Sorot lampu mobil dan gemerlap lampu jalanan tidak membuyarkan pesona iring-iringan lampion takbiran di sepanjang jalan Kota Jogja. Beberapa kendaraan sampai harus melambatkan lajunya untuk sengaja menonton pawai tahunan ini.
Syukur tidak ada yang berubah. Saya masih bisa menganga melihat anak-anak berbaju muslim dan beberapa pakai batik beriringan mengangkat lampion sambil menggemakan takbir. Lebaran di Jogja tetap semarak.
Tapi rasanya tetap berbeda untuk saya. Setelah tahun sebelumnya menghabiskan malam takbiran di Bandung, tahun ini aroma Lebaran tetap paling spesial. Saya juga baru tahu, tak mudah mendapatkan pemandangan semeriah ini di kota lain. Di Bandung, pawai takbiran keliling ini tak ada.
Tapi bukan cuma itu pastinya yang membuat saya merasa berbeda. Saya ingat dulu, Lebaran selalu membuat saya merasa seperti mendapat momen paling menegangkan. Saya seperti murid yang disuruh maju ke depan kelas untuk berpidato dalam Bahasa Jawa krama.
Dan memang itu yang terjadi. Setiap Lebaran, budaya keluarga saya mengharuskan untuk melakukan sembah sungkem kepada orang tua, kepada nenek, kakek, atau orang-orang di keluarga yang dituakan. Ini tidak pernah bisa saya lakukan dengan baik. Saya tidak pernah menjadi terbiasa dengan kebiasaan itu. Padahal itu sudah saya lakukan hampir setiap tahun, seumur hidup.
Rasanya aneh. Duduk berlutut di hadapan seseorang, dengan kepala menyentuh lututnya sambil mengucapkan kalimat maaf yang panjang. Satu orang yang meminta maaf bisa sampai menangis setelah mengucapkan entah apa yang terlihat sangat panjang dan lama. Itu masih ditonton banyak saudara lainnya yang menunggu giliran atau sudah selesai sungkeman.
Apalagi sayup-sayup saya mendengar mereka saling balas mengucap dengan Bahasa Jawa halus. Dan saya? mungkin saya orang paling singkat ketika minta maaf. Ditambah saya minta maaf pakai Bahasa Indonesia. Aduh! Ini momen paling menegangkan untuk saya sejak kecil. Hanya bilang maaf saja sudah sulit, apalagi dengan cara seperti itu dan ditonton banyak orang.
Tapi toh sekarang saya tidak peduli. Saya mungkin bisa memaknai momen ini sebagai hari yang paling emosional. Saya masih gugup ketika sungkeman, tentu saja, tapi saya juga gembira.
Di situ ada wajah-wajah yang sudah saya kenal seumur hidup saya. Ibu, Bapak, adik laki-laki saya, eyang putri, tante, pakde, bude, simbah kakung, juga sepupu-sepupu saya. Wajah-wajah itu sekarang tidak akan mudah saya jumpai setiap hari.
Lagi pula saya jadi paham. Dengan menunduk berarti kita merendahkan ego diri sendiri. Sikap tubuh ini menunjukkan kita telah merendahkan gengsi, mengakui kelemahan menjaga prilaku diri, dan memohon agar kesalahan itu dimaafkan.
Paling utama, momen seperti ini menjadi momen penuh syukur. Syukur saya masih bisa bertemu keluarga. Syukur saya punya rezeki untuk bisa pulang ke jogja. Syukur karena tahun ini saya punya waktu yang lebih panjang -sembilan hari!- di Jogja. Syukur opor ayam, sambel goreng krecek, ketupat, dll masih lengkap di meja makan saat Lebaran. Dan syukur saya tidak lagi memandang momen ini sebagai hari yang menakutkan. Saya tidak lagi malu untuk meminta maaf.