Sunday, July 5, 2015
Pulang
Dulu saya pernah sangat berharap setelah kuliah untuk tidak menetap di Jogja. Saya selalu merasa bingung harus apa karena bosan. Saya senang pada akhirnya dapat pekerjaan yang cukup jauh dari rumah dan membuat saya tidak diam di tempat. Tapi apa sekarang? saya bingung karena kesulitan untuk kembali pulang ke Jogja.
Saya ingat, saat itu masih Bulan Mei ketika tengah malam saya masih berusaha terjaga sambil duduk di sofa kos-an menghadap laptop. Tepatnya, saya dan dua teman saya. Ngapain? Nongkrongin saat-saat tiket kereta api untuk dua bulan kemudian dijual secara online.
Hasilnya? nihil. Saya gagal dapat tiket kereta.
Saya masih bisa tenang. Sebulan kemudian, berita tersebar tiket kereta tambahan sudah bisa diakses. Kembali kami bertiga tengah malam duduk berusaha terjaga di depan layar netbook yang bikin mata lebih pedas karena sambil menahan kantuk.
Hasilnya? nihil. Saya kembali gagal dapat tiket kereta.
Panik? mulai panik. Di sini satu pilihan transportasi andalan saya terpaksa saya coret. Walaupun tak suka, masih ada harapan tiket pesawat, bus, atau travel.
Sebenarnya kalau pun saat itu saya dapat tiket, saya tidak yakin juga apa saya sudah beli untuk jadwal keberangkatan yang benar. Saya masih belum yakin kapan saya boleh pulang saat lebaran. Saya juga masih belum menentukan jadwal cuti, karena jadwal libur saja belum keluar.
Kepanikan saya terus bertambah seiring dengan naiknya harga tiket pesawat secara periodik. Setiap kali saya intip situs penjualan tiket, ada saja angka yang berubah. Yang berkurang hanya jumlah seat yang tersisa, pastinya. Dan jadwal libur saya tak kunjung keluar.
Sementara, Bapak saya makin ke sini makin sering tanya apa saya sudah dapat tiket mudik atau belum. Naik bus atau travel? saya tak mau ambil risiko macet dua hari di jalan. Maka, setelah jadwal keluar dan cuti saya ambil, bukan lagi soal uang yang saya pikir. Pada akhirnya naik apapun pokoknya saya harus pulang lebih lama lebaran ini.
Lucu kalau dipikir-pikir. Tuhan, karena saya percaya Dia ada, selalu punya cara untuk menegur saya kalau saya lupa bersyukur. Dulu sekali saya hampir tak suka dengan momen lebaran. Lebaran versi saya sebelumnya, ibarat euforia tanpa batas. Lupa diri. Pemborosan. Dan ini adalah momen di mana akhirnya kedok seorang agamawan yang kagetan terbongkar dengan sendirinya.
Lebaran itu tidak beda dengan Valentine. Kalau pada perayaan 14 Februari orang tiba-tiba jual murah kasih sayang. Di 1 Syawal orang jual murah kata maaf.
Untuk yang satu ini sangat sulit saya lakukan. Hingga pada akhirnya lebaran adalah momen yang paling saya takuti. Lebay? Nggak. Saya serius. Saya takut.
Bayangan saya adalah saya harus minta maaf ke banya korang. Entah kenal atau tidak. Entah saya ingat apa salah saya atau tidak. Sehingga, saya lebih sering berpikir, maaf untuk apa? Minta maaf untuk sesuatu yang kita tidak tahu, apa itu pantas disebut permintaan maaf?
Lebih menakutkan lagi ketika saya sadar salah saya tak bisa disebutkan saking banyaknya. Ini lebih untuk orang tua saya. Minta maaf ke mereka rasanya sangat berat, sehingga kadang yang keluar bukan dari mulut tapi dari ujung mata.
Sekarang saya dihadapkan pada keadaan yang sebenarnya dulu saya harapkan. Saya punya alasan untuk tak datang saat lebaran. Tapi apa? sekarang saya kekeuh ingin pulang saat lebaran.
Jadi ingat, tahun lalu saya hanya diberi jatah tiga hari dan Solat Ied sendirian di tengah Kota Bandung dan masih disambi liputan. Sekarang? saya mau merasakan lagi hari-hari menjelang lebaran sampai setelah lebaran di rumah. Di Jogja, dengan keluarga dan mungkin orang-orang yang bahkan tidak saya kenal. Siapa peduli? yang penting saya pulang.
#Sumber gambar dari sini
Labels:
What a Day!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment