Tuesday, May 26, 2015

Oleh-Oleh Kerinduan Dari Papandayan



Matahari sudah hilang sejak kami mulai meninggalkan Terminal Guntur yang ada di Kabupaten Garut. Waktu kami sampai di terminal, jam di tangan saya sudah menunjukkan pukul 16.30. Cukup sore sebenarnya untuk kami memulai pendakian nantinya. Khususnya bagi saya yang akan melakukannya untuk pertama kali.

Tadi siang, kami baru mulai berangkat dari Jakarta sekitar pukul 11.30 dengan Bus Primajasa jurusan Garut. Padahal dari Terminal guntur ini kami masih harus melalui perjalanan sekitar satu jam lagi atau bahkan lebih, untuk sampai ke titik awal pendakian Gunung Papandayan, salah satu gunung yang ada di Garut dengan ketinggian 2.665 Mdpl. Bukan cuma itu, dalam satu jam perjalanan ke titik awal pendakian, kami butuh satu kali lagi berpindah kendaraan.

Cukup nekat sebenarnya kami ini. Binti, rekan sesama Republika, adalah satu-satunya peserta yang sudah lebih akrab dengan pendakian, di antara kami berenam yang semuanya perempuan itu. Sementara untuk Papandayan, tidak satupun dari kami yang pernah mencoba mengakrabinya. Tapi tidak tahu kenapa, saat itu rasanya kami semua hanya merasakan antusiasme yang memuncak.

Setelah sampai di Cisurupan, kami pun berhasil melobi untuk sebuah mobil bak terbuka demi mencapai pos pendakian. Sudah malam, jadi kami tidak bisa melihat pemandangan kiri-kanan saat kami rasa kendaraan itu semakin menanjak. Kami hanya bisa memberi pujian untuk pemandangan di kejauhan yang memperlihatkan kelap kelip lampu kota. Dari situ kami tahu, kami sudah semakin menajuhi daratan.

Akhirnya mobil pun berhenti. Kami melompat turun dan segera meraba tempurung besar di punggung kami untuk mencari senter. Jam di tangan saya menunjukkan pukul 20.00. Baru ingin melangkah, bapak-bapak di belakang kami langsung memperingkatkan untuk menunda pendakian hingga pagi. Tapi saat itu cuaca begitu cerah. Bintang di langit sudah mulai memperlihatkan diri satu, dua, tiga, belasan mungkin. Kami ingin mendaki saat itu juga.

Sejak awal kami memang berencana hanya akan melakukan pendakian ini separuh. Berenam, kami akan menanti pagi dengan mendirikan tenda di camping ground Pondok Saladah. Baru besoknya kami mencari puncak si Papandayan.

Keraguan kami akibat peringatan bapak-bapak tadi pun terpecahkan. Syukurlah, saat itu ada seorang bapak pemilik warung di atas kawah yang juga berniat melalui jalan yang sama dengan kami. Jadilah rombongan kami bertambah dua setengah peserta lagi. Setengah? Ada si kecil Hasan yang gesit berkelit di atas tanjakan batu sekaligus sebagai pimpinan rombongan. Bocah kelas dua SD itu luar biasa. Hanya dengan sendal jepit kakinya melangkah lincah sekali.

Saya pun menarik nafas. Berdoa semoga pendakian Gunung Papandayan kali ini berjalan baik.

Sebenarnya saya selalu punya alasan kenapa dari dulu menghindari diri untuk mencoba mendaki gunung. Menempuh kuliah di jurusan Arkeologi, hal semacam ini seharusnya tidak asing bagi saya. Hampir semua teman-teman saya adalah pecinta alam. Tapi kenyataannya, setiap ada yang mengajak saya selalu tahu diri.

Entah kenapa kali ini saya merasa harus ikut. Paling tidak selama hidup saya pernah merasakan sensasi ini. Dan memang, alasan saya pun terbukti. Saya sudah memperkirakan hal ini bakal terjadi. Saya sesak napas.

Udara malam yang tipis oksigen, ditambah dataran tinggi yang juga semakin menipiskan kebutuhan paru-paru saya, semakin membuat saya ingin mencukupkan perjalanan malam itu. Untunglah, saya sangat bersyukur teman-teman saat itu sangat pengertian. Mereka tidak terburu-buru sampai tujuan. Ketika saya bilang butuh istirahat dan menghela nafas, mereka pun tanpa protes langsung menghentikan langkah.

Sekeliling kami begitu gelap. Kami tak akan tahu penampakan kiri dan kanan kami, jika saja hidung ini tidak menangkap bau belerang yang semakin kuat. Cukup kuat sampai membuat beberapa teman terbatuk-batuk. Kami agak melambat di sini, jalan berbatu juga cukup membuat kaki cepat pegal. Satu-satunya pemandangan yang jelas bagi kami adalah kilauan lampu di kejauhan yang menyatu dengan gemintang beralas langit yang gelap. Cuma di sini, di ketinggian seperti ini, benderang kota tak bisa mengalahkan ciptaan Yang Kuasa. Segera saya membayangkan seperti apa langit di atas nanti. Pikiran ini pun seperti menjadi tenaga baru bagi saya dan kawan-kawan untuk meraih dataran yang lebih tinggi.

Jalan berbatu ini akhirnya tuntas dilewati setelah warung milik bapak pemandu dadakan kami tadi nampak di depan mata. Kedua bapak itu dan tentunya si kecil Hasan harus berpisah di sini. Ketidaktahuan kami soal jalur pendakian memunculkan sedikit keraguan untuk melanjutkan perjalanan. Tapi Entahlah, nampaknya bantuan begitu banyak hadir untuk kami malam itu. Setelah sebentar mengambil nafas di warung, empat pendaki laki-laki mendekat. Katanya, mereka juga akan langsung menuju Pondok Saladah. Tak menunggu waktu lama, kami langsung berpamitan dengan warga yang ada di warung, dan mengikuti keempat pendaki tadi.

Agak heran, mereka berempat tidak membawa barang sebanyak kami. Matras hanya mereka tenteng di tangan. Itu pun hanya satu orang yang saya lihat membawa. Lainnya, hanya jaket tipis dan tas medium yang kempes.

Mungkin itu juga yang sedikit mempengaruhi perbedaan kecepatan jalan kami. Kami tertinggal cukup jauh. Senter kami semakin redup. Dan kami rasa kami salah ambil jalan.

Ada suara sungai di bawah sana. Dan akhirnya kami tahu itu lah jalur yang seharusnya kami lalui. Kami harus menyebrang sungai. Tidak deras. Batuannya memudahkan kami sebagai pijakan untuk menyebrang. Lawan kami hanya kegelapan saat itu. Empat pendaki di depan kami juga sudah tak terlihat.

Jalur itu pun kembali mempertemukan kami dengan jalan berbatu. Tidak nampak menanjak. Tapi pepohonan sudah semakin banyak di sini. Saya harus berebut oksigen dengan mereka karena ini malam hari. Kondisi ini membuat saya kembali sesak nafas. Saya harus kembali menghela nafas sejenak sembari memandangi teman saya yang saling berbagi madu.

Berjalan lagi, sambil membicarakan apa saja untuk melupakan apapun perasaan negatif yang kami rasakan saat itu. Rasa-rasanya pembicaraan saat itu sungguh konyol. Tapi tetap saja kami bisa tertawa. Ditambah langit yang juga semakin ramai dengan gemintang. Lengkap lah sudah.

Menyempatkan diri melihat jam di tangan, sudah pukul 22.00. Di depan sana ada hamparan rumput agak luas dengan beberapa tenda berdiri. Sempat kesenangan karena dikira sudah sampai, saya langsung sedikit kecewa. Ternyata itu baru pos kedua untuk registrasi.

Bapak penjaga sempat bertanya keadaan kami. Saya bilang, saya sempat sesak. Ia pun menawarkan oksigen tabung kecil untuk saya hisap. Jujur saja baru kali itu merasakan, dan cukup melegakan juga. Rasanya pandangan saya sedikit terang setelah akhirnya menapaki jalur pendakian kembali.

Jalur dari sini semakin lebat dengan cantigi. Agak sempit, kami pun harus berjalan dalam satu barisan. Ternyata tidak cukup jauh. Pukul 22.30, keramaian camping ground Podok Saladah sudah nampak. Wajar, saat itu malam minggu. Arena kemping penuh dengan puluhan tenda.

Lokasi di dapat, teman paling berpengalaman saya, Binti, langsung memimpin ritual pendirian tenda ini. Dua tenda ditambah dua flysheet pun rapi terpasang siap untuk menaungi kami hingga pagi menjelang.

Sebelum beramah tamah dengan sleeping bag, kami sempatkan diri dulu mengganti baju kami yang basah karena keringat juga mengisi perut. Menu kami malam itu memang serba instan, mie dan juga kopi. Tapi apapun, rasanya akan nikmat dimakan di tengah udara gunung seperti saat itu. Belum lagi ditambah suara binatang liar yang sesekali terdengar. Sungguh Damai.

Tak perlu tunggu waktu lama. Kami langsung melompat ke dalam sleeping bag. Khusus saya, tidak tahu lainnya, kostum tidur saat itu adalah jaket tebal, syal, kaus kaki, sarung tangan, dan tudung kepala. Meski begitu, tetap butuh waktu lama sampai saya bisa benar-benar terlelap. Di dekat tenda saya, nampaknya rombongan lain merasa tidak perlu tidur malam itu. Mereka terus bernyanyi dan tertawa dengan suara keras. Sesekali suara binatang dikejauhan masih juga terdengar. Tapi tidak ada suara magis serupa pandai besi yang katanya membentuk nama Papandayan. Mungkin suara itu sudah teredam ramainya pendaki yang terus memenuhi kawasan ini.

Semakin malam, jaket semakin rapat. Saya yang mudah kedinginan ini bahkan merasa harus melipat badan dan menyembunyikan tangan di antara paha seiring dengan subuh yang menjelang.

Matahari belum siap merajai langit ketika saya bangun keesokan harinya. Sedikit terkejut, terdengar suara adzan yang dikumandangkan oleh penghuni tenda lain. Saya merinding. Di tengah subuh yang sunyi, suara itu begitu agung.

Pagi itu, menu makan kami lebih berkualitas. Binti mengisi perut kami dengan roti bakar buatannya. Saya menambahnya dengan sup makroni ditambah kornet keju. Aroma kopi pun menyeruak di tengah hawa segar pagi hari pegunungan. Saya yang punya masalah dengan pernapasan ini, tidak pernah lupa untuk bernapas dalam-dalam. Ini saat paling tepat mencuci paru-paru, pikir saya.

Setelah sarapan, rencana kami pagi itu adalah melanjutkan pendakian menuju puncak. Memang sedikit terlambat dari jadwal yang kami inginkan. Apa boleh buat, antrian ke kamar mandi sungguh di luar dugaan. Kami harus menyediakan waktu satu jam untuk ini. 

Setelah semua beres, tenda pun sudah kami rubuhkan dan kembali rapi masuk ke dalam carrier, kami siap melanjutkan perjalanan. Melihat trek yang sungguh terjal, kami semua akhirnya memutuskan untuk menitipkan carrier kami ke pemilik warung di sana.

menuju puncak
Dengan membawa perbekalan yang kami anggap cukup, kami menuju Tegal Alun. Perkiraan kami tepat. Jalan menuju puncak sungguh curam. Kami sampai harus berpegangan pada akar pohon. Terlebih lagi, tanah lempung yang kami injak membuat jalan yang kami lalui sedikit licin.

Satu jam yang kami butuhkan untuk melalui vegetasi cantigi hingga sampai ke puncak bukit. Puncak di sini memang tak begitu jelas, terutama bagi yang belum pernah mendaki Papandayan. Kebanyakan pendaki hanya mencukupkan perjalannya hingga ke Tegal Alun. Jujur saja, saat itu kami agak bingung setelah itu harus kemana. Apalagi melihat saat itu sudah tengah hari. Teman Republika saya lainnya, Nia, saat itu terburu jadwal harus mengisi piket malam di kantor. Akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke Pondok Saladah dengan jalur yang kami lalui saat naik tadi.

Hutan mati yang dramatis dari ketinggian ini
Trek menurun ternyata juga punya tantangan tersendiri. Curam dan licin, membuat kami harus ekstra hati-hati. Satu jam, sama seperti waktu yang kami butuhkan untuk naik, kami sampai lagi ke Pondok Saladah. Kami langsung menjemput bawaan kami yang dititipkan sebelumnya. Setelah merasa cukup beristirahat, kami pun segera melanjutkan perjalanan untuk turun ke pos pendakian awal.

Menengok ke belakang, Pondok Saladah memang sudah mulai kosong. Melihat pemandangan seperti itu ada perasaan aneh yang tiba-tiba menyisip. Gunung mungkin selalu punya cara tersendiri untuk mengoleh-olehi pendakinya bekal kerinduan.

Di perjalanan turun, kami berselisih dengan beberapa rombongan pendaki yang sebelumnya ikut memenuhi Pondok Saladah. Saling sapa dengan senyuman, kami pun berjalan beriringan. Perjalanan turun ini cukup membuat saya terpaku. Apa yang kemarin disembunyikan oleh tirai malam adalah sebuah pemandangan yang tidak terkira. Rasanya perjalanan kali itu tidak begitu terasa melelahkan. Hawa sejuk dan pemandangan yang hijau biru dengan kelebat uap kawah di kejauhan membuat saya justru bersenandung di dalam hati.

Sampai di bawah saya hanya bisa bersyukur. Saya menyelami kembali perjalanan kami sebelumnya. Cuaca cerah dan bantuan yang selalu datang tepat waktu, benar-benar membuat saya tertegun. Pengalaman pertama memang tak akan pernah terlupa.

Monday, May 18, 2015

Gerrard Si Pemberani




Steven Gerrard, dalam 17 tahun berkarier di sepakbola hanya bermain untuk satu klub, Liverpool. Setelah pertandingan kandang terakhirnya untuk klub melawan Crystal Palace (16/5) ia pun mengucapkan selamat tinggal.

Gegap gempita sambutan penonton mengantar pemain berusia 34 tahun itu pada penampilannya yang ke-709 bagi The Reds. Spanduk penghormatan pun dibentangkan di tribun penonton oleh para pendukung. Para pemain Liverpool mengenakan jersey bernomor 8 dengan nama Gerrard sebagai ucapan perpisahan.

Sang kapten memang mengakhiri kariernya di Anfield dalam suasana emosional. Melihat ke belakang pada 17 tahun bersama Liverpool, ia mengaku bangga. Gerrard berjanji tak akan pernah melupakan peristiwa kali ini.

"Suatu pelepasan yang sulit dipercaya," ungkapnya kepada BBC Sport.

Baru-baru ini saya dihadapkan pada kategori yang sama dengan apa yang dihadapi Steven Gerrard. Saya, relasi, dan perpisahan. Tiga kata kunci yang kombinasinya paling tidak saya sukai.

Lagi-lagi soal perpisahan. Kata itu selalu mengundang segala perasaan negatif. Perasaan yang akan ada jika ada lebih dari satu yang saling terhubung, yang kemudian mereka saling tercerai karena suatu hal.

Gerrard punya 17 tahun untuk membangun relasi. Ia hanya butuh 90 menit waktu pertandingan di Anfield untuk merasakan beratnya berpisah. Tidak sampai dua jam ia merasakan saat terakhir dirinya tak lagi menjadi bagian dari Stadion di Liverpool itu.

Bagaimana rasanya?

Yang jelas Gerrard adalah orang paling berani yang pernah saya tahu. Maka kepergiannya pun dihormati dengan gempita yang hebat. Di saat semua rekannya sibuk menandatangani kesepakatan kontrak dengan klub ini itu, dia menyatakan diri ingin terus bermain bagi Liverpool.

Saya tak seberani itu. Kini sudah setahun saya di tempat kerja ini. Saya belum merasa takut karena saya berusaha untuk tidak punya keterikatan apapun. Maksud saya di dalam hati. Di media ini, saya hanya mencari makan dan berlatih menulis. Titik.

Tapi di sini, di kos ini, saya baru delapan bulan. Mungkin. Saya tidak yakin, yang jelas baru hitungan bulan. Dan saya sudah merasa ketakutan. Saya sudah jauh terhanyut.

Ada yang menganggap saya bukan lagi hanya seorang teman. Katanya saya sudah seperti keluarga. Delapan bulan, dan sudah menganggap saya sejauh itu. Jika dibandingkan Gerrard yang sudah 17 tahun dan hanya butuh 90 menit untuk menyatakan selamat tinggal, berapa detik yang saya butuhkan?

Oke mungkin itu agak berlebihan. Tapi relasi itu bagi saya ibarat menarik ke arah yang berlawan sehelai rambut yang sudah terbelah dua sebelumnya. Begitu tipis, begitu rapuh, begitu mudah di patahkan.

Jadi, tidak mempunyai hubungan akan sangat aman, tapi tentunya itu tidak mungkin. Maka menjaga hubungan agar tetap "biasa" itu lah yang saya cari. Dan kelakukan saya kalau sudah begini adalah: menarik diri.

Biasanya saya akan mundur sebentar. Mengurai ikatan yang menurut saya sudah terlampau kuat. Mengendurkannya kembali untuk menjadikannya lebih mudah ditata.

Bilang lah saya pengecut. Tapi coba pikir kembali, semua makhluk hidup punya pertahanan diri terhadap predatornya masing-masing. Dan ini lah cara saya. Saya suka perasaan bebas tanpa tanggungan apa pun.

Saat ini tanda-tanda itu mulai terlihat. Di saat perilaku teman-teman saya mempengaruhi perasaan saya, baik secara langsung maupun tidak langsung, yaitu di mana makin banyak yang bercerita soal relasinya masing-masing dengan kenalan masing-masing,  maka sudah waktunya saya mengulur tali ralasi ini. Menjadi natural dan tak terlalu berbelit...

Hhhhmmmmm......

Baiklah.... Baiklahhh...Ini gunanya menulis kan? Ibarat meditasi. Introspeksi lalu mengikhlaskan emosi.

Setelah paragraf terakhir tadi selesai ditulis agaknya saya akan menyesal jika itu saya lakukan. Itu dulu saya lakukan. Sekarang saya harus menekankan diri untuk tidak begitu lagi.  Saya akan berani seperti Gerrard. Hahahahah..... ^_^



#Sedikit modifikasi dari paragraf awal yang juga saya tulis berita di Republika
*
Dapat gambar dari sini

Wednesday, May 13, 2015

Sisa Sihir Kota Banten Lama (Bagian II): Pusat Semesta Banten Lama

Banten atau yang dulu dikenal dengan Bantam. Daerah ini sempat menjadi kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Sampai kemudian pada abad ke-16, wilayah ini berada di bawah kekuasan Kerajaan Islam Demak dan akhirnya menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Banten yang berdiri sendiri. Putra Syarif Hidayatullah, Sultan Hasanudin, adalah penguasa pertamanya.

Pagi itu saya terbangun oleh suara mengaji yang diperkeras dengan speaker. Biasanya saya tidak terlalu terganggu dengan suara yang sering kali terdengar menjelang adzan subuh itu. Tapi kali ini suaranya terdengar begitu keras, yang membuat sadar kalau saya saat itu berada di sebuah masjid.

Malam sebelumnya setelah dua jam menempuh perjalanan dari Rangkasbitung, saya dan dua teman dari Jakarta tiba di Masjid Agung Banten, Desa Banten Lama. Bersama temannya teman saya dan dua teman laki-laki lainnya yang mengantar kami dari Stasiun Rangkasbitung, kami memutuskan untuk ikut menjadi penghuni satu malam di serambi masjid kuno itu.

Ketika kami datang, serambi masjid hanya ditiduri sedikit peziarah. Kata Raha, temannya teman saya, Masjid Agung Banten akan sangat ramai pada malam Jumat. Beruntung lah kami. Kalau ramai kami akan harus terima tidur di bawah menara masjid yang bentuknya mirip mercusuar itu.

Menara Masjid Agung Banten yang sangat mudah diingat
Berputar-putar mencari toilet untuk membersihkan diri, saya jadi sempat untuk merasa prihatin. Sebagai salah satu masjid tertua di Nusantara yang juga menjadi salah satu tujuan utama peziarah, masjid ini cukup menyedihkan. Berstatus Cagar Budaya dan primadona wisata ziarah rupanya tidak  menjamin tempat ibadah yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Hasanudin (abad ke-16) itu terpelihara dengan baik. Jangan bandingkan masjid ini dengan Masjid Agung Demak yang sampai toiletnya pun bisa dibilang cukup bersih. Di sini, sampah bahkan bisa mampir dengan mudah ke serambinya. Tidak cuma sampah, bahkan peziarah pun "diizinkan" untuk memakai sandal mereka di atas tulisan "batas suci" (bahkan di serambi!).

Di antara kami bertiga, tidur saya yang paling batu. Saya hanya bangun satu kali dan memang karena sudah waktunya bangun. Saat itu hampir waktu subuh. Saya tahu, saya harus cepat bangun kalau tidak ingin bersaing dengan peziarah yang rupanya jumlahnya bertambah ketika kami tertidur.

Benar saja, yang tadinya saya ingin sekalian mandi, jadi malas karena melihat antrian di toilet persis seperti antrian tiket kereta ke Serang kemarin (baca postingan saya sebelumnya ^_^). Apalagi toilet jorok, bau pesing, tempat sampah tergenang air, sampah tissue tersebar di sekitar lubang toilet, menambah rasa sebal saya pada pengguna masjid itu. Akhirnya saya cuma wudhu dan baru mandi setelah merasa keramaian di toilet bisa ditolerir.

Kira-kira pukul 06.30 WIB kami sudah siap untuk berjelajah. Persis seperti yang saya bayangkan ketika kuliah dulu (kecuali sampah dan kelakuan pengunjungnya), masjid ini unik. Sebagai ikon Banten, masjid ini pas mencerminkan keragaman budaya yang berbaur pada abad pembangunannya.

Tanpa ingin ikut berdebat soal siapa arsitek Masjid Agung Banten, dari manapun mata memandang tiga gaya memang menjadi satu di sini. Arsitektur masjid Nusantara tercermin pada atap tumpang masjid itu, dengan serambi, pawestren, kolam untuk bersuci, juga parit keliling. Arsitektur Cina, tampak pada bentuk serupa pagoda pada atap masjid yang bertingkat lima. Kemudian gaya Eropa terlihat dari menara yang kokoh seperti mercusuar dan juga pada tambahan bangunan bertingkat dua yang disebut Tiyamah.

Dari kompleks masjid ini, sebenarnya tidak jauh terdapat Keraton Surosowan. Mungkin kalau dilihat dari atas, susunan Masjid, Keraton, dan alun-alun yang juga ada di dekat sana akan terlihat persis seperti susunan yang ada di kawasan alun-alun utara Yogyakarata. Dalam penataan itu, alun-alun berada di tengah, masjid di barat, Pasar Karangantu di timur, dan keraton di selatan yang sekaligus merupakan struktur pusat Kota Banten Lama yang berada di daerah Teluk Banten itu.

Alun-Alun Kota Banten Lama
Sayangnya, saat ini Keraton Surosowan hanya berupa sisa-sisa dari kehancurannya. Pertama kali dibangun pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin, keraton ini pernah jatuh dua kali. Seperti yang diceritakan oleh R. Cecep Eka Permana dalam majalah Makara Vol. 8, No. 3 tahun 2004, pada masa pemerintahan Sultan Haji keraton ini dibangun kembali di atas puing-puing keraton Sultan Ageng Tirtayasa yang sudah rata dengan tanah. Kemudian pada tahun 1808 terjadi perselisihan antara Sultan Banten dengan Belanda yang bermuara pada penghancuran Keraton Surosowan di bawah pimpinan Daendels.

Papan Petunjuk yang ringkih
Entah karena memang masih pagi atau memang selalu seperti itu, Keraton Surosowan ketika itu begitu sepi. Objek ini mungkin tidak sepopuler Taman Sari di Jogja sana, karena terlihat yang sering datang justru para gembala ternak. Saya jadi harus berhati-hati agar tidak menginjak sisa-sisa pencernaan kambing atau sapi yang pasti kenyang karena rumput di sana begitu rimbun.

Kesan saya soal bangunan ini pun sayangnya hanya bisa sampai di situ. Datang terlalu pagi rupanya tidak begitu menguntungkan. Saya tidak bisa menjelajah masuk karena pintu masuk ke kawasan ini dirantai rapat. Keraton ini rupanya dikelilingi tembok setinggi kira-kira 2 meter, mirip sebuah benteng Belanda. Di keempat sudut tembok tebal tinggi itu selalu lengkap dengan bastion. Di sana tertulis, jika ingin masuk saya bisa menghubungi petugas museum. Sayangnya, ketika lewat museum tadi, saya belum menjumpai siapa pun yang bisa dimintai kunci. Yasudah lah, alhasil saya cuma bisa mengintip dari gerbang dan keliling untuk foto-foto bagian luar tembok.
Intip-intip bagian dalam

Gerbang Keraton
Rasa lapar pun akhirnya membuat kami harus meninggalkan bangunan sisa-sisa kejayaan Kesultanan Banten itu. Tidak mau rugi, karena tahu di sekitar situ masih banyak saksi bisu lainnya yang ingin kami paksa bicara, kami pun mencari makan yang mungkin searah dengan salah satunya. Pilihan kami adalah Benteng Speelwijk, Vihara Avalokitesvara, dan Keraton Kaibon.

Tanya sana sini, ternyata Benteng Speelwijk dan Vihara Avalokitesvara berdekatan, sementara Kraton Kaibon berada jauh dari lokasi kami. Kami akhirnya pilih ke benteng dan vihara saja dulu. Berdasarkan pernyataan warga di sana, kami harus berjalan kira-kira 3 km dari lKeraton Surosowan. Dekat lah, matahari belum begitu jumawa juga saat itu. Sambil melambai pada banyak tawaran angkot dan ojek, kami pun melanjutkan perjalanan pagi itu...

Bersambung...

Maaf Menyela, Karena Ini Mengganggu...

Langsung saja, saya benci perpisahan. Dan kebencian membuat saya memandangnya seperti musuh. Kepada musuh saya punya cara untuk melindungi diri. Saya menghindari relasi.

Saya ingat, ketika KKN dulu, dua teman paling menyebalkan yang pernah saya kenal menertawakan saya hanya karena saya tidak menangis. Saya adalah satu-satunya mahasiswa KKN perempuan yang tidak menangis ketika pamit dengan warga di desa tempat saya bertugas. Saya tidak bangga. Jujur saja. Saya merasa aneh. Dan semakin aneh ketika dua orang "brengsek" itu malah tertawa. 

Ketika semua orang berpelukan, dan menyeka pipi yang basah, saya hanya berdiri, sendiri di luar kerumunan dan merasa canggung. Apa saya sudah berlaku tidak sopan karena tidak menangis?

Dua teman itu terus tertawa dan meledek. Tapi begini lah saya. Dari awal datang ke sana saya mungkin menjadi satu-satunya orang yang tidak berusaha dekat dengan warga. Hanya kenal, tapi tidak dekat. Saya selalu membawa batas di depan tubuh saya ketika berkenalan dengan orang baru.

Dan hari ini, saya lagi-lagi diliputi perasaan canggung karena harus kembali berpisah. Ini bukan model perpisahan yang mendadak. Saya sudah tahu sejak sebulan belakangan. Teman saya akhirnya pindah. Tidak lagi satu kantor, tidak lagi satu kos, dan tidak lagi satu kamar.

Saya tidak pernah berusaha mengendalikan perasaan. Maka, ini lah saya. Tapi mungkin sebut saja saya teman paling lempeng yang pernah ada. Maaf soal ini. Semoga saja tidak. Tapi maaf. 


Saya tahu, saya pasti menyebalkan ketika teman saya itu cerita mau pindah kos besok, saya cuma bilang "oh, oke". Saya tahu, saya pasti nggak disukai karena saya malah cengengesan waktu dia nangis dan minta maaf pada kami jika dia punya salah selama ini. Saya tahu, pasti saya akan dibilang bukan teman yang perhatian karena saya hampir tidak pernah bertanya mau kemana dia setelah ini.

Jika ini terbaca, saya sih berharap kalau teman saya itu tidak berpikir bahwa dia satu-satunya orang yang saya perlakukan begitu. Saya sih berharap dia tidak punya pikiran aneh-aneh menyangka kalau saya benci dia. Saya hanya membenci relasi, saya benci terlalu terjerumus dalam relasi, karena relasi mengizinkan saya untuk merasakan perpisahan. Itu saja.

Tuesday, May 12, 2015

Sisa Sihir Kota Banten Lama (Bagian I)


Sumber gambar dari sini.
Karangantu atau Karang Hantu. Konon, di tempat itu ada seorang Belanda yang membawa guci berisi hantu. Suatu hari guci itu pecah dan hantu di dalamnya berhasil membebaskan diri. Begitulah mitos yang beredar hingga kawasan yang dulunya pelabuhan di ujung utara-barat Pulau Jawa ini dikenal dengan nama Karangantu.

Nama seram tak cukup membuat kawasan pelabuhan kuno itu dihindari. Terbukti, Bangsa Melayu, Persia, Gujarat, India, Cina, Arab, Belanda, Portugis, Maluku, Makasar, Gresik justru datang membaur seiring dengan aktivitas dagang kala itu. Kelompok masyarakat dari berbagai penjuru dunia itu datang menyandarkan kapal berlayar lebarnya untuk saling bertukar komoditas berupa lada, benih, hasil tekstil, keramik, dan kebutuhan sehari-hari.

Memang, sejak Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, para pedagang lebih memilih untuk mengalihkan pelayaran mereka ke Pelabuhan Karangantu, Banten. Sebagian betah dan menetap, bahkan hingga beranak pinak, yang kemudian bersama mewarnai kota pelabuhan terbesar kedua di Nusantara itu.

Pada masa perkembangan awal, Banten adalah kota kerajaan maritim. Kawasan Banten Lama, yang kini dikenal sebagai Desa Banten Lama, dibentuk sebagai pusat kesultanan dan sebagai kota bandar. Sebagaimana perkotaan kuno di beberapa tempat, di Pulau Jawa khususnya, Banten Lama sudah dilengkapi dengan sarana perkotaan. Keraton, masjid, alun-alun, pasar, pelabuhan, jalan, dan perkampungan membentuk wajah Kota Banten kala itu.

Sayang, hampir semua bangunan yang berkaitan dengan Kesultanan Banten dirusak oleh pemerintah kolonial Belanda. Kesultanan pun runtuh ditandai dengan sistem kerajaan yang tak lagi berlaku sejak abad ke-19. Menurut laman Balai Pelestarian Cagar Budaya Serang, Belanda pun menggeser pusat administrasi pemerintahan Banten ke sebuah tempat yang dikenal dengan nama Serang. Dan malam itu, mengawali perjalanan dari Kota Rangkasbitung, kami, saya dan dua teman saya, ingin membuka kembali pesona Kota Banten Lama.

Magis. Itu satu kata yang bisa dengan sempurna menjelaskan perasaan saya ketika tiba di kota ini. Selain mitos asal usulnya sebagai tempat hantu yang melepaskan diri, katanya, Banten juga menjadi tempat tinggal para ahli ilmu kebatinan.

Berangkat tanpa pengetahuan apa-apa soal transportasi, kami asal saja menuju Stasiun Tanah Abang selepas adzan Ashar. Sampai di Stasiun Tanah Abang, kerumunan orang yang mengantri tiket belum cukup membuat kami paham bahwa mereka akan naik kereta yang sama. Di pikiran kami yang polos, ke Banten itu tidak perlu beli tiket lagi, tapi pakai kartu pra-bayar seperti biasa kami gunakan ketika akan naik KRL. Tanya sana tanya sini, ternyata kami harus beli semacam tiket kertas manual untuk perjalanan jauh, dan sialnya ketika mau antri, tiket sudah habis. Baru lah sadar krumunan manusia tadi itu rupanya pesaing kami.

Sebelum mengawali perjalanan nekat ini, saya sebenarnya sempat bertanya ke seorang teman yang memang warga Banten. Katanya, kami bisa naik KRL ke tanah abang dan lanjut naik kereta ke Stasiun Serang. Dari sana, kami bisa naik angkot jurusan Stasiun Karangantu.

Yah mau gimana, sepemahaman saya, ke Stasiun Serang itu ada KRL-nya. Alhasil kami begitu santai, dan tidak memperhatikan jadwal kereta, yang ternyata jadwalnya tidak seperti KRL yang bisa seenaknya memilih waktu keberangkatan.

Jadi, setelah minta saran dari si satpam penjaga stasiun, kami dianjurkan ke Stasiun Duri dulu untuk beli tiket KRD jurusan Stasiun Rangkasbitung. Yasudah lah, pikir kami, yang penting masuk Banten dulu. Pasti di Rangkasbitung ada angkutan untuk melanjutkan perjalanan ke Serang. Syukur lah, biarpun baru bisa berangkat pukul 18.06 WIB, tiket pun bisa kami dapat tanpa antri di sana dengan harga Rp 5.000!

Di kereta, Kami bertiga duduk sebangku dengan seorang ibu-ibu berjilbab. Kami beruntung. Katanya, kereta yang kami naiki ini adalah kereta terakhir menuju Rangkasbitung. Biar begitu, saya tidak menduga jadi begini. Sebenarnya bingung juga setelah sampai di Rangkasbitung nanti kami harus kemana mengingat hari sudah malam.

Waktu pun menunjukkan pukul 21.00 WIB ketika kami keluar dari Stasiun Rangkasbitung. Cukup lama juga kami dalam perjalanan tadi. Eh dasar,  memang beruntung kami hari ini. Tidak perlu pusing memikirkan nasib selanjutnya, temannya teman saya yang juga tinggal di pinggiran Kota Serang ternyata berbaik hati menjemput kami setelah diberitahu bahwa kami di Rangkasbitung.

Jadilah kami berenam dengan tiga motor. Berkat jasa temannya teman saya tadi beserta dua temannya, kami bisa sampai langsung ke Banten Lama. Untuk sampai di sana, masih butuh waktu dua jam yang ditandai dengan pantat panas karena terus menerus di atas motor. Dan sumpah! Tak terbayang seandainya tidak ada tiga penjemput dadakan ini. Kenapa? Untuk ukuran saya, pukul 21.00 belum lah begitu malam. Tapi di sini, jalanan sudah sepi. Tanpa penerangan memadai, motor kami membelah kesunyian dan (nyaris) kegelapan.

Banten mungkin memang punya sihir, dan saya masih bisa melihatnya. Salah satunya berpendar bersama cahaya bulan yang benar-benar berjasa malam itu. Saya seumur-umur baru kali itu melihat si primadona malam bersolo karir menerangi sebuah tempat yang sebenarnya tidak jauh dari kota. Tidak perlu lampu, saya bisa melihat jelas hamparan sawah detil dengan pepohonan di sekelilingnya di pinggiran jalan yang saya lalui.

Di tengah lamunan itu, teman yang membawa saya dengan motornya tiba-tiba bercerita kalau Banten bukan tempat yang aneh untuk menuntut ilmu kebatinan. Sambil bercerita begitu, saya seketika sadar, dia selalu membunyikan klakson di daerah-daerah tertentu. Anehnya, klakson dibunyikan bukan di persimpangan, tapi justru saat kami melewati rimbunan pohon di pinggir jalan.

"Itu tadi kan kuburan," Si Ahmad, nama teman saya itu, menjelaskan.

Katanya, biar tidak bisa melihat, kita harus percaya kalau kita hidup berdampingan dengan mereka yang beda dimensi. Sebagaimana dengan sesama manusia, kita juga harus menghargai mereka. Salah satu caranya, ketika lewat daerah yang dianggap ditinggali komunitas alam lain itu, setidaknya kita bisa memberi tanda.

"Ya aku juga nggak bisa liat sih, tapi siapa tau ada yang nyebrang, kita kasih tanda aja," begitu kata dia selanjutnya. Dan... Baiklah....Mungkin sejak si Belanda tanpa sengaja melepaskan hantu dalam guci, warga Banten sudah mulai membiasakan diri hidup berdampingan dengan keturunannya yang diyakini hidup di semak dan permakaman.

Syukur, saya tak lagi harus menerjemahkan kemagisan kota ini. Karena setelah berulang kali mencoba mengubah cara duduk supaya si bokong sedikit lebih adem, akhirnya kami sampai di gapura dengan tulisan yang kira-kira bunyinya "Selamat Datang di Kawasan Banten Lama". Dari situ, kami masih harus melewati jalanan becek dengan kiri kanannya adalah tempat pemotongan kayu. Suasana pelabuhan makin terasa mulai dari sini.

Bersambung.....

Monday, May 4, 2015

Sebuah Keluarga dari Atas

Gambar nyomot dari sini


"Ini Budi. Ini ibu Budi."

Dari lantai atas, saya mendengar Ais mengeja sepatah dua patah kata dengan cukup lancar. Dipandu si mama, Ais mulai lancar membaca.

Kalau dipikir-pikir, Ibu dan anak ini hubungannya tidak jauh beda dengan suasana hati saya. Kadang  manis, kadang ganas. Si mama bisa tertawa renyah ketika anaknya yang masih duduk di bangku TK itu melakukan hal konyol khas anak kecil. Tapi si mama juga bisa membentak dengan suara memekakkan telinga ketika si anak melakukan kekonyolan lainnya.

Agaknya menjadi Ais harus lah pintar melihat kondisi. Dia tidak boleh "melucu" di saat yang salah. Kalau tidak, bukannya tawa malah begini yang terdengar:

"AIS NGAPAIN SIH?"
"AIS BERISIK BANGET SIH?"

Padahal saat itu Ais lagi nyanyi Let It Go-nya Frozen versi Ais yang saya dengernya kaya nyanyi pakai bahasa di telenovela. Padahal, kalau nggak lagi nyanyi Ais pas itu lagi godain mamanya yang katanya: "Mama, mama tidur mulu sih..?"

Suatu hari pernah begini, kalau tidak salah ingat, Ais lagi libur. Siang hari si mama sibuk di dapur menyiapkan makan siang. Ais sendirian dan tumben-tumbenan anteng. Tau-tau Ais nyeletuk bilang:

"Mamaaaaa... Ais mau punya pacaaaar!"

Dari atas sini otomatis saya menahan tawa. Aduh, posisi saya memang serba salah. Saya dan lima kawan lainnya adalah penghuni kos-kosan yang letaknya di lantai dua rumah milik keluarga lucu ini. Saya merasa harus pura-pura tidak dengar ketika ada sesuatu yang aneh. Makanya ketika Ais nyeletuk begitu saya berusaha sebisa mungkin untuk tidak tertawa. Paling tidak jangan sampai tawa saya bisa didengar penguhuni di bawah sana.

Kembali ke Ais yang pengen punya pacar. Teorinya adalah jika anak saya nanti, yang masih kecil begini, tiba-tiba minta pacar, kita pasti akan tanggapi dengan tertawa. Ais.. Ais... Pacar itu apa sih Ais? Pasti Pacar versimu sama Pacar versi mamamu nggak sama kan?

Ini lucu dan wajar mungkin. Kenapa wajar? Lah kalau malam si mama yang sudah bisa santai tanpa pekerjaan rumah itu pasti duduk bersama Ais, Papa, dan Bang Ojan di karpet depan TV dan asik menonton Ganteng-Ganteng Srigala.

Pasti tau kan? Sinetron itu emang bener-bener menjadi kegemaran untuk acara menonton TV bersama keluarga (Angkat sebelah alis). Nggak heran lah... Ais aja sampai hafal Soundtrack lagunya kok. Apalagi yang lain... kikikik.

Nah, begitu Ais minta pacar, tanggapan mama ternyata beda jauh sama tanggapan Risa kalau nanti punya anak.

"Ehhh, apa Ais? Ais masih kecil, nggak boleh pacar-pacaran!"

"Haaa... Ais pokonya mau punya pacar!"

"Kenapa sih Ais? nggak boleh, Ais masih kecil aja udah mikir pacar."

"Haaaaaa..."

"Nggak!"

"Yaudah Ais pacarannya sama cewe kok..."

Tuh kan Ais nggak mikirin pacaran a la emak-emak!

Tambah lah saya nggak tahan buat ketawa kenceng. Ais oh Ais. Memang sih saya juga sering dibikin gregetan sama anak ini. Ais sering naik dan masuk begitu saja tanpa izin ke kamar-kamar kami. Dia juga usil mainin dan minta barang-barang kami. Dia juga berisik suka tanya-tanya tanpa berhentei.

Tapi sungguh percaya lah, Ais anak yang cerdas. Kenakalannya itu nggak harus dihadapi dengan emosi. Malah sebenarnya si mama itu yang kadang bikin emosi.

Suatu hari, di luar sedang hujan deras. Ais merengek minta pergi ke rumah nenek.

"Ais mau ke rumah nenek..!!"

"Ais, itu hujan.."

"Haaa... Ais mau ke rumah nenek!"

"Ais ujan tuh liat! Ais buta ya nggak bisa liat!"

Aduh bu, Anda nggak lucu deh bu. Ya wajar sih kalau si Ais lagi marah jadi nggak ngenakin juga bahasanya, jadi suka susah dibilangin, suka susah mendengarkan omongan orang lain, terutama kalau dia lagi ada maunya.

"Ntar Ais Sumpahin kalo nggak beli!" itu katanya saat minta dibelikan sesuatu oleh si Papa.

Alhasil banyak waktu di pagi dan malam hari, saya lalui dengan bahan dengar semacam ini. Si mama, saya pikir, benar-benar pembunuh karakter bagi anak-anaknya. Bukan cuma Ais, tapi Abang Ojan juga sering kena damprat. 

Paling mengganggu adalah saat keduanya debat soal prestasi. Prestasi menurut mama itu kalau Ojan bisa masuk SMAN 28, sama kaya Abang tertuanya, Abang Faisal. Prestasi menurut kamus Mama itu berarti nilai pelajaran yang bagus. Padahal selama ini Ojan lebih sering dapat penghargaan di bidang seni dan olahraga. Terbukti piala yang membludag itu kebanyakan disumbang oleh anak kedua itu yang sepertinya cukup fasih dalam dua bidang tadi.

"Siapa bilang saya nggak berprestasi, itu buktinya piala saya banyak banget!" kata Ojan suatu hari.

"Yeee... Buktiin kamu bisa kaya abang masuk SMA 28. Prestasi itu pelajaran!" Si Mama balas berteriak dengan suara melengking yang menyebalkan.

Saat itu tidak ada yang perlu saya tahan. Saya hanya diam, mendengarkan, sekaligus bersyukur. Betapa orang tua saya sungguh menyenangkan, toleran, terbuka, dan yang jelas selalu memberikan saya kebebasan memilih, berpikir, dan berpendapat. Orang tua saya selalu mendukung apa pun yang saya cita-citakan. Mereka selalu membuka diskusi saat mereka tidak setuju dengan prilaku saya.

Mengamati dari atas sini, membuat teori-teori bagaimana mendidik anak dan menjadi orang tua ideal itu seakan menguap bersama kuapan di tengah malam. Jika saja saya tidak pernah kenal orang tua saya, jika saja saya tidak pernah dicekoki teori-teori mendidik anak dari wawancara psikolog dan pembawa acara di suatu acara TV, saya mungkin tidak akan menulis soal ini di sini. Kenyataannya, kebiasaan dari kecil lebih mungkin akan membekas dan diturunkan kepada anak. Setuju?

Sunday, May 3, 2015

Memadatkan Angan-Angan

Angan-angan itu ternyata nggak pernah cuma jadi udara. Apalagi kalau ada usaha yang berusaha memadatkannya jadi kenyataan.

Ini sudah Bulan Mei. Februari tahun lalu saya datang ke kota berlambang Monas ini untuk memadatkan angan-angan saya.

Setelah lulus dan diwisuda menjadi seorang Sarjana Sastra, yang sebenarnya saya bukan mantan mahasiswa sastra sama sekali melainkan Arkeologi, saya hanya punya bayangan sedikit soal karir saya nanti. Sedikit itu kalau dihitung-hitung ternyata pilihannya cuma ada tiga, yaitu bekerja di Museum, menjadi penulis, atau menjadi seorang jurnalis.

Pilihan pertama untuk bekerja di museum akhirnya saya tangguhkan dari deretan cita-cita saya. Bukan dicoret, hanya ditangguhkan. Kenapa? banyak alasannya, yang jelas saya nggak cocok dengan sistem kerja permuseuman di Indonesia saat ini.

Menjadi penulis? penulis saja tanpa embel-embel instansi maksud saya di sini atau sebut lah penulis lepas. Jujur saja saya nggak merasa sehebat itu untuk bisa menyebut diri sebagai penulis independen. Saya pemalas, moody, dan hey saya memang nggak sehebat itu. Hahahaha.

Maka, saya memberanikan diri menjadi penggombal tangguh yang pantang menyerah mengirimkan berkali-kali surat lamaran pekerjaan ke kantor media di mana pun di Indonesia. Prinsip saya, saya nggak peduli di mana itu saya harus bekerja karena saya suka. Jurnalis, pikir saya lagi, adalah wujud profesi lainnya yang bisa mendukung keinginan saya untuk menjadi penulis.

Kalau dipikir-pikir saya benar-benar nggak punya pengalaman sama sekali dengan dunia ini. Jadi wajar lah kalau gombalan saya itu nyatanya nggak ngefek. Tapi akhirnya, setelah berkali-kali tidak ditanggapi, panggilan itu datang. Agak bangga karena yang memanggil salah satu koran nasional terbesar di Indonesia.

Sesuai bayangan saya, pekerjaan ini memaksa keluar semua keberanian yang ada di dalam diri saya. Satu tahun saya "dipaksa" berhadapan dengan orang-orang yang tidak terbayangkan dan bertanya soal macam-macam yang akhirnya bikin saya jadi ekstra kepo! Malah sedikit rese' karena mau tau aja urusan orang.

Setahun berlalu. Masa-masa menjadi calon reporter selesai begitu Bulan Februari di tahun ini berakhir. Saya sudah resmi bisa menyebut diri seorang jurnalis. Saya punya kartu pers. Saya punya kartu nama dengan nama diri dan nomor telpon pribadi.

Tapi sebenernya itu nggak penting. Menjadi reporter, untuk saya pribadi bukan lah embel-embel kata "Journalist" dalam kartu nama. Saya merasa pekerjaan saya ini justru penuh risiko.

Dengan tulisan seorang reporter, masyarakat bukan hanya diberitahu tentang kebenaran tapi bisa juga kebohongan. Banyak kejadian justru membuat saya merasa bersalah. Bersalah karena pekerjaan ini juga tidak jauh dari muslihat. Banyak kasus yang menunjukkan bahwa kebenaran itu diciptakan bukan diceritakan.

Perjalanan setahun yang sudah lebih tiga bulan ini, meski belum lama, sudah membuat saya bisa banyak berpikir bahwa betapa pun kita berusaha independen, kita tetap berada dalam satu sistem maha besar yang saling terkait. Jadi, selama itu masih bisa dihindari, hindari saja. Jika sulit untuk dihindari, yakin lah masih ada kekuatan dahsyat yang pasti akan membantu. Kekuatan yang sama yang bisa memadatkan angan-angan menjadi kenyataan.




Saturday, May 2, 2015

Hi!



Halo, dengan sedikit malu saya kembali membuat blog. Ini lapak ketiga saya, setelah dua sebelumnya menjadi seperti takut mati, tetapi untuk hidup terlampau malas.

Tidak ada yang berubah soal tujuan. Saya hanya mecari lahan lain untuk dirusuhi, kalau kata orang Jawa sih. Bedanya, kalau sebelumnya saya ingin sekali membuat diri sendiri menjadi penulis amatir yang punya percaya diri. Sekarang, saya ingin menjadi seorang pelarian.

Keseharian saya saat ini adalah menulis. Syukurlah karena saya menulis dan dibayar. Sayangnya, terkadang karena menulis menjadi sebuah pekerjaan, saya jadi suka merasa terpaksa.

Terpaksa menulis ini, terpaksa menulis anu, terpaksa menulis ini begini, terpaksa menulis anu begitu. Saya jadi sering lupa, bagaimana rasanya menulis untuk diri sendiri, untuk kebahagiaan pribadi, dan demi rasa puas di hati.

Memang banyak batasan yang ditanamkan bagi seorang jurnalis. Kecuali menulis ficer, saya hampir tidak pernah merasakan emosi apa pun setelah tulisan saya selesai.

Nah, dalam membuat blog ketiga saya ini, saya benar-benar akan umbar janji lagi untuk bisa lebih rajin dan telaten mengurusnya. Hitung-hitung supaya saya tidak lupa alasan saya ingin menulis dan menjadi penulis. Hitung-hitung juga supaya saya tidak hanya menjadi juru tulis yang mati rasa.

Lalu harus saya panggil apa lapak baru saya ini? Yes, perkenalkan ini adalah Segarajiwa. Segara artinya laut dan Jiwa berarti isi, roh, nyawa, seluruh kehidupan batin manusia yang terjadi dari perasaan, pikiran, atau angan-angan. Kira-kira semua yang akan saya tulis di sini nantinya adalah benih dari semua pemikiran dan perasaan yang saya bebaskan lepas terbuka seluas lautan. Hehehe.

Jadi, selamat berbagi cerita! \(^o^)/


Salam,


Risa Herdahita