Matahari sudah hilang sejak kami mulai meninggalkan Terminal Guntur yang ada di Kabupaten Garut. Waktu kami sampai di terminal, jam di tangan saya sudah menunjukkan pukul 16.30. Cukup sore sebenarnya untuk kami memulai pendakian nantinya. Khususnya bagi saya yang akan melakukannya untuk pertama kali.
Tadi siang, kami baru mulai berangkat dari Jakarta sekitar pukul 11.30 dengan Bus Primajasa jurusan Garut. Padahal dari Terminal guntur ini kami masih harus melalui perjalanan sekitar satu jam lagi atau bahkan lebih, untuk sampai ke titik awal pendakian Gunung Papandayan, salah satu gunung yang ada di Garut dengan ketinggian 2.665 Mdpl. Bukan cuma itu, dalam satu jam perjalanan ke titik awal pendakian, kami butuh satu kali lagi berpindah kendaraan.
Cukup nekat sebenarnya kami ini. Binti, rekan sesama Republika, adalah satu-satunya peserta yang sudah lebih akrab dengan pendakian, di antara kami berenam yang semuanya perempuan itu. Sementara untuk Papandayan, tidak satupun dari kami yang pernah mencoba mengakrabinya. Tapi tidak tahu kenapa, saat itu rasanya kami semua hanya merasakan antusiasme yang memuncak.
Setelah sampai di Cisurupan, kami pun berhasil melobi untuk sebuah mobil bak terbuka demi mencapai pos pendakian. Sudah malam, jadi kami tidak bisa melihat pemandangan kiri-kanan saat kami rasa kendaraan itu semakin menanjak. Kami hanya bisa memberi pujian untuk pemandangan di kejauhan yang memperlihatkan kelap kelip lampu kota. Dari situ kami tahu, kami sudah semakin menajuhi daratan.
Akhirnya mobil pun berhenti. Kami melompat turun dan segera meraba tempurung besar di punggung kami untuk mencari senter. Jam di tangan saya menunjukkan pukul 20.00. Baru ingin melangkah, bapak-bapak di belakang kami langsung memperingkatkan untuk menunda pendakian hingga pagi. Tapi saat itu cuaca begitu cerah. Bintang di langit sudah mulai memperlihatkan diri satu, dua, tiga, belasan mungkin. Kami ingin mendaki saat itu juga.
Sejak awal kami memang berencana hanya akan melakukan pendakian ini separuh. Berenam, kami akan menanti pagi dengan mendirikan tenda di camping ground Pondok Saladah. Baru besoknya kami mencari puncak si Papandayan.
Keraguan kami akibat peringatan bapak-bapak tadi pun terpecahkan. Syukurlah, saat itu ada seorang bapak pemilik warung di atas kawah yang juga berniat melalui jalan yang sama dengan kami. Jadilah rombongan kami bertambah dua setengah peserta lagi. Setengah? Ada si kecil Hasan yang gesit berkelit di atas tanjakan batu sekaligus sebagai pimpinan rombongan. Bocah kelas dua SD itu luar biasa. Hanya dengan sendal jepit kakinya melangkah lincah sekali.
Saya pun menarik nafas. Berdoa semoga pendakian Gunung Papandayan kali ini berjalan baik.
Sebenarnya saya selalu punya alasan kenapa dari dulu menghindari diri untuk mencoba mendaki gunung. Menempuh kuliah di jurusan Arkeologi, hal semacam ini seharusnya tidak asing bagi saya. Hampir semua teman-teman saya adalah pecinta alam. Tapi kenyataannya, setiap ada yang mengajak saya selalu tahu diri.
Entah kenapa kali ini saya merasa harus ikut. Paling tidak selama hidup saya pernah merasakan sensasi ini. Dan memang, alasan saya pun terbukti. Saya sudah memperkirakan hal ini bakal terjadi. Saya sesak napas.
Udara malam yang tipis oksigen, ditambah dataran tinggi yang juga semakin menipiskan kebutuhan paru-paru saya, semakin membuat saya ingin mencukupkan perjalanan malam itu. Untunglah, saya sangat bersyukur teman-teman saat itu sangat pengertian. Mereka tidak terburu-buru sampai tujuan. Ketika saya bilang butuh istirahat dan menghela nafas, mereka pun tanpa protes langsung menghentikan langkah.
Sekeliling kami begitu gelap. Kami tak akan tahu penampakan kiri dan kanan kami, jika saja hidung ini tidak menangkap bau belerang yang semakin kuat. Cukup kuat sampai membuat beberapa teman terbatuk-batuk. Kami agak melambat di sini, jalan berbatu juga cukup membuat kaki cepat pegal. Satu-satunya pemandangan yang jelas bagi kami adalah kilauan lampu di kejauhan yang menyatu dengan gemintang beralas langit yang gelap. Cuma di sini, di ketinggian seperti ini, benderang kota tak bisa mengalahkan ciptaan Yang Kuasa. Segera saya membayangkan seperti apa langit di atas nanti. Pikiran ini pun seperti menjadi tenaga baru bagi saya dan kawan-kawan untuk meraih dataran yang lebih tinggi.
Jalan berbatu ini akhirnya tuntas dilewati setelah warung milik bapak pemandu dadakan kami tadi nampak di depan mata. Kedua bapak itu dan tentunya si kecil Hasan harus berpisah di sini. Ketidaktahuan kami soal jalur pendakian memunculkan sedikit keraguan untuk melanjutkan perjalanan. Tapi Entahlah, nampaknya bantuan begitu banyak hadir untuk kami malam itu. Setelah sebentar mengambil nafas di warung, empat pendaki laki-laki mendekat. Katanya, mereka juga akan langsung menuju Pondok Saladah. Tak menunggu waktu lama, kami langsung berpamitan dengan warga yang ada di warung, dan mengikuti keempat pendaki tadi.
Agak heran, mereka berempat tidak membawa barang sebanyak kami. Matras hanya mereka tenteng di tangan. Itu pun hanya satu orang yang saya lihat membawa. Lainnya, hanya jaket tipis dan tas medium yang kempes.
Mungkin itu juga yang sedikit mempengaruhi perbedaan kecepatan jalan kami. Kami tertinggal cukup jauh. Senter kami semakin redup. Dan kami rasa kami salah ambil jalan.
Ada suara sungai di bawah sana. Dan akhirnya kami tahu itu lah jalur yang seharusnya kami lalui. Kami harus menyebrang sungai. Tidak deras. Batuannya memudahkan kami sebagai pijakan untuk menyebrang. Lawan kami hanya kegelapan saat itu. Empat pendaki di depan kami juga sudah tak terlihat.
Jalur itu pun kembali mempertemukan kami dengan jalan berbatu. Tidak nampak menanjak. Tapi pepohonan sudah semakin banyak di sini. Saya harus berebut oksigen dengan mereka karena ini malam hari. Kondisi ini membuat saya kembali sesak nafas. Saya harus kembali menghela nafas sejenak sembari memandangi teman saya yang saling berbagi madu.
Berjalan lagi, sambil membicarakan apa saja untuk melupakan apapun perasaan negatif yang kami rasakan saat itu. Rasa-rasanya pembicaraan saat itu sungguh konyol. Tapi tetap saja kami bisa tertawa. Ditambah langit yang juga semakin ramai dengan gemintang. Lengkap lah sudah.
Menyempatkan diri melihat jam di tangan, sudah pukul 22.00. Di depan sana ada hamparan rumput agak luas dengan beberapa tenda berdiri. Sempat kesenangan karena dikira sudah sampai, saya langsung sedikit kecewa. Ternyata itu baru pos kedua untuk registrasi.
Bapak penjaga sempat bertanya keadaan kami. Saya bilang, saya sempat sesak. Ia pun menawarkan oksigen tabung kecil untuk saya hisap. Jujur saja baru kali itu merasakan, dan cukup melegakan juga. Rasanya pandangan saya sedikit terang setelah akhirnya menapaki jalur pendakian kembali.
Jalur dari sini semakin lebat dengan cantigi. Agak sempit, kami pun harus berjalan dalam satu barisan. Ternyata tidak cukup jauh. Pukul 22.30, keramaian camping ground Podok Saladah sudah nampak. Wajar, saat itu malam minggu. Arena kemping penuh dengan puluhan tenda.
Lokasi di dapat, teman paling berpengalaman saya, Binti, langsung memimpin ritual pendirian tenda ini. Dua tenda ditambah dua flysheet pun rapi terpasang siap untuk menaungi kami hingga pagi menjelang.
Sebelum beramah tamah dengan sleeping bag, kami sempatkan diri dulu mengganti baju kami yang basah karena keringat juga mengisi perut. Menu kami malam itu memang serba instan, mie dan juga kopi. Tapi apapun, rasanya akan nikmat dimakan di tengah udara gunung seperti saat itu. Belum lagi ditambah suara binatang liar yang sesekali terdengar. Sungguh Damai.
Tak perlu tunggu waktu lama. Kami langsung melompat ke dalam sleeping bag. Khusus saya, tidak tahu lainnya, kostum tidur saat itu adalah jaket tebal, syal, kaus kaki, sarung tangan, dan tudung kepala. Meski begitu, tetap butuh waktu lama sampai saya bisa benar-benar terlelap. Di dekat tenda saya, nampaknya rombongan lain merasa tidak perlu tidur malam itu. Mereka terus bernyanyi dan tertawa dengan suara keras. Sesekali suara binatang dikejauhan masih juga terdengar. Tapi tidak ada suara magis serupa pandai besi yang katanya membentuk nama Papandayan. Mungkin suara itu sudah teredam ramainya pendaki yang terus memenuhi kawasan ini.
Semakin malam, jaket semakin rapat. Saya yang mudah kedinginan ini bahkan merasa harus melipat badan dan menyembunyikan tangan di antara paha seiring dengan subuh yang menjelang.
Matahari belum siap merajai langit ketika saya bangun keesokan harinya. Sedikit terkejut, terdengar suara adzan yang dikumandangkan oleh penghuni tenda lain. Saya merinding. Di tengah subuh yang sunyi, suara itu begitu agung.
Pagi itu, menu makan kami lebih berkualitas. Binti mengisi perut kami dengan roti bakar buatannya. Saya menambahnya dengan sup makroni ditambah kornet keju. Aroma kopi pun menyeruak di tengah hawa segar pagi hari pegunungan. Saya yang punya masalah dengan pernapasan ini, tidak pernah lupa untuk bernapas dalam-dalam. Ini saat paling tepat mencuci paru-paru, pikir saya.
Setelah sarapan, rencana kami pagi itu adalah melanjutkan pendakian menuju puncak. Memang sedikit terlambat dari jadwal yang kami inginkan. Apa boleh buat, antrian ke kamar mandi sungguh di luar dugaan. Kami harus menyediakan waktu satu jam untuk ini.
Setelah semua beres, tenda pun sudah kami rubuhkan dan kembali rapi masuk ke dalam carrier, kami siap melanjutkan perjalanan. Melihat trek yang sungguh terjal, kami semua akhirnya memutuskan untuk menitipkan carrier kami ke pemilik warung di sana.
menuju puncak |
Satu jam yang kami butuhkan untuk melalui vegetasi cantigi hingga sampai ke puncak bukit. Puncak di sini memang tak begitu jelas, terutama bagi yang belum pernah mendaki Papandayan. Kebanyakan pendaki hanya mencukupkan perjalannya hingga ke Tegal Alun. Jujur saja, saat itu kami agak bingung setelah itu harus kemana. Apalagi melihat saat itu sudah tengah hari. Teman Republika saya lainnya, Nia, saat itu terburu jadwal harus mengisi piket malam di kantor. Akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke Pondok Saladah dengan jalur yang kami lalui saat naik tadi.
Hutan mati yang dramatis dari ketinggian ini |
Menengok ke belakang, Pondok Saladah memang sudah mulai kosong. Melihat pemandangan seperti itu ada perasaan aneh yang tiba-tiba menyisip. Gunung mungkin selalu punya cara tersendiri untuk mengoleh-olehi pendakinya bekal kerinduan.
Di perjalanan turun, kami berselisih dengan beberapa rombongan pendaki yang sebelumnya ikut memenuhi Pondok Saladah. Saling sapa dengan senyuman, kami pun berjalan beriringan. Perjalanan turun ini cukup membuat saya terpaku. Apa yang kemarin disembunyikan oleh tirai malam adalah sebuah pemandangan yang tidak terkira. Rasanya perjalanan kali itu tidak begitu terasa melelahkan. Hawa sejuk dan pemandangan yang hijau biru dengan kelebat uap kawah di kejauhan membuat saya justru bersenandung di dalam hati.
Sampai di bawah saya hanya bisa bersyukur. Saya menyelami kembali perjalanan kami sebelumnya. Cuaca cerah dan bantuan yang selalu datang tepat waktu, benar-benar membuat saya tertegun. Pengalaman pertama memang tak akan pernah terlupa.