Tuesday, November 22, 2016

The Lobster: Dagelan Satir Untuk Para Jomblo





Ketakutan untuk hidup sendiri dan mati dalam kondisi kesepian rasanya jadi alasan terkuat untuk “menikah”. Rasa takut ini yang kemudian diterjemahkan dengan brutal oleh Yorgos Lanthimos. Filmnya yang berjudul The Lobster (2015) itu memberikan kesan, naluri mencari pasangan hewan rupanya dinilai lebih “pintar” dibanding otak manusia yang terlalu banyak pertimbangan.

Secara absurd, The Lobster dibuka dengan adegan seorang perempuan tiba-tiba menembak salah satu dari tiga ekor keledai. Tak ada alasan maupun penjelasan untuk adegan ini. Malah, adegan langsung bergulir menampakkan seorang laki-laki yang akan dibawa pergi dari rumahnya oleh beberapa orang. Si tokoh utama, David (Colin Farrell), yang cupu dan buncit tinggal melajang setelah istrinya lari dengan pria lain. Ia tinggal bersama seekor anjing, yang ia panggil “ kakak”.

Lanthimos rasanya begitu berikhtiar untuk menciptakan dunia yang merupakan mimpi buruk bagi para jomblo. Dunia dalam the Lobster melarang orang dewasa untuk hidup tanpa pasangan. Para single, baik yang sengaja tak mau berpasangan, yang sudah pernah berpasangan, ataupun yang sama sekali belum pernah punya pasangan akan dibawa ke sebuah hotel yang terlihat seperti panti rehabilitasi.

Di hotel itu, mereka diberi waktu 45 hari untuk mencari pasangan. Harus sesama penghuni hotel. Kalau gagal, mereka akan dimasukkan ke sebuah ruangan yang bakal mengubah mereka jadi binatang. Lalu mereka dilepaskan ke hutan dan akan bernasib sesuai hukum alam.

Para jomblo penghuni hotel ini berkesempatan memperpanjang kesempatan hidupnya sebagai manusia dengan cara memburu para jomblo (loner) yang hidup di hutan. Satu loner dihargai satu hari.

Setiap orang yang masuk hotel, juga boleh memilih binatang yang mereka mau. David, ketika ditanya pilihannya, menyebut lobster. Alasannya, selain ia memang menyukai laut, hewan ini ningrat dan berumur panjang.

Film ini memang menyuguhkan ide surreal yang sebenarnya tidak belibet. Sekali nonton kamu akan langsung kena sindir oleh ide ceritanya (itu saya!). Sindiran keras, terutama ketika film ini menjabarkan alasan-alasan mekanis kenapa seseorang harus hidup berpasangan. Bagaimana bedanya jika kamu memilih melajang seumur hidup. Lalu juga bagaimana manusia selalu harus punya alasan eksplisit untuk memilih pasangan hidup. Sindiran ini diwarnai unsur komedi gelap yang mampu membuat saya senyum-senyum semabari mendengus di beberapa adegan. 

Secara harfiah, Lanthimos “menakut-nakuti” penghuni dunia ciptaannya itu dengan memberikan hanya dua pilihan: pertama, kamu harus menikah dengan pilihan jodoh yang sulit atau kamu bisa dapat yang sesuai tipemu tapi kamu dilarang menikahinya.

Entah kenapa, realita yang disuguhkan oleh dunia mungil dalam hotel itu membuat berpikir kalau semakin dicari kecocokan yang ideal itu tidak ada. Itu diwujudkan dengan aturan dalam hotel yang mengharuskan pasangan harus memiliki paling tidak satu kesamaan untuk disebut cocok. Keragaman pun dijabarkan secara eksplisit dengan menampilkan tokoh-tokoh seperti si pincang (Ben Whishaw) dan si gagap (John C. Reilly). Ya, sekali lagi manusia harus memilih dari pilihan yang tidak pernah sempurna.


Di sisi lain, film ini mempertontonkan betapa keterpaksaan untuk memilih seseorang menjadi pasangan hidup membawa penderitaan berkepanjangan. Persoalan ini akan semakin kejam di akhir film. Jadi, selamat menonton!

poster: sini

Monday, October 10, 2016

Tenang!! Jalan Hidup Perempuan Sudah Ditentukan Sejak Kelaminnya Terlihat




Suatu sore saya menyadari, rupanya saya bisa mengendarai motor tanpa tersesat dengan tidak benar-benar fokus mengendalikan kemudi. Padahal sebagian besar otak saya hanya melamun memikirkan film mana yang akan saya tonton malam nanti, tapi saya masih bisa sampai kos tanpa salah memilih jalan. Seolah tangan saya tau ke mana membelokan motor tanpa diperintah si otak.

Rutinitas pulang-pergi, membuat tubuh saya hafal dengan jalur perjalanan yang akan saya tempuh. Hal yang sama terjadi pada hidup saya beberapa tahun terakhir. Rasanya saya mulai disusupi patokan hidup mainstream dengan urutan sekolah, kuliah, kerja, lalu menikah, punya anak, cucu, dan mati. Jika benar-benar dipikirkan, saya hanya bisa menjawab film apa yang akan saya tonton malam nanti. Sejauh itu lah perencanaan saya. Bagaimana kehidupan saya selanjutnya setelah dari sini? Ya sudah lah jalani saja.

Tapi banyak orang bilang, saya memang suka mempersulit sesuatu yang sebenarnya mudah. Katanya, saya selalu suka terlalu banyak berpikir, karena menurut mereka jalan hidup saya mudah. Beberapa dari mereka sering kali sudah membantu saya dengan statement seperti ini: "yaelah ris ngapain sekolah tinggi-tinggi, cewe ujung-ujungnya di dapur". Orang-orang itu memang lebih tau masa depan saya dibanding diri saya sendiri. Terimakasih.

Dengan saran itu, pilihan hidup saya sudah ditentukan tanpa benar-benar dipikirkan. Oh mungkin malah sudah ditentukan sejak dokter yang membantu persalinan ibu saya berkata: "Selamat bu, anak ibu perempuan."

Kalau memang begitu sih memang jadi mudah ya. Saya tak lagi harus ribet mengumpulkan uang, tidak perlu ribet hidup jauh dari orang tua, tidak usah ribet mikirin soal investasi, tabungan, bla bla bla, buat apa toh saya nanti hanya akan berkutat di dapur. Enteng banget memang jadi perempuan. Cuma di dapur.

Hahaha. Nada mendiskreditkan soal dapur memperlihatkan banyak orang tidak benar-benar menyadari apa saja yang terjadi di dapur. Mereka tidak sadar semua benda di dapur itu bisa jadi senjata. Kapanpun kamu bisa berdarah, kena luka bakar, atau mati berkeping-keping karena tidak tau cara pasang klep gas tabung. Dan semua itu butuh otak untuk bisa menghindar dari bahaya.

Hidup sebagai anak kos juga membuat semakin sadar, tiap pagi otak selalu bekerja dengan pertanyaan: mau makan apa hari ini? Dan saya yakin kebingungan ini juga yang pasti dirasakan ibu-ibu di rumah yang kerjanya CUMA DI DAPUR. Bekerja dengan otak, harus hati-hati menyiapkan makanan enak untuk suami dan anak-anaknya yang hanya mampu protes "kok cuma ini doang makannya", "kok kurang asin?", "kok masak ini lagi? Bosen!". Otak terus berputar, untuk menyiapkan makanan berbeda sekaligus spesial yang cocok dengan lidah suami dan anaknya agar mereka semua bisa betah terus-terusan makan di rumah.

Kemudian ketika ada yang memilih untuk kembali kuliah setelah kuliah s1 nya rampung, omongan itu kembali muncul. Katanya: "tuh makanya perempuan nggak usah tinggi-tinggi sekolahnya ris, entar susah dapet suami, cewe nggak bisa kalau di atas laki-laki, pasti gengsinya kena yang cowonya". Sering denger juga dong pasti omongan macem begini, yekan?

Lalu malangnya konsekuensi dari ucapan itu adalah, kami perempuan takut mengejar karier sesuai cita-cita. Kami takut gaji suami kalah besar dengan gaji kami. Kenapa? karena kami lebih takut perceraian dibanding tidak mendapatkan cita-cita kami.

Oke lah, baik tidak usah bekerja. Tapi kami mau kuliah lagi dong… Beberapa dari kami nyatanya tidak boleh melanjutkan kuliah yang lebih tinggi karena suami tidak memilih melanjutkan s2. Dan itu semua salah, kami, perempuan, kalau si suami tidak mau bekerja lebih keras untuk dapat gaji lebih atau berminat melanjutkan sekolah yang lebih tinggi. Jadi kata siapa perempuan selalu benar? Haha. Seolah perempuan harus menjaga diri agar “status”-nya tidak melangkahi suami. Itu demi gengsi suami.

Apa sih risa? Penis envy? Nggak kok. Tenanggg.... Saya hanya lelah dengan semakin seringnya saya menangkap omongan semacam ini di sekeliling saya. Terutama dengan keberadaan teman laki-laki yang lebih banyak dalam pekerjaan saya sekarang.

Saya bukan sirik. Saya justru kasian. Mungkin mereka memang tidak mau menerima perubahan di sekelilingnya atau mungkin tidak siap. Saya rasa bukan hal aneh lagi untuk menerima kenyataan kalau perempuan pun punya pilihan hidup yang beragam. Dan kalaupun itu ingin menjadi ibu sepenuhnya, memasak untuk suami dan anaknya, bukan berarti mereka tidak usah pintar. Laki-laki pun saya tau, pasti lebih suka dengan perempuan yang cerdas dibanding yang tidak tau harus berbuat apa-apa terhadap hidupnya.

Ah, mungkin memang pembagian kerja berdasarkan gender itu lebih mudah diatur. Hal semacam ini tidak akan butuh kompromi lebih lama, antara sepasang suami istri, atau pasangan yang akan menikah. Ya karena memang sudah terbiasa melihat yang begitu. Tapi toh jika nanti saya memutuskan untuk tidak lagi bekerja dan fokus menimang anak dan menghadapi bahaya dapur, itu karena pilihan saya. Bukan karena stereotipe yang menulis jalan hidup saya. 

*gambar dari sini

Saturday, August 27, 2016

Di Mana Tanah Air Saya dan Apa itu Nasionalisme?




Baru-baru ini Arsip Nasional RI (ANRI) menggelar pameran di Sarinah, Jakarta Pusat. Yang dipamerkan rata-rata arsip sebelum, ketika, dan setelah kemerdekaan RI. Tujuannya, kata Mustari Irawan yang adalah Kepala Anri itu, untuk memberikan pencerahan nasionalisme kepada masyarakat luas.

Biasa lah, menjelang 17 Agustus si Nasionalisme itu jadi obrolan khalayak. Terus terusan disebut sampai pada puncaknya pas pidato presiden di TV. Setelah itu, masih disebut, mungkin dalam diskusi di café-café yang mengundang wartawan. Setelah itu, seiring dengan semakin habisnya bulan Agustus, orang mulai sembuh dari penyakit kerasukan Nasionalisme.

Tapi sebenarnya siapa itu Nasionalisme? Kalau masih SD dan diajarkan PPKN pasti bisa jawab tanpa ragu. Nasionalisme itu rasa kebangsaan sebagai bangsa yang berdaulat dan merdeka, katanya. Paling tidak secara dogmatis, seseorang memiliki nasionalisme jika berupaya melindungi budaya dari masuknya budaya asing. Kalau secara politis mungkin melawan penindasan hak manusia dari kolonialisme.

Upayanya diawali dengan membentuk identitas nasional. Nama Indonesia salah satunya. Penghuni pulau Jawa, Kalimantan, dan sebagainya itu disatukan dan dilabeli Orang Indonesia. Lalu diberi pelajaran PPKN untuk yakin dengan identitas “saya orang Indonesia”.  Sudah besar harus punya KTP dan bikin passpor kalau mau ke luar negeri karena akan melewati batas negara.

Tapi pernah kah ada yang mejelaskan kenapa orang Batak, orang Baduy, orang Dayak, Orang Sunda, Orang Jawa, orang Bugis, orang Asmat sekarang harus juga mengakui keindonesiaan mereka? Toh sebelumnya mereka punya sistem pemerintahan sendiri, punya wilayah sendiri.

“Kita sekarang memang berbeda, tapi dulu kita satu”. Begitu kata Ery Soedewo, peneliti dari Balai Arkeologi (Balar) Medan. Sebelumnya, ia meneliti awal mula berpisahnya bahasa Gayo dan Karo menjadi dua bahasa yang berbeda dari sudut pandang arkeolinguistik. Bahasa memang menandakan keragaman sekaligus mewakili identitas suku bangsa tertentu.

Dalam sebuah studi arkeologis yang belum ada habisnya itu, sebagian besar kepulauan Indonesia dulunya berbahasa sama, bahasa Austronesia. Tapi dulu juga bukan hanya di kepulauan Indonesia, bahasa ini dipakai orang-orang yang meninggali Madagaskar di ujung barat hingga Kepulauan Paskah di ujung timur Pasifik, dari Taiwan-Mikronesia di batas utara hingga Selandia Baru di batas selatan. Orang-orang penutur Austronesia ini pun tak begitu saja ada di kepulauan Nusantara. Mereka datang dari Taiwan.
Akhirnya diputuskan oleh para ahli, bahwa para pendatang yang bicara dengan bahasa Austronesia itu adalah nenek moyang penduduk Indonesia sekarang. Sampai sekarang juga ada 60 persen penutur Austronesia menghuni Indonesia. Tapi, mereka bukanlah satu-satunya pendatang di Nusantara. Jangan lupakan kedatangan bangsa Arab, India, maupun Eropa.
Bahkan kata Harry Truman Simanjuntak, seorang arkeolog senior yang bermarkas di Puslit Arkenas, sebelumnya paling tidak ada tiga kelompok yang pernah melakukan migrasi besar ke Nusantara. Mereka adalah Australomelanesid, penutur Austro-asiatik, dan penutur Austronesia itu tadi.
Penutur Austro-asiatik datang sekira 4.300 tahun lalu. Selanjutnya adalah penutur Austronesia yang datang pada 4.000 tahun lalu. Sebelum keduanya tiba, di Indonesia sudah tinggal kelompok lainnya, Australomelanesid. Mereka menghuni kira-kira 13.000-5.000 tahun lalu dan hingga sekarang hidup di wilayah Indonesia timur, termasuk di Papua.
Lalu apa? Ya kayanya tidak mungkin melabeli kelompok tertentu sebagai manusia asli Indonesia. Herawati Sudoyo, peneliti biologi molekuler dari Eijkman Intitute, pernah menjelaskan ini dari sudut pandang genetik. Rupanya, hampir semua etnis di Indonesia memiliki gen yang saling bercampur. Di antaranya Alatic, Sino-tibetan, Austro-asiatik, Austronesia, Papua, Dravida, Indo-Eropa, dan Niger-Kongo.
“Nenek moyang penutur Austro-asiatik di Asia Tenggara yang te rungkap dari data genomik menunjukkan adanya migrasi Austronesia ke jalur barat yang bercampur dengan penutur Austro-asiatik dan kemudian menetap di Indonesia barat,” ujarnya.
Misalnya, gen manusia Jawa asli ternyata membawa genetika Austro-asiatik dan Austronesia. Begitu pula manusia etnis Dayak dan manusia di Pulau Sumatra, yang tampak pada etnis Batak Toba dan Batak Karo.
Sementara penduduk asli Pulau Alor, misalnya, membawa genetika Papua. Manusia asli Lembata dan Suku Lamaholot, Flores Timur membawa genetika Papua dengan presentase paling tinggi dan sedikit genetika bangsa penutur Austronesia.
Jadi apa yang menyatukan Indonesia sekarang sehingga orang Dayak, orang Jawa, Orang Batak, dan sebagainya itu bisa bangga menyebut diri: “Kami orang Indonesia”? Dan lantas ketika menyadari bahwa kita semua itu awalnya hanyalah bangsa pendatang maka siapa yang bisa menjelaskan konsep nasionalisme dan tanah air?
Yang jelas Indonesia bukan milik siapapun. Konsep dijajah dan menjajah itu juga lebih mirip sikap adaptasi berjuang untuk mempertahankan diri di tengah perubahan yang datang. Artinya kita yang hidup sampai sekarang, mau itu ras apapun, sama-sama termasuk kelompok yang bertahan menghuni Indonesia. Rasanya saya bakal setuju sama omongan kalau pribumi itu sikap, bukan darah.
Ya jadinya kalau saya sekarang dicekokin dengan bahasan nasionalisme saya akan mati gaya. Konsep nasionalisme rasanya tidak sesimpel waktu SD dulu.

Kalau saya sih jika ditanya, saya akan tegas dan lugas bilang: Saya orang Jawa, lahir di Yogyakarta, besar di Bekasi, jadi maafkan bahasa Jawa saya yang campur aduk dengan gue-elo, meski bapak ibu saya asli orang Jogja.

Ya mudah-mudahan dimaafkan. Toh pada dasarnya percampuran budaya juga tidak bisa dihindari. Kalau ada temanmu yang lebih suka film-film Korea atau nyanyi-nyanyi lagu Suju dengan bahasa yang nggak kamu mengerti, jangan khawatir. Dia bukannya tidak cinta ibu bapaknya yang bukan orang Korea. Mencampurkan nasionalisme, keindonesiaan, dan selera musik, fashion, atau film itu terlalu absurd. Toh Indonesia itu memang bhineka dari dulunya. Sekarang hanya bertambah bhineka saja karena memang jamannya sudah semakin terbuka. Dulu budaya luar dibawa ke mana-mana cuma bisa pakai perahu cadik atau jalan kaki. Sekarang kan sudah ada pesawat, mobil, internet, satelit, bla bla bla… Kecuali kamu mengasingkan diri di hutan terlarangnya Suku Baduy, atau di pelosok terdalam hutan Papua yang mungkin belum terjamah sampai sekarang. Tapi mungkin karena dulu saya lahir di Jogja, sekarang saya bisa bilang kan kalau Jogja itu tanah air saya?

*Gambar dari sini



Sunday, April 10, 2016

Ketika Urang Kanekes Diributi Soal Perut dan Pelestarian Adat




Gunung teu meunang dilebur
Lebak teu meunang dirusak
Larangan teu meunang ditempak
Buyut teu meunang dirobah
Lojor teu meunang dipotong
Pondok teu meunang disambung*


Amanat karuhun itu mewujud dalam pikukuh yang hingga kini dipegang teguh Masyarakat Baduy. Masih banyak pikukuh lainnya yang termaktub dalam buyut (pantangan) yang telah dititipkan nenek moyang kepada mereka yang menyebut diri urang kanekes itu. Intinya adalah cara hidup sebagaimana ajaran karuhun.

Adat yang telah ditetapkan karuhun pantang diubah. Pantangan itu dalam kehidupan sehari-hari masyarakan Baduy diinterpretasikan secara harafiah, khususnya Baduy Dalam.

Akhir-akhir ini, amanat karuhun semakin sulit dilaksanakan. Modernisasi ibarat musuh tak kasat mata, di satu sisi. Di sisi lain, perut lapar tak bisa bohong. Mereka butuh "kemajuan" untuk bisa bertahan.

Sarpin, salah seorang penduduk Baduy Luar melihat perubahan dimulai saat bagaimana kewajiban berladang pun menjadi pekerjaan yang penuh tantangan. Sejak dulu, adat Baduy memberi syarat bagi mereka yang telah berkeluarga untuk memiliki ladang sendiri. Sekitar tahun 1990-an, berladang dilakukan untuk memenuhi dua keperluan, hidup dan adat. Untuk itu, sehari-hari mereka membuka lahan seluas 1-2 hektar dan mampu menghasilkan 300-500 ikat, yang per ikatnya mencapai 3-4 kg beras.

Mereka kini semakin sulit mendapat hasil sebanyak itu. Berdasarkan hasil survey, rata-rata pembukaan lahan hanya sampai 2.000 m2. Itu menghasilkan 50-100 ikat saja. Artinya, per tahun hanya akan dapat 300 kg.

"Sekarang berladang bukan buat kehidupan shari-hari lagi tapi buat kebutuhan adat," ungkapnya saat datang ke acara diskusi berjudul 'Baduy Dulu dan Kini' di Bentara Budaya Jakarta, belum lama ini.


Soal perubahan, ini sebenarnya sudah mulai terjadi sejak masyarakat Baduy mengalami ledakan penduduk. Dalam acara yang sama, Cecep Eka Purnama membeberkan, berdasarkan catatan pertama demografi, penduduk Baduy tahun 1888 hanya berjumlah 291 jiwa yang menempati 10 kampung.

"Hari ini, berdasarkan informasi Pejabat Bidang Pemerintahan Desa Kanekes, Sarpin, penduduk Baduy berjumlah 11.667 jiwa atau 3.402 kepala keluarga, yang bermukim di 64 kampung," papar Arkeolog UI itu dalam acara yang sama.

Data itu berlawanan dengan kenyataan lahan tempat tinggal mereka yang tidak beranjak dari seluas 5.101,85 hektar. Hitungan ini belum termasuk ladang untuk adat maupun lahan suci yang tidak boleh dibuka untuk apapun.

"Orang Baduy masih memegang pikukuhnya. Tapi masalahnya lahan mereka untuk melakukan perladangan sudah terbatas," katanya.

Padahal, beras yang dihasilkan di ladang tidak boleh dijual. Beras yang mereka panen khusus untuk adat dan kebutuhan sehari-hari. Karena sekarang untuk kebutuhan sehari-hari saja sulit, mereka pun akhirnya mencari penghasilan dengan menjual hasil ladang lainnya, seperti madu, pisang, dll. Penghasilannya di antara lain untuk mencukui kebutuhan beras mereka.

"Untuk upacara wajib beras dari ladang, nggak boleh beli. Ngahuma itu adalah ritual mengkawinkan Nyi Pohaci dengan Bumi. Begitu ritualnya," jelas Cecep lagi.

Makanya, mungkin anak-anak Baduy generasi sekarang "tak beruntung" karena tak lagi bisa mendengar suara lisung di pagi hari. Sarman, warga Baduy Luar yang tinggal di Kampung Kadu Ketug, ketika saya beberapa waktu lalu menginap di rumahnya bercerita, warga Baduy dulunya terbiasa dibangunkan oleh suara tabuhan lisung. Paginya, saya memang kecewa karena saya malah dibangunkan suara keramaian turis yang memang saat itu sedang ramai mendatangi Kampung Baduy.

"Kenapa lisung nggak sering bunyi lagi, karena ladang makin sedikit. Leuit (lumbung,red) sudah nggak bagus karena sudah nggak sering diisi," jelas Cecep.

Saya mungkin beruntung akhirnya bisa menemukan kegiatan ini ketika menjelajahi kampung Baduy di pagi hari

Sementara untuk menerapkan teknologi pertanian di lahan sempit, lagi-lagi terbentur larangan adat. Jangankan teknologi modern, mereka tak boleh memelihara binatang berkaki empat untuk membantu mengolah tanah. Mereka pun dilarang memakai cangkul, apalagi traktor.

Lahan menyempit, hutan habis, air langka, kini mereka masih harus berhadapan dengan kedatangan turis-turis masuk ke kampung mereka. Tak disangkal orang-orang luar ini memang mendatangkan penghasilan tambahan, tetapi juga berpotensi merusak kebijakan adat Baduy.

Di sini "perdebatan" itu terjadi. Tak cuma turis, banyak kelompok yang menamai diri mereka aktifis, atau penggiat, atau peneliti, atau pengamat, atau kaum peduli masyarakat Baduy, atau apapun itu sejenisnya yang mulai merasa perlu "membenahi" kondisi Baduy. Mereka datang membawa konsep kehidupan baru. Itu dari mulai konsep rumah sehat sampai cara-cara menampung air untuk menghindari kekeringan yang sering melanda kampung itu.

Dalam hal ini Cecep pun mengimbau kepada semua pihak untuk berhati-hati membawa pengaruh luar ke dalam komunitas Baduy. Menurutnya masyarakat Baduy telah memiliki kearifan lokal sendiri dalam mengolah lingkungan dan membangun pemukiman.

Misalnya soal rumah adat. Rumah adat Baduy memang mungkin jauh dari tipe rumah sehat versi pemerintah atau WHO. Mereka tak punya jendela. Dapur tradisional yang penuh asap itu juga tidak berventilasi. 

Tapi itu bukan tanpa alasan. Cecep menerangkan, masyarakat Baduy membagi semestanya menjadi tiga bagian. Dunia Atas, diperuntukkan bagi leluhur, Dunia Tengah untuk para manusia, dan Dunia Bawah diperuntukkan bagi orang-orang yang tidak baik.

Menurutnya, ini yang membuat masyarakat Baduy membuat rumahnya tidak langsung menyentuh tanah. Rumah orang baduy berkolong karena menunjukkan mereka penghuni Dunia Tengah. 

"Kalau disemen ini menunjukkan mereka seperti orang Dunia Bawah yang tidak baik. Kemudian asap itu untuk mengusir rayap karena bahan utama rumahnya kan kayu. Ini kearifan lokal. Mereka juga nggak butuh jendela orang udah dingin," ungkapnya.

Kemudian, jika katanya timur menjadi arah hadap rumah yang sehat karena akan mendapatkan sinar matahari pagi yang cukup, rumah Baduy sayangnya menghadap selatan. Tapi lagi-lagi orang Baduy punya penjelasannya sendiri. Di arah selatan perkampungan, terdapat kompleks megalitik yang begitu mereka sakralkan. Lokasi ini merupakan titik tertinggi di sana.

"Selatan ada gunung, ada hutan larangan. Air mengalir dari selatan ke utara. Rumah Pu'un (pemimpin suku, red) ada di selatan. Orang menanam padi dari titik selatan. Mengubur orang juga diarahkan ke selatan," kata Cecep.

Menanggapi itu, Sosiolog, Imam B. Prasodjo menilai ada faktor lain yang juga harus disadari. Kondisi lingkungan saat ini makin menyulitkan Masyarakat Baduy untuk bisa mendukung pelestarian adatnya.

"Sekarang ini yang terjadi memang ada tuntutan untuk konservasi. Menjaga tetap asli. Tapi juga ada kebutuhan perut," ujar dia.

Menurutnya, seiring perkembangan zaman, kewajiban masyarakat Baduy untuk terus melestarikan adat terbentur kebutuhan hidup yang semakin mendesak. Tak hanya perkara sulitnya air atau terbatasnya lahan, masyarakat Baduy pun akhirnya seringkali "dipaksa" untuk berkompromi dengan budaya baru. Misalnya alat kontrasepsi yang kini juga telah digunakan oleh masyarakat Baduy Dalam.

"Soal ini memang hanya akan jadi perdebatan panjang yang nggak selesai-selesai. Kalau saya yang penting bagaimana mereka bisa hidup nyaman," ucap Imam.

Sayangnya, bicara soal kenyamanan itu subjektif. Saya kok jadi teringat masa-masa KKN. Datang ke dusun membawa pemecahan dari persoalan yang kita reka-reka sendiri, padahal mungkin penduduk sana nyaman-nyaman aja. Dalam hal ini, soal mana yang lebih mendesak, rasanya masyarakat Baduy paling tahu apa yang mereka butuhkan.

Sekarang, mendengar Sarpin bicara pun kita akan tahu sudah banyak yang berubah pada masyarakat Baduy. Bahasa Indonesianya lancar. Logat Sunda semakin tipis di pengucapannya. Sarpin juga mengaku mengenyam pendidikan, meski tak formal. Padahal adat tak membenarkan itu.

"Nggak boleh sekolah formal, tapi saya coba supaya masyarakat di sana tetap tahu soal pendidikan. Saya pernah ngajar juga," ceritanya.

Kalau sudah begitu, masa kita mau cegah mereka yang merasa butuh pendidikan? Karena bagi Sarpin, tinggal di Baduy tidak harus bodoh. Ia melihat, justru teman-teman yang lebih pintar, terbukti lebih mampu menghargai budaya.

"Hidup di tengah-tengah modernitas itu berat," kata dia mengakui pada akhirnya.

 ***

Dan ini beberapa jepretan yang saya ambil ketika main ke kampung Baduy beberapa waktu yang lalu......




Gadis Penenun. Di Baduy, gadis yang tidak bisa menenun sulit dapat suami




Leuit atau lumpung padi






*artinya:
Gunung tak boleh dihancur
Lembah tak boleh dirusak
Larangan tak boleh dilanggar
Buyut tak boleh diubah
Panjang tak boleh dipotong
Pendek tak boleh disambung

Thursday, April 7, 2016

Teori Evolusi, Kebahagiaan, dan Simbiosis Mutualisme




Sebenarnya apa itu kebahagiaan? Banyak yang bilang kebahagiaan itu kita sendiri yang buat. Kebahagiaan itu seperti rezeki. Kita dapat sesuai dengan yang kita usahakan. Maka artinya, tidak salah jika setiap orang akan dapat kadar yang berbeda. Malah mungkin ada yang miskin kebahagiaan.

Tapi pasti ada yang mendebat, orang miskin pun bukan tidak berusaha untuk menjadi tidak miskin. Tuhan cukup punya andil menetukan mana yang beruntung dan tidak.

Ah keberuntungan... manusia itu apa dibanding jagad semesta? Jika tidak hati-hati, ada batu di depan kita pun bisa jatuh dan terluka. Jadi, terbuat dari apa kebahagiaan itu?

Dua hari yang lalu, saya dikejutkan berita duka. Kenalan saya mati bunuh diri. Dia pilih menjerat lehernya dengan tali. Jasadnya ditemukan di tengah hutan. Banyak yang tidak percaya. Bahkan mendebat, karena berita lain menyebut dia meninggal dalam kecelakaan.

Saya memang tidak begitu mengenal orang ini. Saya hanya tahu dia melalui cerita teman-teman saya. Sesekali ketemu dia di kantin kampus. Itu pun sudah dulu sekali. Dan cuma dari cerita mulut ke mulut, saya tahu ternyata dulu dia tidak lulus kuliah karena DO.

"Kata (menyebut nama seorang dosen), dia udah lama depresi dan masalahnya berat," ucap teman saya baru-baru ini.

Di luar itu, kemungkinan bahwa seseorang memilih untuk tidak hidup dengan sengaja, apalagi dia ada di dalam lingkaran relasi sosial saya, membuat saya tidak bisa merasa nyaman. Rasanya banyak pertanyaan mendadak jadi seperti makin keras bergema di kuping.

Kenapa? Sampai separah apa hidup ini sampai seseorang bisa berkata "cukup"? Sudah merasa cukup kah kesempatan baginya, sehingga dia tidak lagi butuh memperpanjang pencariannya di dunia? Atau justru dia tidak berhasil menemukan apa yang dia cari, sehingga mencari di luar dunia ini? Apa yang dicari? Kebahagiaan kah? Ataukah dia bukan sebagian dari mereka yang "beruntung", yang bisa menemukan kebahagian di dunia?

Dari pembicaraan dengan dosen itu, kata teman saya, si dosen langsung mengkaitkan fenomena bunuh diri dengan faktor genetik. Sang dosen agaknya salah seorang yang percaya faktor keturunan bisa mempengaruhi dorongan seseorang untuk bunuh diri.

"Kemungkinan dulu ada anggota keluarga yang juga bunuh diri, dan itu secara genetis menurun, sama kaya penyakit mental," lanjut si teman saya, menceritakan omongan sang dosen.

Teman saya itu melanjutkan, si dosen di depan kelas menyampaikan, ketahanan seseorang dalam menghadapi tekanan atau stress itu bukan hanya dipengaruhi lingkungan. Genetik juga berpengaruh. Itu dengan catatan, faktor keturunan ini tidak berarti keturunan langsung. Faktor ketahanan terhadap stress ini bisa berpengaruh loncat ke beberapa generasi selanjutnya.

"Ada yang masalahnya kelihatan sepele bagi orang lain, tapi buat dia berat banget. Ada juga yang masalahnya berat, tapi dia tenang aja ngadepinnya," kata dia lagi.

Sebentar, jangan dulu didebat. Coba berimajinasi. Perkembangan genetis terus berlangsung selama proses kehidupan masih terjadi. Lebih jauh, penganut teori evolusi percaya, sampai sekarang manusia itu masih terus berevolusi. Mungkin proses ini nggak akan pernah berhenti selama dunia masih ada sebagai habitat yang membuat manusia dan makhluk hidup lainnya harus beradaptasi.

Contoh paling dekat, yang paling mudah diamati adalah gigi graham manusia yang paling ujung atau sering disebut gigi bungsu. Atau kalau orang-orang kedokteran gigi dan atropolog ragawi menyebutnya dengan istilah molar ketiga.

Saya ingat waktu kuliah paleoantropologi dan bioarkeologi, dosen saya menjelaskan kenapa sampai sekarang molar ketiga suka bikin masalah. Antara malu-malu tapi mau buat tumbuh. Kadang bisa sampai sakit ketika si molar ketiga mau nongol. Kasus saya malah pernah sampai berdarah-darah.

Jadi, singkatnya, kata dia, ini tanda proses evolusi masih berjalan. Dulu, manusia purba mengkonsumsi tumbuh-tumbuhan dalam jumlah besar. Pola diet itu tentunya butuh perangkat ekstra supaya proses mengunyah menjadi lebih mudah. Sekarang yang terjadi adalah tulang rahang manusia semakin pendek. Keberadaan molar ketiga pun jadi tidak begitu dibutuhkan. Malah posisinya justru menyulitkan, sering menjadi sarang penumpukan makanan yang membuat gigi berlubang. Banyak dokter gigi menyarankan untuk mencabut saja si gigi bungsu.

Kembali ke masalah perilaku bunuh diri juga dipengaruhi faktor genetik. Dalam proses evolusi, yang berubah mungkin tidak hanya fisik. Tapi secara psikologis juga "dites" dalam kemampuannya beradaptasi. Kalau tidak kuat berhadapan dengan lingkungan, maka depresi lah dia dan lebih jauh bisa sampai bunuh diri.

Konsekuensinya adalah, bagi yang memiliki faktor genetis, potensi bunuh diri itu tidak mudah "disembuhkan". Tidak bisa diobati hanya bisa diredam gejalanya. Sama seperti penyakit-penyakit turunan lainnya. 

Hmmm...Entah lah. Saya hanya berandai-andai loh. Tapi karena penasaran saya coba googling. Laman the Telegraph pernah menurunkan artikel yang berjudul "Suicidal Tendencies 'May Be Genetic'" pada tahun 2010. Berdasarkan penelitian yang dikepalai oleh Dr. Martin Kohli, dari the John P Hussman Institute for Human  Genomics di Miami, Amerika Serikat, memang menunjukkan adanya kecendrungan bunuh diri pada satu garis keturunan.

"Bunuh diri ternyata dapat diturunkan dalam sebuah keluarga," katanya.

Penelitiannya dilakukan terhadap 394 partisipan yang depresi. Di antaranya, 113 partisipan sudah melakukan bunuh diri. DNA mereka kemudian dibandingkan dengan 366 orang sehat.

Dari situ, terdapat lima perubahan genetik yang sama pada individu dengan riwayat keluarga yang pernah mencoba bunuh diri dan sudah melakukan bunuh diri. Namanya gen Nucleotide Polumorphisms (SNPs). Dia yang mempengaruhi keinginan seseorang untuk bunuh diri. varian itu akan mempengaruhi dua gen yang berhubungan dengan formasi sel saraf dan pertumbuhan dalam otak. Gen ini, jika dimiliki seseorang, dia akan berisiko 4,5 kali lipat besarnya mengalami percobaan bunuh diri.

"Bunuh diri dan usaha bunuh diri dapat diwariskan dengan adanya kesamaan fenotip dalam satu garis keturunan. Tapi risiko bunuh diri genetik ini berbeda dengan bunuh diri karena gangguan kejiwaan," katanya dalam Journal Archives of General Psychiatry yang telah dipublikasikan.

Artinya, jika diasumsikan yang memacu fungsi gen itu depresi, maka mereka yang membawa gen SNPs ini semacam gagal mencerna bibit-bibit rasa bahagia dari lingkungannya. Sama seperti nenek moyang jerapah, kata Darwin, ada yang berleher pendek, dan ada yang panjang. Ketika terjadi kekeringan jerapah berleher pendek tidak mampu menjangkau daun-daun yang ada di ketinggian. Akhirnya mereka terseleksi dan punah.

Begitu? entah. Lagi-lagi saya cuma berandai-andai...

Tapi soal kejiwaan ini bukan bersifat pasif seperti jerapah berleher pendek. Setidaknya itu yang di ungkap oleh seorang kolomnis, Mike Snelle. Dalam tulisannya di laman Telegraph (24/02/2015), ia menyadari, setelah melakukan beberapa penelitian, dorongan bunuh diri karena genetis tidak benar-benar genetis. Bukan berarti jika disebut genetis, itu tidak terelakan dan tidak bisa diubah sama sekali.

Genetik yang dimaksud dalam konteks ini adalah, ada kontribusi genetis dalam cara seseorang merespon lingkungan mereka. Memang itu menunjukkan kecendrungan untuk perilaku tertentu.

"Tidak ada keniscayaan tentang hal itu. Tidak ada perilaku yang lepas dari lingkungannya," ujarnya.

Namun, katanya, jika depresi adalah cara pikiran memberitahu ada sesuatu yang salah di lingkungan, artinya kasus bunuh diri memberitahu kita, ada sesuatu yang salah dalam masyarakat kita. "Ini adalah indikator kita perlu bertanya beberapa pertanyaan serius soal lingkungan sosial kita, tidak bisa tidak," tegasnya.

Artinya, jika boleh saya simpulkan, bunuh diri bukan semata kegagalan seseorang menanggulangi depresi dalam meraih kebahagiaan. Lingkungan juga berpengaruh menciptakan rasa bahagia, sehingga seseorang itu mampu mengumpulkan bibit-bibit kebahagiaan itu dan meresapinya ke dalam jiwanya.

Dan mungkin apa yang terjadi pada kenalan saya tidak sepenuhnya kegagalannya mencerna bibit-bibit kebahagiaan. Bukan karena ia depresi lantas ia bunuh diri. Tapi ada bibit-bibit kebahagiaan yang tidak terpancar dari lingkungan, sehingga tidak mampu ia tangkap.

Begitu kah? Paling tidak kita, atau saya jadi introspeksi, kebahagiaan bukan untuk diri sendiri tapi juga disampaikan. Orang lain butuh rasa bahagia agar kita juga bisa bahagia. Kebahagiaan mungkin adalah produk simbiosis mutualisme antar sesama makhluk.

*sumber gambar dari sini

Monday, February 29, 2016

Cilakanya Ngehe!




"Mah beliin iPhone sih..." rengek anak ibu kos saya yang langsung ditolak mentah-mentah sama si mamah.

"Ah elah cuma berapa juta juga!" protes si anak.

Sebagai informasi, anak ibu kos yang lagi merengek-rengek itu baru SMP. Saya nggak tau dia kelas berapa. Yang jelas dia minta iPhone buat menunjang gayanya di depan teman-teman sekolah. Itu dia bilang sendiri. Saya nggak bohong.

"Anak sekolah itu yang penting belajar!" teriak ibu kos.

"Ah kan biar semangat mah kalau nanti nilai bagus beliin iPhone," jawab anaknya.

Saya nggak heran sih. Di mana-mana sekarang orang punya iPhone. Dari anak belom gede semacem anak ibu kos saya sampai yang udah punya uang sendiri. Bagi yang lemah iman mungkin bakal sedih lihat HP-nya bukan iPhone dan merasa sangat, sangat jadul.

Kemudian ada kasus lainnya, belum lama ini temen saya nyinyir di grup chat. Dia menertawakan teman saya yang beli Macbook. Katanya, dia heran buat apa teman saya beli Macbook padahal kerjanya cuma bikin tugas kuliah S2-nya.

Tapi kalau diingat-ingat teman saya ini memang suka jadi bahan nyinyir orang-orang. Alasannya, mungkin karena dia selalu tepat waktu ngikutin mode. Waktu orang rame-rame ngomongin fixie, besoknya dia udah bawa sepeda fixie barunya ke kampus. Dan itu cuma bertahan nggak sampe seminggu, yang akhirnya dia dianter jemput lagi sama pacarnya.

Bukan cuma itu, dia jadi bahan nyinyiran lagi waktu tiba-tiba bawa-bawa kamera DSLR ke acara kuliah lapangan. Sebenarnya bukan masalah, tapi dosanya dia -di mata teman-teman lainnya- beli di saat kamera DSLR tiba-tiba jadi kalung trendi yang dipake sama banyak anak muda. Kamera ini juga nggak begitu lama dia sayang-sayang.

Ada orang bilang, munculnya orang-orang semacam itu adalah tanda-tanda meningkatnya jumlah kelas menengah di Indonesia. Mereka ini adalah orang yang gaya hidupnya tau-tau meningkat.

Dan memang, di Indonesia, jumlah penduduk kelas menengah ini terus bertambah setiap tahun. Data dari Bank Dunia Juni 2011 menunjukkan kelas menengah di Indoensia tumbuh 7juta jiwa setiap tahunnya. Selama 11 tahun, sejak 1999-2010, kelompok itu tumbuh menjadi tiga kali lipat, yaitu dari 45juta jiwa atau 25 persen dari jumlah penduduk Indonesia menjadi 134juta jiwa.

Tahun kemarin, penduduk yang tergolong kelas menengah itu sudah mencapai 170juta jiwa. Itu sama dengan 70 persen dari total seluruh penduduk di Indonesia! Soal kelas menengah, ada yang menjelaskan kelompok ini adalah mereka yang memiliki kekuatan expenditure (pengeluaran) per hari antara 2 dolar AS hingga 20 dolar AS.

Mari lupakan sejenak contoh-contoh kasus yang agak gimana tadi. Kelas menengah meningkat itu juga bukan salah siapa-siapa dan tidak perlu nyinyir. Di Indonesia, kita punya bonus demografi dan ledakan demografi kelas pekerja yang dahsyat. Jadi wajar.

Lagi pula sebenarnya, keberadaan penduduk kelas menengah di suatu negara itu bisa mendukung pertumbuhan ekonomi di masa depan. Gimana tidak? Jumlah kelas menengah yang meningkat ini nantinya akan menambah tingkat konsumsi. Permintaan konsumen yang meningkat, artinya ada keharusan untuk memenuhi permintaan yang meningkat itu kan? Akhirnya dengan ini lapangan kerja pun semakin terbuka lebih banyak lagi.

Lebih jauh, naiknya status ekonomi masyarakat ini tentunya diikuti peningkatan standar hidup. Akhirnya harapan pembangunan pendidikan dan kesehatan yang lebih baik bisa lebih terjamin... (semoga).

Masalahnya kelas menengah ini kemudian sering diberi embel-embel ngehe. "Kelas menengah ngehe, istilah ini sudah layak jadi istilah akademis," kata Pengamat Perkotaan, Marco Kusumawijaya sewaktu mengisi acara diskusi yang berjudul 'Apa Kampung, Apa Kota', di Bentara Budaya Jakarta beberapa waktu yang lalu.

Kenapa Marco bilang begitu, ia sebelumnya menyoroti nasib-nasib kota besar yang akhirnya jadi kebanjiran pendatang. Kota-kota besar, khususnya Jakarta menjadi sasaran grudukan masyarakat kelas menengah.

Apa efeknya? kebutuhan pemukiman, tempat-tempat komersil lainnya pun meningkat. Liat kan? semakin banyak iklan-iklan properti komersial berseliweran. Di sisi lain, kegelisahan sekarang juga makin dirasakan warga yang tinggal di kampung-kampung. Ancaman digusur makin memuncak. Pembangunan kota juga jadi tidak jelas arahnya.

"Pada persoalannya kampung dan kota adalah pertempuran modernitas," kata Marco lagi.

Peneliti dari The Institute for Ecosoc Rights, Sri Palupi menilai orientasi pembangunan kita memang menguntungkan kelas menengah. Mereka adalah penguasa basis masa. "Cilakanya ngehe!" seru dia kemudian.

Apa yang mereka soroti adalah pelayanan publik di kampung disengaja untuk tidak lebih baik dibanding pelayanan kepada kelas atas. Para masyarakat yang hidup di kampung-kampung kebanyakan juga tidak diberi hak atas tanah. Lingkungan mereka pun dibiarkan kumuh. Bahkan, masyarakatnya dicap ilegal dan kriminal. 

"Memang dibuat tidak nyaman agar mudah digusur. Selama kalangan atas  belum butuh wilayah itu mereka masih aman," kata palupi.

Apapun, seberapa menguntungkannya pertumbuhan kelas menengah, kesenjangan terus terjadi. Para pembangun wilayah dinilai kurang imajinasi. Mereka yang saat ini nangis karena rumahnya digempur dengan beko jelas belum merasa pembangunan ini memakmurkan semua pihak. Orang yang bisa menangkap peluang naik kasta dari masyarakat bawah ke masyarakat menengah, masyarakat menengah ke masyarakat atas. Fasilitas hunian kota dibangun demi memuaskan mereka yang naik kelas itu. Ini sialnya ngehe bagi mereka yang kemudian terpinggirkan dan akhirnya malah menciptakan kampung-kampung ilegal lainnya yang kembali gelisah menanti untuk digempur.

sumber gambar: di sini

Wednesday, February 24, 2016

Copy of My Mind: Nyata Senyata Kehidupan






Sari (Tara Basro) dan Alek (Chicco Jerikho) adalah sepasang kekasih yang hidup di tengah latar hiruk pikuk kampanye politik. Melalui Copy of My Mind keduanya dihidupkan dan diperkenalkan oleh sang sutradara, Joko Anwar. 

Sari bekerja di salon kecantikan murah bernama Yelo. Setelah pulang kerja, ia selalu mempir ke lapak DVD bajakan. Film yang diincarnya biasanya yang bertema monster-monster fiktif. Ini selalu dilakukannya sebelum akhirnya pulang ke kos, masak mie instan, dan menonton film monster hasil buruannya tadi sambil melahap mie instannya yang baru matang. 

Meski seleranya adalah film-film kelas B dan hanya sanggup menonton lewat DVD bajakan, ia punya standar. Ia kesal ketika kualitas terjemahan film itu buruk. 

Suatu hari ia pun protes kepada penjual di lapak DVD bajakan yang kemarin ia datangi. Ia berharap ganti rugi dari si penjual. Alih-alih ganti rugi, si penjual malah mempertemukan Sari dengan pembuat terjemahan film bajakan itu. Inilah yang menjadi awal pertemuan Sari dengan Alek dan berujung pada hubungan asmara keduanya. Sebagai pasangan kekasih, mereka pun memulai ritual antar jemput sampai tidur bersama. Hubungan mereka kian rekat hingga suatu hari Sari melakukan perbuatan yang akan terus disesalinya. Kecerobohannya membawanya dan Alek pada intrik politik yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

"Film apa ini?!" seru teman saya ketika kami selesai menonton film Copy of My Mind beberapa hari yang lalu. 

Itu adalah celetukan teman yang berharap adanya letupan drastis dalam film teranyar Joko Anwar kali ini. Sejak awal, melihat resensi yang sudah lebih dulu beredar,  seharusnya siapapun tahu film ini tidak akan menawarkan kemisteriusan penuh teror seperti film-film Joko Anwar sebelumnya. Tapi, mari lah kita bersetuju untuk bilang sutradara ini punya kecendrungan idealis yang bikin penasaran untuk mau menonton film-filmnya. 

Dan ya, Joko Anwar kali ini memang sukses membuat penonton kembali menyadari realitas di sebuah tempat bernama Jakarta.  Jakarta yang penuh sesak dan kegetiran.

Film ini terasa semakin nyata, ketika kemudian dialog yang didominasi Sari dan Alek seperti saling dinyatakan spontan.  Semua itu digabung menjadi satu, seakan film ini begitu berusaha keras untuk menampilkan kejujuran.

Ekspresi jujur dalam Copy of My Mind tidak akan berhasil jika saja pemain dalam film ini tidak matang membawakan peran. Pasangan Sari dan Alek mengekspresikan dengan pas bagaimana kedudukan masyarakat kelas bawah di Jakarta. Mereka yang seakan jauh dari hiruk pikuk politik yang lebih sering berada di khayangan seakan tak terjamah, dalam satu titik justru menjadi pihak yang paling dikorbankan. 

Joko Anwar memvisualisasikan lewat film ini bagaimana kelas bawah menjadi komoditas empuk kapanye. Mereka didekati, lewat aksi-aksi kampanye yang turun ke jalan. Sari beberapa kali bahkan melewati keramaian kampanye itu. Kampanye politik yang sama sekali tidak membawa dampak pada kehidupannya itu pun nampak ia acuhkan begitu saja.  Namun ironisnya, ia malah kemudian dipaksa untuk ikut memperhatikan ketika kampanye itu akhirnya berbuah pahit di hidupnya. 

Kali ini, keputusan yang berani nampak ketika Joko Anwar memilih cara penggambilan visual yang bergerak ke sana kemari. Penghayatan, itu mungkin yang ingin dicapai dengan memaksa penonton mengikuti gerak pemain-pemain di filmnya. Meski di beberapa bagian cara ini sedikit mengganggu dan cukup membuat lelah mata. 

Apa yang patut disayangkan adalah perpindahan fokus cerita di film ini. Mood cerita terjadi terlalu tiba-tiba. Sejak awal gaya bertutur Joko Anwar di film ini sangatlah lamban. Film ini begitu lama menceritakan keseharian kedua tokoh utama, hingga seakan memang hanya ingin menceritakan kisah cinta keduanya. Paling tidak tema cinta ini menghabiskan dua per tiga dari keseluruhan film. Sementara tema politik, hanya seperti tema yang ditempel paksa untuk menaikkan greget penonton. 

Jika kalian mencari degub-degub membara dalam film ini mungkin hanya akan kalian temui saat keduanya beradegan seks (yang cukup panas) di bagian pertengahan film. Tapi bisa saja ini trik yang dipakai Joko Anwar untuk menyampaikan kegetiran dan membuat penonton lebih bersimpati setelah “dipaksa” dekat dengan karakter tokoh-tokohnya lewat tayangan keseharaian yang lama tadi. Bisa juga kebosananan yang mau tidak mau menyeruak ketika dipaksa menelaah keseharian dua tokoh ini juga pesan, bahwa memang kehidupan itu terdiri dari ritual yang bagitu-bagitu saja, sedangkan aksi-aksi heroik penuh ketegangan hanya ada dalam film fiksi. 

Sumber gambar: di sini

Thursday, January 28, 2016

Lelucon Donat dan Kopi Hitam



"Apakah ketika tidak bulat dan tidak bolong tengahnya, dia tidak bisa disebut donat?"

Kamu tiba-tiba bertanya di tempat ini setahun yang lalu. Pertanyaanmu tidak kujawab. Aku pikir itu hanya basa basi memecah sunyi karena selama sejam kita hanya diam. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri dan mungkin kamu juga. 

Kini aku datang kembali ke cafe ini. Bukan untuk donatnya. Toh aku hanya pesan secangkir kopi hitam tanpa gula. Sama seperti yang dulu kamu pesan. 

Kalau kamu masih ingat, saat itu aku memarahimu karena kopi pahit pesananmu. Hari masih pagi. Kamu belum sarapan dan kamu punya maag. 

Dan coba lihat sekarang. Di waktu yang sama seperti waktu itu, ketika matahari bahkan baru beberapa jam bersolek di langit timur, kudapati diriku sudah menggenggam secangkir kopi pahit. Sama seperti kamu dulu. 

"Aku tidak mau begini terus," katamu setelah monologmu soal donat tadi.

Aku bertanya kenapa. Tapi cuma dalam hati. Lalu kitapun kembali saling mendiamkan. Aku tidak bisa menyalahkanmu yang tidak mempercayai jarak. 

then love, love will tear us apart again
love, love will tear us apart again...

Ah lagi-lagi lagu yang sama dengan saat itu. Hanya kali ini yang bernyanyi bukan Joy Division, tapi Nouvelle Vague... Tapi lalu kenapa? Meskipun bukan penyanyi aslinya, ini masih bisa dikatakan lagu yang sama kan?

Sekarang pasti kamu akan menganggap ini lucu. Lucu bagaimana sebuah kebetulan bisa bermain-main dengan perasaan seseorang. 

Ah tapi mungkin aku juga yang sengaja mencari kebetulan itu. Aku ke sini bukan untuk donat. Juga bukan untuk segelas Green Tea Latte kesuaanku. 

Sekarang bahkan aku mencoba mewujudkan sosokmu di atas kursi di depanku. Suasana ini mendukung kesengajaan nakalku. Tapi sebenarnya aku ingin kamu mewujud dengan senyum. Sayangnya kepalaku lebih dulu memproyeksikan bayanganmu dalam sendu.

Tiba-tiba aku merasa gugup. Kuangkat cangkirku menuju bibir. Tapi kubatalkan.
Kopiku masih utuh. Aku baru menyesapnya sekali. Aku tidak suka pahit. Kini pasti semakin terasa pahit karena sudah dingin.

Kopi itu pasti juga sudah dingin saat akhirnya kamu meminumnya usai mengakui ketidakmampuanmu memperpanjang keberadaanku di hatimu yang sudah berjalan paling tidak tujuh tahun. Aku tidak ingat pasti. Aku berharap kopi itu lebih pahit dari yang seharusnya, usai kamu berkata begitu. Aku harap mulutmu langsung terasa pahit, lidahmu pahit, gigimu menghitam, sehingga kamu merasa harus melepehnya kembali keluar. 

Ah apa cinta tidak mengajarkan kesabaran? Aku minta tunggu sebentar, kamu lebih suka segalanya bergerak cepat. 

Sebentar, aku mungkin harus bertanya seperti apa cinta yang diajarkan kepadamu? Kamu pernah bilang saking besarnya cinta, bisa sampai sulit diungkapkan dengan kata-kata. Tapi rupanya sebesar apapun itu, dia bisa langsung dihilangkan dengan secangkir kopi pahit. Rasa manisnya langsung melebur dan membuatmu tidak ingat seberapa manisnya sebelum kopi itu kau sesap.

Haha. Memang aku masih bisa bertanya soal cinta padamu?

Kemarin amplop pink itu datang. Aku tertawa. Bahkan kamu membiarkan dia mewarnainya dengan warna yang selalu kamu anggap sangat tidak maco. 

Lama sekali amplop itu hanya kupandangi. Aku merasa tidak perlu membukanya. Ada kamu tersenyum di sana. Begitu juga perempuan di sampingmu.  

Hmmmm....

Lalu pertanyaan basa basimu kembali terngiang. Apakah ketika dibentuk tidak bulat dan tidak bolong tengahnya tidak bisa disebut donat? Coba lihat. Bahkan cafe ini sampai sekarang masih menjual donat dengan bentuk yang mereka anggap pantas disebut donat. Tambahan butiran cokelat, bubuk green tea, kacang almond, selai strawberry hanya sebagai pemanis. Tapi ia tetaplah bulat, bolong di tengah, dan akhirnya masih masuk dalam kategori donat. 

Samakah seperti donat dan lagu yang kembali diputar dengan penyanyi berbeda? Apa itu juga cinta? Apakah kamu masih bisa mengatakan itu cinta yang sama, walaupun dia bukan aku lagi?

Kupandangi kopiku. Aku bahkan tidak akan pernah tahu kopi ini akan meninggalkan ampas di dasarnya atau tidak. 

Keramaian pengunjung cafe akhirnya menjangkau pikiranku hingga menyatu kembali. Sepertinya sudah berganti banyak lagu sejak suara Nouvelle Vague diperdengarkan tadi. 

Aku tinggalkan kursiku, dan kamu yang semu.  Kopiku masih utuh. Biar saja. Aku tidak pernah suka pahit.





*Sumber Gambar: Di sini