Pagi itu saya terbangun oleh suara mengaji yang diperkeras dengan speaker. Biasanya saya tidak terlalu terganggu dengan suara yang sering kali terdengar menjelang adzan subuh itu. Tapi kali ini suaranya terdengar begitu keras, yang membuat sadar kalau saya saat itu berada di sebuah masjid.
Malam sebelumnya setelah dua jam menempuh perjalanan dari Rangkasbitung, saya dan dua teman dari Jakarta tiba di Masjid Agung Banten, Desa Banten Lama. Bersama temannya teman saya dan dua teman laki-laki lainnya yang mengantar kami dari Stasiun Rangkasbitung, kami memutuskan untuk ikut menjadi penghuni satu malam di serambi masjid kuno itu.
Ketika kami datang, serambi masjid hanya ditiduri sedikit peziarah. Kata Raha, temannya teman saya, Masjid Agung Banten akan sangat ramai pada malam Jumat. Beruntung lah kami. Kalau ramai kami akan harus terima tidur di bawah menara masjid yang bentuknya mirip mercusuar itu.
Menara Masjid Agung Banten yang sangat mudah diingat |
Di antara kami bertiga, tidur saya yang paling batu. Saya hanya bangun satu kali dan memang karena sudah waktunya bangun. Saat itu hampir waktu subuh. Saya tahu, saya harus cepat bangun kalau tidak ingin bersaing dengan peziarah yang rupanya jumlahnya bertambah ketika kami tertidur.
Benar saja, yang tadinya saya ingin sekalian mandi, jadi malas karena melihat antrian di toilet persis seperti antrian tiket kereta ke Serang kemarin (baca postingan saya sebelumnya ^_^). Apalagi toilet jorok, bau pesing, tempat sampah tergenang air, sampah tissue tersebar di sekitar lubang toilet, menambah rasa sebal saya pada pengguna masjid itu. Akhirnya saya cuma wudhu dan baru mandi setelah merasa keramaian di toilet bisa ditolerir.
Kira-kira pukul 06.30 WIB kami sudah siap untuk berjelajah. Persis seperti yang saya bayangkan ketika kuliah dulu (kecuali sampah dan kelakuan pengunjungnya), masjid ini unik. Sebagai ikon Banten, masjid ini pas mencerminkan keragaman budaya yang berbaur pada abad pembangunannya.
Tanpa ingin ikut berdebat soal siapa arsitek Masjid Agung Banten, dari manapun mata memandang tiga gaya memang menjadi satu di sini. Arsitektur masjid Nusantara tercermin pada atap tumpang masjid itu, dengan serambi, pawestren, kolam untuk bersuci, juga parit keliling. Arsitektur Cina, tampak pada bentuk serupa pagoda pada atap masjid yang bertingkat lima. Kemudian gaya Eropa terlihat dari menara yang kokoh seperti mercusuar dan juga pada tambahan bangunan bertingkat dua yang disebut Tiyamah.
Dari kompleks masjid ini, sebenarnya tidak jauh terdapat Keraton Surosowan. Mungkin kalau dilihat dari atas, susunan Masjid, Keraton, dan alun-alun yang juga ada di dekat sana akan terlihat persis seperti susunan yang ada di kawasan alun-alun utara Yogyakarata. Dalam penataan itu, alun-alun berada di tengah, masjid di barat, Pasar Karangantu di timur, dan keraton di selatan yang sekaligus merupakan struktur pusat Kota Banten Lama yang berada di daerah Teluk Banten itu.
Alun-Alun Kota Banten Lama |
Papan Petunjuk yang ringkih |
Intip-intip bagian dalam |
Gerbang Keraton |
Tanya sana sini, ternyata Benteng Speelwijk dan Vihara Avalokitesvara berdekatan, sementara Kraton Kaibon berada jauh dari lokasi kami. Kami akhirnya pilih ke benteng dan vihara saja dulu. Berdasarkan pernyataan warga di sana, kami harus berjalan kira-kira 3 km dari lKeraton Surosowan. Dekat lah, matahari belum begitu jumawa juga saat itu. Sambil melambai pada banyak tawaran angkot dan ojek, kami pun melanjutkan perjalanan pagi itu...
Bersambung...
No comments:
Post a Comment