Wednesday, May 13, 2015

Sisa Sihir Kota Banten Lama (Bagian II): Pusat Semesta Banten Lama

Banten atau yang dulu dikenal dengan Bantam. Daerah ini sempat menjadi kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Sampai kemudian pada abad ke-16, wilayah ini berada di bawah kekuasan Kerajaan Islam Demak dan akhirnya menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Banten yang berdiri sendiri. Putra Syarif Hidayatullah, Sultan Hasanudin, adalah penguasa pertamanya.

Pagi itu saya terbangun oleh suara mengaji yang diperkeras dengan speaker. Biasanya saya tidak terlalu terganggu dengan suara yang sering kali terdengar menjelang adzan subuh itu. Tapi kali ini suaranya terdengar begitu keras, yang membuat sadar kalau saya saat itu berada di sebuah masjid.

Malam sebelumnya setelah dua jam menempuh perjalanan dari Rangkasbitung, saya dan dua teman dari Jakarta tiba di Masjid Agung Banten, Desa Banten Lama. Bersama temannya teman saya dan dua teman laki-laki lainnya yang mengantar kami dari Stasiun Rangkasbitung, kami memutuskan untuk ikut menjadi penghuni satu malam di serambi masjid kuno itu.

Ketika kami datang, serambi masjid hanya ditiduri sedikit peziarah. Kata Raha, temannya teman saya, Masjid Agung Banten akan sangat ramai pada malam Jumat. Beruntung lah kami. Kalau ramai kami akan harus terima tidur di bawah menara masjid yang bentuknya mirip mercusuar itu.

Menara Masjid Agung Banten yang sangat mudah diingat
Berputar-putar mencari toilet untuk membersihkan diri, saya jadi sempat untuk merasa prihatin. Sebagai salah satu masjid tertua di Nusantara yang juga menjadi salah satu tujuan utama peziarah, masjid ini cukup menyedihkan. Berstatus Cagar Budaya dan primadona wisata ziarah rupanya tidak  menjamin tempat ibadah yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Hasanudin (abad ke-16) itu terpelihara dengan baik. Jangan bandingkan masjid ini dengan Masjid Agung Demak yang sampai toiletnya pun bisa dibilang cukup bersih. Di sini, sampah bahkan bisa mampir dengan mudah ke serambinya. Tidak cuma sampah, bahkan peziarah pun "diizinkan" untuk memakai sandal mereka di atas tulisan "batas suci" (bahkan di serambi!).

Di antara kami bertiga, tidur saya yang paling batu. Saya hanya bangun satu kali dan memang karena sudah waktunya bangun. Saat itu hampir waktu subuh. Saya tahu, saya harus cepat bangun kalau tidak ingin bersaing dengan peziarah yang rupanya jumlahnya bertambah ketika kami tertidur.

Benar saja, yang tadinya saya ingin sekalian mandi, jadi malas karena melihat antrian di toilet persis seperti antrian tiket kereta ke Serang kemarin (baca postingan saya sebelumnya ^_^). Apalagi toilet jorok, bau pesing, tempat sampah tergenang air, sampah tissue tersebar di sekitar lubang toilet, menambah rasa sebal saya pada pengguna masjid itu. Akhirnya saya cuma wudhu dan baru mandi setelah merasa keramaian di toilet bisa ditolerir.

Kira-kira pukul 06.30 WIB kami sudah siap untuk berjelajah. Persis seperti yang saya bayangkan ketika kuliah dulu (kecuali sampah dan kelakuan pengunjungnya), masjid ini unik. Sebagai ikon Banten, masjid ini pas mencerminkan keragaman budaya yang berbaur pada abad pembangunannya.

Tanpa ingin ikut berdebat soal siapa arsitek Masjid Agung Banten, dari manapun mata memandang tiga gaya memang menjadi satu di sini. Arsitektur masjid Nusantara tercermin pada atap tumpang masjid itu, dengan serambi, pawestren, kolam untuk bersuci, juga parit keliling. Arsitektur Cina, tampak pada bentuk serupa pagoda pada atap masjid yang bertingkat lima. Kemudian gaya Eropa terlihat dari menara yang kokoh seperti mercusuar dan juga pada tambahan bangunan bertingkat dua yang disebut Tiyamah.

Dari kompleks masjid ini, sebenarnya tidak jauh terdapat Keraton Surosowan. Mungkin kalau dilihat dari atas, susunan Masjid, Keraton, dan alun-alun yang juga ada di dekat sana akan terlihat persis seperti susunan yang ada di kawasan alun-alun utara Yogyakarata. Dalam penataan itu, alun-alun berada di tengah, masjid di barat, Pasar Karangantu di timur, dan keraton di selatan yang sekaligus merupakan struktur pusat Kota Banten Lama yang berada di daerah Teluk Banten itu.

Alun-Alun Kota Banten Lama
Sayangnya, saat ini Keraton Surosowan hanya berupa sisa-sisa dari kehancurannya. Pertama kali dibangun pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin, keraton ini pernah jatuh dua kali. Seperti yang diceritakan oleh R. Cecep Eka Permana dalam majalah Makara Vol. 8, No. 3 tahun 2004, pada masa pemerintahan Sultan Haji keraton ini dibangun kembali di atas puing-puing keraton Sultan Ageng Tirtayasa yang sudah rata dengan tanah. Kemudian pada tahun 1808 terjadi perselisihan antara Sultan Banten dengan Belanda yang bermuara pada penghancuran Keraton Surosowan di bawah pimpinan Daendels.

Papan Petunjuk yang ringkih
Entah karena memang masih pagi atau memang selalu seperti itu, Keraton Surosowan ketika itu begitu sepi. Objek ini mungkin tidak sepopuler Taman Sari di Jogja sana, karena terlihat yang sering datang justru para gembala ternak. Saya jadi harus berhati-hati agar tidak menginjak sisa-sisa pencernaan kambing atau sapi yang pasti kenyang karena rumput di sana begitu rimbun.

Kesan saya soal bangunan ini pun sayangnya hanya bisa sampai di situ. Datang terlalu pagi rupanya tidak begitu menguntungkan. Saya tidak bisa menjelajah masuk karena pintu masuk ke kawasan ini dirantai rapat. Keraton ini rupanya dikelilingi tembok setinggi kira-kira 2 meter, mirip sebuah benteng Belanda. Di keempat sudut tembok tebal tinggi itu selalu lengkap dengan bastion. Di sana tertulis, jika ingin masuk saya bisa menghubungi petugas museum. Sayangnya, ketika lewat museum tadi, saya belum menjumpai siapa pun yang bisa dimintai kunci. Yasudah lah, alhasil saya cuma bisa mengintip dari gerbang dan keliling untuk foto-foto bagian luar tembok.
Intip-intip bagian dalam

Gerbang Keraton
Rasa lapar pun akhirnya membuat kami harus meninggalkan bangunan sisa-sisa kejayaan Kesultanan Banten itu. Tidak mau rugi, karena tahu di sekitar situ masih banyak saksi bisu lainnya yang ingin kami paksa bicara, kami pun mencari makan yang mungkin searah dengan salah satunya. Pilihan kami adalah Benteng Speelwijk, Vihara Avalokitesvara, dan Keraton Kaibon.

Tanya sana sini, ternyata Benteng Speelwijk dan Vihara Avalokitesvara berdekatan, sementara Kraton Kaibon berada jauh dari lokasi kami. Kami akhirnya pilih ke benteng dan vihara saja dulu. Berdasarkan pernyataan warga di sana, kami harus berjalan kira-kira 3 km dari lKeraton Surosowan. Dekat lah, matahari belum begitu jumawa juga saat itu. Sambil melambai pada banyak tawaran angkot dan ojek, kami pun melanjutkan perjalanan pagi itu...

Bersambung...

No comments:

Post a Comment