuka. Dulu budaya luar dibawa ke mana-mana cuma bisa pakai perahu cadik atau jalan kaki. Sekarang kan sudah ada pesawat, mobil, internet, satelit, bla bla bla… Kecuali kamu mengasingkan diri di hutan terlarangnya Suku Baduy, atau di pelosok terdalam hutan Papua yang mungkin belum terjamah sampai sekarang. Tapi mungkin karena dulu saya lahir di Jogja, sekarang saya bisa bilang kan kalau Jogja itu tanah air saya?

*Gambar dari sini



Sunday, April 10, 2016

Ketika Urang Kanekes Diributi Soal Perut dan Pelestarian Adat




Gunung teu meunang dilebur
Lebak teu meunang dirusak
Larangan teu meunang ditempak
Buyut teu meunang dirobah
Lojor teu meunang dipotong
Pondok teu meunang disambung*


Amanat karuhun itu mewujud dalam pikukuh yang hingga kini dipegang teguh Masyarakat Baduy. Masih banyak pikukuh lainnya yang termaktub dalam buyut (pantangan) yang telah dititipkan nenek moyang kepada mereka yang menyebut diri urang kanekes itu. Intinya adalah cara hidup sebagaimana ajaran karuhun.

Adat yang telah ditetapkan karuhun pantang diubah. Pantangan itu dalam kehidupan sehari-hari masyarakan Baduy diinterpretasikan secara harafiah, khususnya Baduy Dalam.

Akhir-akhir ini, amanat karuhun semakin sulit dilaksanakan. Modernisasi ibarat musuh tak kasat mata, di satu sisi. Di sisi lain, perut lapar tak bisa bohong. Mereka butuh "kemajuan" untuk bisa bertahan.

Sarpin, salah seorang penduduk Baduy Luar melihat perubahan dimulai saat bagaimana kewajiban berladang pun menjadi pekerjaan yang penuh tantangan. Sejak dulu, adat Baduy memberi syarat bagi mereka yang telah berkeluarga untuk memiliki ladang sendiri. Sekitar tahun 1990-an, berladang dilakukan untuk memenuhi dua keperluan, hidup dan adat. Untuk itu, sehari-hari mereka membuka lahan seluas 1-2 hektar dan mampu menghasilkan 300-500 ikat, yang per ikatnya mencapai 3-4 kg beras.

Mereka kini semakin sulit mendapat hasil sebanyak itu. Berdasarkan hasil survey, rata-rata pembukaan lahan hanya sampai 2.000 m2. Itu menghasilkan 50-100 ikat saja. Artinya, per tahun hanya akan dapat 300 kg.

"Sekarang berladang bukan buat kehidupan shari-hari lagi tapi buat kebutuhan adat," ungkapnya saat datang ke acara diskusi berjudul 'Baduy Dulu dan Kini' di Bentara Budaya Jakarta, belum lama ini.


Soal perubahan, ini sebenarnya sudah mulai terjadi sejak masyarakat Baduy mengalami ledakan penduduk. Dalam acara yang sama, Cecep Eka Purnama membeberkan, berdasarkan catatan pertama demografi, penduduk Baduy tahun 1888 hanya berjumlah 291 jiwa yang menempati 10 kampung.

"Hari ini, berdasarkan informasi Pejabat Bidang Pemerintahan Desa Kanekes, Sarpin, penduduk Baduy berjumlah 11.667 jiwa atau 3.402 kepala keluarga, yang bermukim di 64 kampung," papar Arkeolog UI itu dalam acara yang sama.

Data itu berlawanan dengan kenyataan lahan tempat tinggal mereka yang tidak beranjak dari seluas 5.101,85 hektar. Hitungan ini belum termasuk ladang untuk adat maupun lahan suci yang tidak boleh dibuka untuk apapun.

"Orang Baduy masih memegang pikukuhnya. Tapi masalahnya lahan mereka untuk melakukan perladangan sudah terbatas," katanya.

Padahal, beras yang dihasilkan di ladang tidak boleh dijual. Beras yang mereka panen khusus untuk adat dan kebutuhan sehari-hari. Karena sekarang untuk kebutuhan sehari-hari saja sulit, mereka pun akhirnya mencari penghasilan dengan menjual hasil ladang lainnya, seperti madu, pisang, dll. Penghasilannya di antara lain untuk mencukui kebutuhan beras mereka.

"Untuk upacara wajib beras dari ladang, nggak boleh beli. Ngahuma itu adalah ritual mengkawinkan Nyi Pohaci dengan Bumi. Begitu ritualnya," jelas Cecep lagi.

Makanya, mungkin anak-anak Baduy generasi sekarang "tak beruntung" karena tak lagi bisa mendengar suara lisung di pagi hari. Sarman, warga Baduy Luar yang tinggal di Kampung Kadu Ketug, ketika saya beberapa waktu lalu menginap di rumahnya bercerita, warga Baduy dulunya terbiasa dibangunkan oleh suara tabuhan lisung. Paginya, saya memang kecewa karena saya malah dibangunkan suara keramaian turis yang memang saat itu sedang ramai mendatangi Kampung Baduy.

"Kenapa lisung nggak sering bunyi lagi, karena ladang makin sedikit. Leuit (lumbung,red) sudah nggak bagus karena sudah nggak sering diisi," jelas Cecep.

Saya mungkin beruntung akhirnya bisa menemukan kegiatan ini ketika menjelajahi kampung Baduy di pagi hari

Sementara untuk menerapkan teknologi pertanian di lahan sempit, lagi-lagi terbentur larangan adat. Jangankan teknologi modern, mereka tak boleh memelihara binatang berkaki empat untuk membantu mengolah tanah. Mereka pun dilarang memakai cangkul, apalagi traktor.

Lahan menyempit, hutan habis, air langka, kini mereka masih harus berhadapan dengan kedatangan turis-turis masuk ke kampung mereka. Tak disangkal orang-orang luar ini memang mendatangkan penghasilan tambahan, tetapi juga berpotensi merusak kebijakan adat Baduy.

Di sini "perdebatan" itu terjadi. Tak cuma turis, banyak kelompok yang menamai diri mereka aktifis, atau penggiat, atau peneliti, atau pengamat, atau kaum peduli masyarakat Baduy, atau apapun itu sejenisnya yang mulai merasa perlu "membenahi" kondisi Baduy. Mereka datang membawa konsep kehidupan baru. Itu dari mulai konsep rumah sehat sampai cara-cara menampung air untuk menghindari kekeringan yang sering melanda kampung itu.

Dalam hal ini Cecep pun mengimbau kepada semua pihak untuk berhati-hati membawa pengaruh luar ke dalam komunitas Baduy. Menurutnya masyarakat Baduy telah memiliki kearifan lokal sendiri dalam mengolah lingkungan dan membangun pemukiman.

Misalnya soal rumah adat. Rumah adat Baduy memang mungkin jauh dari tipe rumah sehat versi pemerintah atau WHO. Mereka tak punya jendela. Dapur tradisional yang penuh asap itu juga tidak berventilasi. 

Tapi itu bukan tanpa alasan. Cecep menerangkan, masyarakat Baduy membagi semestanya menjadi tiga bagian. Dunia Atas, diperuntukkan bagi leluhur, Dunia Tengah untuk para manusia, dan Dunia Bawah diperuntukkan bagi orang-orang yang tidak baik.

Menurutnya, ini yang membuat masyarakat Baduy membuat rumahnya tidak langsung menyentuh tanah. Rumah orang baduy berkolong karena menunjukkan mereka penghuni Dunia Tengah. 

"Kalau disemen ini menunjukkan mereka seperti orang Dunia Bawah yang tidak baik. Kemudian asap itu untuk mengusir rayap karena bahan utama rumahnya kan kayu. Ini kearifan lokal. Mereka juga nggak butuh jendela orang udah dingin," ungkapnya.

Kemudian, jika katanya timur menjadi arah hadap rumah yang sehat karena akan mendapatkan sinar matahari pagi yang cukup, rumah Baduy sayangnya menghadap selatan. Tapi lagi-lagi orang Baduy punya penjelasannya sendiri. Di arah selatan perkampungan, terdapat kompleks megalitik yang begitu mereka sakralkan. Lokasi ini merupakan titik tertinggi di sana.

"Selatan ada gunung, ada hutan larangan. Air mengalir dari selatan ke utara. Rumah Pu'un (pemimpin suku, red) ada di selatan. Orang menanam padi dari titik selatan. Mengubur orang juga diarahkan ke selatan," kata Cecep.

Menanggapi itu, Sosiolog, Imam B. Prasodjo menilai ada faktor lain yang juga harus disadari. Kondisi lingkungan saat ini makin menyulitkan Masyarakat Baduy untuk bisa mendukung pelestarian adatnya.

"Sekarang ini yang terjadi memang ada tuntutan untuk konservasi. Menjaga tetap asli. Tapi juga ada kebutuhan perut," ujar dia.

Menurutnya, seiring perkembangan zaman, kewajiban masyarakat Baduy untuk terus melestarikan adat terbentur kebutuhan hidup yang semakin mendesak. Tak hanya perkara sulitnya air atau terbatasnya lahan, masyarakat Baduy pun akhirnya seringkali "dipaksa" untuk berkompromi dengan budaya baru. Misalnya alat kontrasepsi yang kini juga telah digunakan oleh masyarakat Baduy Dalam.

"Soal ini memang hanya akan jadi perdebatan panjang yang nggak selesai-selesai. Kalau saya yang penting bagaimana mereka bisa hidup nyaman," ucap Imam.

Sayangnya, bicara soal kenyamanan itu subjektif. Saya kok jadi teringat masa-masa KKN. Datang ke dusun membawa pemecahan dari persoalan yang kita reka-reka sendiri, padahal mungkin penduduk sana nyaman-nyaman aja. Dalam hal ini, soal mana yang lebih mendesak, rasanya masyarakat Baduy paling tahu apa yang mereka butuhkan.

Sekarang, mendengar Sarpin bicara pun kita akan tahu sudah banyak yang berubah pada masyarakat Baduy. Bahasa Indonesianya lancar. Logat Sunda semakin tipis di pengucapannya. Sarpin juga mengaku mengenyam pendidikan, meski tak formal. Padahal adat tak membenarkan itu.

"Nggak boleh sekolah formal, tapi saya coba supaya masyarakat di sana tetap tahu soal pendidikan. Saya pernah ngajar juga," ceritanya.

Kalau sudah begitu, masa kita mau cegah mereka yang merasa butuh pendidikan? Karena bagi Sarpin, tinggal di Baduy tidak harus bodoh. Ia melihat, justru teman-teman yang lebih pintar, terbukti lebih mampu menghargai budaya.

"Hidup di tengah-tengah modernitas itu berat," kata dia mengakui pada akhirnya.

 ***

Dan ini beberapa jepretan yang saya ambil ketika main ke kampung Baduy beberapa waktu yang lalu......




Gadis Penenun. Di Baduy, gadis yang tidak bisa menenun sulit dapat suami




Leuit atau lumpung padi






*artinya:
Gunung tak boleh dihancur
Lembah tak boleh dirusak
Larangan tak boleh dilanggar
Buyut tak boleh diubah
Panjang tak boleh dipotong
Pendek tak boleh disambung

Thursday, April 7, 2016

Teori Evolusi, Kebahagiaan, dan Simbiosis Mutualisme




Sebenarnya apa itu kebahagiaan? Banyak yang bilang kebahagiaan itu kita sendiri yang buat. Kebahagiaan itu seperti rezeki. Kita dapat sesuai dengan yang kita usahakan. Maka artinya, tidak salah jika setiap orang akan dapat kadar yang berbeda. Malah mungkin ada yang miskin kebahagiaan.

Tapi pasti ada yang mendebat, orang miskin pun bukan tidak berusaha untuk menjadi tidak miskin. Tuhan cukup punya andil menetukan mana yang beruntung dan tidak.

Ah keberuntungan... manusia itu apa dibanding jagad semesta? Jika tidak hati-hati, ada batu di depan kita pun bisa jatuh dan terluka. Jadi, terbuat dari apa kebahagiaan itu?

Dua hari yang lalu, saya dikejutkan berita duka. Kenalan saya mati bunuh diri. Dia pilih menjerat lehernya dengan tali. Jasadnya ditemukan di tengah hutan. Banyak yang tidak percaya. Bahkan mendebat, karena berita lain menyebut dia meninggal dalam kecelakaan.

Saya memang tidak begitu mengenal orang ini. Saya hanya tahu dia melalui cerita teman-teman saya. Sesekali ketemu dia di kantin kampus. Itu pun sudah dulu sekali. Dan cuma dari cerita mulut ke mulut, saya tahu ternyata dulu dia tidak lulus kuliah karena DO.

"Kata (menyebut nama seorang dosen), dia udah lama depresi dan masalahnya berat," ucap teman saya baru-baru ini.

Di luar itu, kemungkinan bahwa seseorang memilih untuk tidak hidup dengan sengaja, apalagi dia ada di dalam lingkaran relasi sosial saya, membuat saya tidak bisa merasa nyaman. Rasanya banyak pertanyaan mendadak jadi seperti makin keras bergema di kuping.

Kenapa? Sampai separah apa hidup ini sampai seseorang bisa berkata "cukup"? Sudah merasa cukup kah kesempatan baginya, sehingga dia tidak lagi butuh memperpanjang pencariannya di dunia? Atau justru dia tidak berhasil menemukan apa yang dia cari, sehingga mencari di luar dunia ini? Apa yang dicari? Kebahagiaan kah? Ataukah dia bukan sebagian dari mereka yang "beruntung", yang bisa menemukan kebahagian di dunia?

Dari pembicaraan dengan dosen itu, kata teman saya, si dosen langsung mengkaitkan fenomena bunuh diri dengan faktor genetik. Sang dosen agaknya salah seorang yang percaya faktor keturunan bisa mempengaruhi dorongan seseorang untuk bunuh diri.

"Kemungkinan dulu ada anggota keluarga yang juga bunuh diri, dan itu secara genetis menurun, sama kaya penyakit mental," lanjut si teman saya, menceritakan omongan sang dosen.

Teman saya itu melanjutkan, si dosen di depan kelas menyampaikan, ketahanan seseorang dalam menghadapi tekanan atau stress itu bukan hanya dipengaruhi lingkungan. Genetik juga berpengaruh. Itu dengan catatan, faktor keturunan ini tidak berarti keturunan langsung. Faktor ketahanan terhadap stress ini bisa berpengaruh loncat ke beberapa generasi selanjutnya.

"Ada yang masalahnya kelihatan sepele bagi orang lain, tapi buat dia berat banget. Ada juga yang masalahnya berat, tapi dia tenang aja ngadepinnya," kata dia lagi.

Sebentar, jangan dulu didebat. Coba berimajinasi. Perkembangan genetis terus berlangsung selama proses kehidupan masih terjadi. Lebih jauh, penganut teori evolusi percaya, sampai sekarang manusia itu masih terus berevolusi. Mungkin proses ini nggak akan pernah berhenti selama dunia masih ada sebagai habitat yang membuat manusia dan makhluk hidup lainnya harus beradaptasi.

Contoh paling dekat, yang paling mudah diamati adalah gigi graham manusia yang paling ujung atau sering disebut gigi bungsu. Atau kalau orang-orang kedokteran gigi dan atropolog ragawi menyebutnya dengan istilah molar ketiga.

Saya ingat waktu kuliah paleoantropologi dan bioarkeologi, dosen saya menjelaskan kenapa sampai sekarang molar ketiga suka bikin masalah. Antara malu-malu tapi mau buat tumbuh. Kadang bisa sampai sakit ketika si molar ketiga mau nongol. Kasus saya malah pernah sampai berdarah-darah.

Jadi, singkatnya, kata dia, ini tanda proses evolusi masih berjalan. Dulu, manusia purba mengkonsumsi tumbuh-tumbuhan dalam jumlah besar. Pola diet itu tentunya butuh perangkat ekstra supaya proses mengunyah menjadi lebih mudah. Sekarang yang terjadi adalah tulang rahang manusia semakin pendek. Keberadaan molar ketiga pun jadi tidak begitu dibutuhkan. Malah posisinya justru menyulitkan, sering menjadi sarang penumpukan makanan yang membuat gigi berlubang. Banyak dokter gigi menyarankan untuk mencabut saja si gigi bungsu.

Kembali ke masalah perilaku bunuh diri juga dipengaruhi faktor genetik. Dalam proses evolusi, yang berubah mungkin tidak hanya fisik. Tapi secara psikologis juga "dites" dalam kemampuannya beradaptasi. Kalau tidak kuat berhadapan dengan lingkungan, maka depresi lah dia dan lebih jauh bisa sampai bunuh diri.

Konsekuensinya adalah, bagi yang memiliki faktor genetis, potensi bunuh diri itu tidak mudah "disembuhkan". Tidak bisa diobati hanya bisa diredam gejalanya. Sama seperti penyakit-penyakit turunan lainnya. 

Hmmm...Entah lah. Saya hanya berandai-andai loh. Tapi karena penasaran saya coba googling. Laman the Telegraph pernah menurunkan artikel yang berjudul "Suicidal Tendencies 'May Be Genetic'" pada tahun 2010. Berdasarkan penelitian yang dikepalai oleh Dr. Martin Kohli, dari the John P Hussman Institute for Human  Genomics di Miami, Amerika Serikat, memang menunjukkan adanya kecendrungan bunuh diri pada satu garis keturunan.

"Bunuh diri ternyata dapat diturunkan dalam sebuah keluarga," katanya.

Penelitiannya dilakukan terhadap 394 partisipan yang depresi. Di antaranya, 113 partisipan sudah melakukan bunuh diri. DNA mereka kemudian dibandingkan dengan 366 orang sehat.

Dari situ, terdapat lima perubahan genetik yang sama pada individu dengan riwayat keluarga yang pernah mencoba bunuh diri dan sudah melakukan bunuh diri. Namanya gen Nucleotide Polumorphisms (SNPs). Dia yang mempengaruhi keinginan seseorang untuk bunuh diri. varian itu akan mempengaruhi dua gen yang berhubungan dengan formasi sel saraf dan pertumbuhan dalam otak. Gen ini, jika dimiliki seseorang, dia akan berisiko 4,5 kali lipat besarnya mengalami percobaan bunuh diri.

"Bunuh diri dan usaha bunuh diri dapat diwariskan dengan adanya kesamaan fenotip dalam satu garis keturunan. Tapi risiko bunuh diri genetik ini berbeda dengan bunuh diri karena gangguan kejiwaan," katanya dalam Journal Archives of General Psychiatry yang telah dipublikasikan.

Artinya, jika diasumsikan yang memacu fungsi gen itu depresi, maka mereka yang membawa gen SNPs ini semacam gagal mencerna bibit-bibit rasa bahagia dari lingkungannya. Sama seperti nenek moyang jerapah, kata Darwin, ada yang berleher pendek, dan ada yang panjang. Ketika terjadi kekeringan jerapah berleher pendek tidak mampu menjangkau daun-daun yang ada di ketinggian. Akhirnya mereka terseleksi dan punah.

Begitu? entah. Lagi-lagi saya cuma berandai-andai...

Tapi soal kejiwaan ini bukan bersifat pasif seperti jerapah berleher pendek. Setidaknya itu yang di ungkap oleh seorang kolomnis, Mike Snelle. Dalam tulisannya di laman Telegraph (24/02/2015), ia menyadari, setelah melakukan beberapa penelitian, dorongan bunuh diri karena genetis tidak benar-benar genetis. Bukan berarti jika disebut genetis, itu tidak terelakan dan tidak bisa diubah sama sekali.

Genetik yang dimaksud dalam konteks ini adalah, ada kontribusi genetis dalam cara seseorang merespon lingkungan mereka. Memang itu menunjukkan kecendrungan untuk perilaku tertentu.

"Tidak ada keniscayaan tentang hal itu. Tidak ada perilaku yang lepas dari lingkungannya," ujarnya.

Namun, katanya, jika depresi adalah cara pikiran memberitahu ada sesuatu yang salah di lingkungan, artinya kasus bunuh diri memberitahu kita, ada sesuatu yang salah dalam masyarakat kita. "Ini adalah indikator kita perlu bertanya beberapa pertanyaan serius soal lingkungan sosial kita, tidak bisa tidak," tegasnya.

Artinya, jika boleh saya simpulkan, bunuh diri bukan semata kegagalan seseorang menanggulangi depresi dalam meraih kebahagiaan. Lingkungan juga berpengaruh menciptakan rasa bahagia, sehingga seseorang itu mampu mengumpulkan bibit-bibit kebahagiaan itu dan meresapinya ke dalam jiwanya.

Dan mungkin apa yang terjadi pada kenalan saya tidak sepenuhnya kegagalannya mencerna bibit-bibit kebahagiaan. Bukan karena ia depresi lantas ia bunuh diri. Tapi ada bibit-bibit kebahagiaan yang tidak terpancar dari lingkungan, sehingga tidak mampu ia tangkap.

Begitu kah? Paling tidak kita, atau saya jadi introspeksi, kebahagiaan bukan untuk diri sendiri tapi juga disampaikan. Orang lain butuh rasa bahagia agar kita juga bisa bahagia. Kebahagiaan mungkin adalah produk simbiosis mutualisme antar sesama makhluk.

*sumber gambar dari sini