Wednesday, July 29, 2015

Ketika Kesatuan dari Lampion, Ketupat, Takbir, dan Maaf Tak Lagi Menakutkan



Sorot lampu mobil dan gemerlap lampu jalanan tidak membuyarkan pesona iring-iringan lampion takbiran di sepanjang jalan Kota Jogja. Beberapa kendaraan sampai harus melambatkan lajunya untuk sengaja menonton pawai tahunan ini.

Syukur tidak ada yang berubah. Saya masih bisa menganga melihat anak-anak berbaju muslim dan beberapa pakai batik beriringan mengangkat lampion sambil menggemakan takbir. Lebaran di Jogja tetap semarak.

Tapi rasanya tetap berbeda untuk saya. Setelah tahun sebelumnya menghabiskan malam takbiran di Bandung, tahun ini aroma Lebaran tetap paling spesial. Saya juga baru tahu, tak mudah mendapatkan pemandangan semeriah ini di kota lain. Di Bandung, pawai takbiran keliling ini tak ada.

Tapi bukan cuma itu pastinya yang membuat saya merasa berbeda. Saya ingat dulu, Lebaran selalu membuat saya merasa seperti mendapat momen paling menegangkan. Saya seperti murid yang disuruh maju ke depan kelas untuk berpidato dalam Bahasa Jawa krama.

Dan memang itu yang terjadi. Setiap Lebaran, budaya keluarga saya mengharuskan untuk melakukan sembah sungkem kepada orang tua, kepada nenek, kakek, atau orang-orang di keluarga yang dituakan. Ini tidak pernah bisa saya lakukan dengan baik. Saya tidak pernah menjadi terbiasa dengan kebiasaan itu. Padahal itu sudah saya lakukan hampir setiap tahun, seumur hidup.

Rasanya aneh. Duduk berlutut di hadapan seseorang, dengan kepala menyentuh lututnya sambil mengucapkan kalimat maaf yang panjang. Satu orang yang meminta maaf bisa sampai menangis setelah mengucapkan entah apa yang terlihat sangat panjang dan lama. Itu masih ditonton banyak saudara lainnya yang menunggu giliran atau sudah selesai sungkeman.

Apalagi sayup-sayup saya mendengar mereka saling balas mengucap dengan Bahasa Jawa halus. Dan saya? mungkin saya orang paling singkat ketika minta maaf. Ditambah saya minta maaf pakai Bahasa Indonesia. Aduh! Ini momen paling menegangkan untuk saya sejak kecil. Hanya bilang maaf saja sudah sulit, apalagi dengan cara seperti itu dan ditonton banyak orang.

Tapi toh sekarang saya tidak peduli. Saya mungkin bisa memaknai momen ini sebagai hari yang paling emosional. Saya masih gugup ketika sungkeman, tentu saja, tapi saya juga gembira.

Di situ ada wajah-wajah yang sudah saya kenal seumur hidup saya. Ibu, Bapak, adik laki-laki saya, eyang putri, tante, pakde, bude, simbah kakung, juga sepupu-sepupu saya. Wajah-wajah itu sekarang tidak akan mudah saya jumpai setiap hari.

Lagi pula saya jadi paham. Dengan menunduk berarti kita merendahkan ego diri sendiri. Sikap tubuh ini menunjukkan kita telah merendahkan gengsi, mengakui kelemahan menjaga prilaku diri, dan memohon agar kesalahan itu dimaafkan.

Paling utama, momen seperti ini menjadi momen penuh syukur. Syukur saya masih bisa bertemu keluarga. Syukur saya punya rezeki untuk bisa pulang ke jogja. Syukur karena tahun ini saya punya waktu yang lebih panjang -sembilan hari!- di Jogja. Syukur opor ayam, sambel goreng krecek, ketupat, dll masih lengkap di meja makan saat Lebaran. Dan syukur saya tidak lagi memandang momen ini sebagai hari yang menakutkan. Saya tidak lagi malu untuk meminta maaf.


Monday, July 6, 2015

Pada Suatu Hari Ketika Pencurian Motor Membuat Saya Merasa Jadi (Manusia) Jahat

Lantai bawah kos saya sudah ramai ketika akhirnya saya bangun untuk sahur. Ibu kos sudah mulai teriak-teriak, entah meneriaki si bapak atau anaknya Ojan.

Di lantai atas, saya hanya sahur berdua. Kami sahur dalam diam, karena masih terbawa kantuk. Lantai bawah juga tiba-tiba sunyi. Suara ojan yang biasanya paling berisik juga sudah hilang, sepertinya sudah kembali teredam pintu kamarnya.

Belum mendekati waktu subuh, tiba-tiba saya dikagetkan suara motor negbut di depan rumah. Bunyi mesin menanjak di jalanan depan itu diikuti suara teriakan kalap dari laki-laki yang kemudian saya ketahui adalah penghuni kos-kosan tetangga.

Saya tahu apa itu. Tapi saya tidak mau komentar. Saya cuma melirik teman di depan saya, berharap ia tidak menyebut apa yang ada di pikiran saya.

Tapi rupanya keluarga pemilik kos di lantai bawah lebih dulu teriak setelah paham apa yang terjadi. Mereka ikut kalap ke luar rumah, meneriaki maling motor yang pasti sudah jauh.

Saya lemas. Hingga detik itu saya masih belum tahu motor siapa yang dibawa pergi si pencuri. Bahkan tangan saya gemetar. Saya takut. Saya takut kalau itu motor saya. Dalam hati saya terus berharap semoga itu motor orang lain saja yang dibawa kabur. Motor siapa saja terserah asal bukan motor saya.

Meski akhirnya lega setelah tahu itu motor tetangga, beberapa hari sejak kejadian itu saya masih takut. Takut kalau itu menimpa saya. Tapi bukan itu yang mau saya omongkan di sini. Lama-lama dipikir, saya justru terkejut pada kenyataan, bahwa saya nyatanya bisa menjadi jahat. Saya merasa sedikit menyesal dengan doa saya.

Harapan saya yang tercetus saat itu hanya berupa contoh bukti bahwa kita sebagai manusia yang katanya tinggi akal dan budinya masih sangat menempatkan insting dalam merespon suatu hal. Kita yang katanya makhluk sosial, pada kenyataannya jauh di dalam dirinya selalu berharap kebaikan bagi dirinya sendiri dan tidak peduli apa yang terjadi dengan orang lain. Dan saya yang antroposentris ini, di kala kepepet bisa menjadi liar. Entah dalam prilaku atau pun pikiran seperti yang saya lakukan. Sedikit menakutkan, heh?

Merembet ke kasus yang lebih luas, dan ini memang akan ke mana-mana, semua ujung-ujungnya soal ego. Tapi apa saya bisa dikatakan egois, kalau yang semacam ini kata Thomas Hobbes sudah menjadi sifat dasar manusia? Berdasarkan cetusan harapan yang saya lakukan saat ada kasus pencurian di depan kos saya itu, saya sedikit banyak setuju sama Kakek Hobbes.

Pikir lah, bahkan yang nampaknya seperti berkorban untuk orang lain, seperti memberi santunan kepada fakir miskin,  pun juga demi diri sendiri. Mungkin itu supaya hidup menjadi lebih tenang. Atau mungkin untuk mendapat pahala. Atau ada yang berharap supaya Tuhan melipat gandakan rejeki kita nantinya. Atau biar tidak menyesal kalau nanti uangnya hilang dan dituding karena kurang beramal.

Pengemis bahkan sudah pakai tagline ini loh biar masyarakat mau kasih mereka sedekah. Mereka dengan bangga menyebut diri dibutuhkan untuk beramal dan dapat pahala. Pernah dengar kan?

Jadi, istilah makhluk sosial itu sebenarnya asas dimanfaatkan atau memanfaatkan manusia lainnya. Apa pun akan dilakukan jika itu akan menguntungkan bagi kita.

Tapi kalau berangkat dari teorinya Hobbes tadi, artinya setiap kali manusia berbuat untuk kepentingan diri sendiri berarti kita sedang menyesuaikan diri dengan tuntuan alam. Berarti kalau begini saya sebenarnya jahat nggak ya? Toh saya dituntut oleh alam. Ah...

Sumpah deh, saya mungkin akan ditertawai Dalai Lama kalau pikiran saya masih terpengaruh Thomas Hobbes yang bahkan sudah meninggal pada abad ke-17. Mungkin Dalai Lama bakal bilang, Ris, gimana lo mau bahagia bawaan lo curigaan mulu sama orang. Ya, pada akhirnya saya mau bilang, buang jauh-jauh gunjingan saya tadi, buang, lupakan! Idup kita akan lebih santai, mudah, dan bebas kalau selalu lihat sisi positifnya kan? Dalam artian tidak diracuni pemikiran bahwa setiap orang pasti ada maunya dalam melakukan sesuatu. Iya kan? iya aja lah biar bahagia.

Lalu soal doa saya supaya motor orang lain saja yang dicuri dan bukan milik saya? Ah sudah lah... mungkin cuma saya yang suka berharap sesuatu yang jahat bagi orang lain. Tidak semua manusia seperti saya kan, bukan begitu Dalai Lama?

Sunday, July 5, 2015

Pulang



Dulu saya pernah sangat berharap setelah kuliah untuk tidak menetap di Jogja. Saya selalu merasa bingung harus apa karena bosan. Saya senang pada akhirnya dapat pekerjaan yang cukup jauh dari rumah dan membuat saya tidak diam di tempat. Tapi apa sekarang? saya bingung karena kesulitan untuk kembali pulang ke Jogja.

Saya ingat, saat itu masih Bulan Mei ketika tengah malam saya masih berusaha terjaga sambil duduk di sofa kos-an menghadap laptop. Tepatnya, saya dan dua teman saya. Ngapain? Nongkrongin saat-saat tiket kereta api untuk dua bulan kemudian dijual secara online.

Hasilnya? nihil. Saya gagal dapat tiket kereta.

Saya masih bisa tenang. Sebulan kemudian, berita tersebar tiket kereta tambahan sudah bisa diakses. Kembali kami bertiga tengah malam duduk berusaha terjaga di depan layar netbook yang bikin mata lebih pedas karena sambil menahan kantuk.

Hasilnya? nihil. Saya kembali gagal dapat tiket kereta.

Panik? mulai panik. Di sini satu pilihan transportasi andalan saya terpaksa saya coret.  Walaupun tak suka, masih ada harapan tiket pesawat, bus, atau travel.

Sebenarnya kalau pun saat itu saya dapat tiket, saya tidak yakin juga apa saya sudah beli untuk jadwal keberangkatan yang benar. Saya masih belum yakin kapan saya boleh pulang saat lebaran. Saya juga masih belum menentukan jadwal cuti, karena jadwal libur saja belum keluar.

Kepanikan saya terus bertambah seiring dengan naiknya harga tiket pesawat secara periodik. Setiap kali saya intip situs penjualan tiket, ada saja angka yang berubah. Yang berkurang hanya jumlah seat yang tersisa, pastinya. Dan jadwal libur saya tak kunjung keluar.

Sementara, Bapak saya makin ke sini makin sering tanya apa saya sudah dapat tiket mudik atau belum. Naik bus atau travel? saya tak mau ambil risiko macet dua hari di jalan. Maka, setelah jadwal keluar dan cuti saya ambil, bukan lagi soal uang yang saya pikir. Pada akhirnya naik apapun pokoknya saya harus pulang lebih lama lebaran ini.

Lucu kalau dipikir-pikir. Tuhan, karena saya percaya Dia ada, selalu punya cara untuk menegur saya kalau saya lupa bersyukur. Dulu sekali saya hampir tak suka dengan momen lebaran. Lebaran versi saya sebelumnya, ibarat euforia tanpa batas. Lupa diri. Pemborosan. Dan ini adalah momen di mana akhirnya kedok seorang agamawan yang kagetan terbongkar dengan sendirinya.

Lebaran itu tidak beda dengan Valentine. Kalau pada perayaan 14 Februari orang tiba-tiba jual murah kasih sayang. Di 1 Syawal orang jual murah kata maaf.

Untuk yang satu ini sangat sulit saya lakukan. Hingga pada akhirnya lebaran adalah momen yang paling saya takuti. Lebay? Nggak. Saya serius. Saya takut.

Bayangan saya adalah saya harus minta maaf ke banya korang. Entah kenal atau tidak. Entah saya ingat apa salah saya atau tidak. Sehingga, saya lebih sering berpikir, maaf untuk apa? Minta maaf untuk sesuatu yang kita tidak tahu, apa itu pantas disebut permintaan maaf?

Lebih menakutkan lagi ketika saya sadar salah saya tak bisa disebutkan saking banyaknya. Ini lebih untuk orang tua saya. Minta maaf ke mereka rasanya sangat berat, sehingga kadang yang keluar bukan dari mulut tapi dari ujung mata.

Sekarang saya dihadapkan pada keadaan yang sebenarnya dulu saya harapkan. Saya punya alasan untuk tak datang saat lebaran. Tapi apa? sekarang saya kekeuh ingin pulang saat lebaran. 

Jadi ingat, tahun lalu saya hanya diberi jatah tiga hari dan Solat Ied sendirian di tengah Kota Bandung dan masih disambi liputan. Sekarang? saya mau merasakan lagi hari-hari menjelang lebaran sampai setelah lebaran di rumah. Di Jogja, dengan keluarga dan mungkin orang-orang yang bahkan tidak saya kenal. Siapa peduli? yang penting saya pulang.





#Sumber gambar dari sini