Saturday, November 28, 2015

Di Balik Cantiknya Kawah Ijen



Pengalaman naik gunung malam hari yang tidak begitu menyenangkan membuat saya ketar ketir ketika ditantang lagi untuk mendaki Gunung Ijen malam-malam. Saya punya masalah dengan pernapasan saya. Bukan asma. Tapi anemia membuat angkutan oksigen di tubuh saya jadi terganggu.

Terlebih kalau malam hari. Kenyataan harus berebut oksigen dengan tanaman membuat napas saya semakin sesak. Itu yang saya rasakan ketika mendaki Papandayan beberapa bulan lalu.

Untungnya, itu tidak cukup untuk menghentikan saya. Mumpung ada yang mengajak. Mumpung juga ada teman yang mau jemput dan mengantar.

"Jogging lu ris, siapin fisik, dua kali lipat dari naik ke Curug Cibereum," kata teman saya, Eko ketika saya mengiyakan ajakannya.

Jadilah saya selama beberapa hari mendisiplinkan diri bangun lebih pagi. Rencananya sih selama dua pekan saya mau rutin keliling kompleks. Tapi.... ah dasar pemalas.

Bukan tanpa alasan kami memilih waktu malam hari untuk mendaki. Kami mengincar blue fire atau si api biru yang termasyur itu. Pun membayangkan menikmati matahari terbit di dekat Kawah Ijen rasanya sangat melankolis.

Tapi biar sudah membekali fisik dengan hasil jogging yang seadanya bukan berarti saya bisa berhenti ketar ketir kan? Badan saya sudah luar biasa terkoyak-koyak, karena sejak tiba di Surabaya pada pagi hari hingga malam hari tiba di Pos Paltuding, kami belum istirahat dengan layak. Terlebih sepanjang pagi sampai sore kami malah berhura-hura menjelajahi Taman Nasional Baluran.

Malam itu, kami tiba di Pos Paltuding sekitar pukul 23.00 WIB. Begitu keluar mobil, udara dingin langsung berebut menusuki badan. Buru-buru saya keluarkan jaket tebal saya dan membungkus tubuh dengan rapat. Tangan saya saya masukkan dalam sarung tangan agar tidak mati rasa karena dinginnya udara musim kemarau.

Syukurlah malam itu cerah. Terlihat dari bintang-bintang khas pegunungan yang berhambur seenaknya di langit.

"Katanya pendakian baru dibuka pukul 03.00 WIB," kata Mas Ardi, teman yang sekaligus menjadi pemandu wisata kami.

Saya agak kecewa. Karena itu berarti kesempatan kami untuk bisa melihat blue fire jadi sedikit. Katanya, fenomena ini cuma akan muncul sebelum matahari terbit. Itu berarti setidaknya kami harus mulai mendaki pukul 01.00 WIB. Padahal kata Mas Ardi, jarak pendakian sampai di kawah itu sekitar 3 Km. Kalau cepat, bisa cuma 1,5 jam sampai. Tapi kata dia, rata-rata orang mendaki santai bisa sampai 2-3 jam.

"Kita tidur dulu aja ya," ucapnya kemudian.

Si Eko sebenarnya sudah mempersiapkan diri dengan membawa tenda. Tapi rasanya agak ribet karena kami semua sudah sangat lelah. Akhirnya kami berenam berjubel-jubel meringkuk di dalam mobil. Ini mungkin pilihan yang bijak, karena tentunya mobil lebih hangat dibanding tidur dalam tenda. Haha.

Rasanya saat itu saya sudah lama tertidur. Udara dingin yang merembet masuk ke dalam mobil akhirnya membangunkan saya. Ternyata masih tengah malam. Ah lama sekali harus menunggu sampai pukul 03.00 WIB, pikir saya.

Usai membuat tubuh semakin rapat dengan jaket dan kian melipat paha saya ke dada, saya pun melanjutkan tidur. Tapi lagi-lagi saya terbangun karena tiba-tiba harus ke kamar mandi. Baiklah saya lupa bilang kalau itu hari Sabtu. Entah mungkin takdirnya hari Sabtu, bahkan di gunung pun begitu ramai. Mau ke kamar mandi pun harus mengantri.

Tidak begitu ingat itu sudah pukul berapa. Ketika saya kembali ke mobil beberapa teman saya masih tertidur. Saya rasanya sudah capek tidur. Ingin segera bergerak, karena saat itu sudah kelewat dingin.

Di luar, dekat pos pendaftaran sudah mulai ramai orang bergerombol. Banyak juga bule-bule yang ke Ijen waktu itu. Ah, saya mulai sebal. Heran, kenapa pendaftaran tidak dilakukan saat mobil masuk ke Kawasan Gunung Ijen sih? Kalau begini caranya nanti pasti antrian membludag.

Satu per satu teman-teman saya bangun. Kami pun mulai membekali diri. Senter, air minum, makanan kecil, bahkan kompor dan gas kecil juga kami bawa.

"Siapa tahu lu mau ngopi di atas," kata Eko.

Cukup bawa dua tas ransel yang dibawa Eko dan Rena. Masing-masing juga membawa botol minumnya sendiri-sendiri. Saya bawa botol air dan tas kamera.

Karena saya dan Eko yang paling dulu siap, kami pun menuju antrian untuk mendaftar. Meski tak harus mengantri lama, perkiraan saya sebelumnya tidak seratus persen salah. Eco yang merelakan diri masuk dalam antrian pun harus merasakan aksi dorong dan luapan emosi dari para calon pendaki.

"Lo sini aja ris, jaga-jaga kalau duit gue kurang," instruksinya kepada saya.

Ya itu tugas "berat" saya, berdiri di luar antrian sambil melihat teman saya terdorong ke sana kemari. hahaha. Tapi ternyata kami pun hanya harus membayar Rp 7.500 per orang.

Baiklah setelah pendafaran beres, ini dia saatnya mengetes fisik hasil jogging seadanya. Berdasarkan informasi, Gunung Ijen memiliki ketinggian 2.386 mdpl. Sejujurnya agak grogi juga saya malam itu. Teman-teman perjalanan saya alumni Mapala semua di kampusnya. Apalah saya dibandingkan mereka yang cuma punya bekal hobi jalan-jalan ini.

Bagitulah, saya akhirnya mulai menapaki jalur pendakian, yang waktu itu diselimuti debu tebal. Musim kemarau membuat jalur pendakian makin sulit didaki. Terlebih malam itu begitu ramai. Ujian saya bertambah karena debu-debu yang tebal itu juga berterbangan diinjaki para pendaki. Kalau tidak hati-hati ini bisa menambah sesak napas saya.

Untungnya saya bawa masker. Tapi ternyata masker justru membuat saya seperti dibekap.

"Pelan-pelan aja jalannya masih awal," seru Mas Ardi .

Dalam perjalanan itu, saya rasanya bisa membagi tipe jalur pendakian menjadi tiga bagian. Pertama kita akan langsung ditantang dengan kondisi yang agak menanjak. Kondisi akan semakin menanjak dan berkelok tajam pada jalur tipe kedua. Pada bagian ini, kalian akan semakin sering melihat orang berhenti, menepi, dan mengambil napas.

"Tuh lu bisa terus jalan, ris." kata Eko, yang tahu masalah pernapasan saya.

Iya, saya sendiri juga heran. Saya sama sekali tidak sesak napas. Bahkan pendakian saya bisa dibilang cukup lancar dan cepat.

Sebelum memasuki jalur pendakian tipe ketiga, kami lebih dulu singgah ke peristirahatan. Tempat ini biasanya dipakai penambang belerang untuk menimbang belerang mereka. Waktu itu langit masih gelap, jadi tempat penimbangan itu pun belum ramai.

Baru sebentar mengatur napas, suhu badan saya kembali turun. Hawa dingin mulai merembet.

"Yuk jalan lagi, udah mulai dingin nih," ajak mas Ardi.

Dia bilang, perjalanan kami tidak akan jauh lagi. Setelah pos istirahat ini jalur di depan juga sudah tidak seekstrim sebelumnya. Datar, datar, dan datar.

Sampai di sini, saya menengok jam di tangan. Jarum jam menunjuk hampir 04.30 WIB. Ah mulai saat itu, saya sudah mengurangi keinginan saya untuk bisa melihat blue fire. Di Jawa Timur matahari lebih cepat mengangkasa. Terutama, pemandangan yang saat itu sudah lebih terbuka membuat saya menyadari benih-benih fajar mulai nampak.


Kawah Ijen dan penambang belerang

Benar saja, sampai di Kawah Ijen suasana sudah terang. Matahari sudah muncul secuil di kejauhan.

"Ini musim kemarau jadi semakin mempet kalau mau ngejar blue fire," kata bapak-bapak penambang belerang dengan logat Jawanya. Ia rupanya sempat mendengar keluhan saya tadi.

Tapi rasa kecewa saya terobati. Pemandangan di atas sana membuat saya lupa dengan blue fire. Angin begitu kencang, tetapi dngin tidak lagi terasa.

Di dekat kawah, saya sempat ngobrol sedikit dengan Pak Supardi, penambang belerang yang sedang beristirahat. Sepagi itu dia sudah sekali bolak-balik mengangkut belerang.

"Bapak biasanya dua kali bolak balik, dapatnya 60 kg, satu kilo dibayar Rp 1.000," tuturnya.

Saya melihat tubuhnya yang tak lagi tegap dan kulitnya yang keriput di sana sini. Pun membayangkan harus naik turun dengan rute sama seperti yang saya lalui tadi, ditambah pikulan bongkahan belerang puluhan kilo, rasanya saya memang tidak pantas mengeluh lelah. Tapi yakinlah, sebagai wisatawan, lelahnya mendaki akan terbayar jika sudah melihat pemandangan di atas Kawah Ijen.

Aktivitas subuh penambang belerang
Beberapa saat kemudian, obrolan saya hentikan ketika dia mulai memberikan sinyal menawarkan jasa lebih. Dia terus bertanya apa saya ingin turun ke kawah. Dari bahasa tubuhnya, mengantarkan turis ke kawah merupakan kerja sambilannya.

Ternyata memang begitu, beberapa kali saya bahkan mendengar mereka meneriaki turis-turis yang memfoto kegiatan mereka. Rupanya mereka hanya mau difoto asal ada uangnya.

Hak mereka juga. Lagipula saya setuju mereka butuh uang tambahan jika dari menambang rata-rata hanya bisa menghasilkan Rp 60.000 sehari. Tapi hak saya juga kalau saya bisa dapat foto-foto mereka diam-diam. Hahaha... (tiba-tiba merasa jahat)...





Ramainya turis dan penambang belerang yang hilir mudik tidak membuat tempat itu kehilangan daya pikatnya. Saya betah berlama-lama di sana. Bahkan akhirnya kami pun memutuskan untuk memanaskan air dan minum kopi di dekat kawah. Rasanya nikmat biar cuma kopi instan bungkus.

Keliihatannya Kawah Ijen, turis, dan belerangnya tak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat sekitar. Itu sumber kehidupan bagi bapak-bapak seperti Pak Supardi tadi. Beberapa kali dalam perjalanan pulang saya pun menjumpai penambang-penambang itu menjual cinderamata yang mereka buat dari belerang. Akhirnya saya justru merasa melankoli bukan dengan pemandangan menakjubkan dari Kawah Ijen. Di sini, di balik hingar bingar turis yang mendaki demi kepuasan, ada mereka yang harus mendaki susah payah demi menghidupi diri sendiri dan keluarnya.

Cinderamata dari Kawah Ijen

Hmmm... Terakhir, saya mau berbagi sedkit soal Ijen yang semoga bisa disimpulkan sendiri lewat jepretan amatiran saya di bawah ini....


Birunya langit Gunung Ijen

Kereta kencana para pengais belerang

Sambilan


Bongkar muatan

Menanti untuk diisi kembali

Belerang dipecah sebelum diangkut kembali


Berkawan dengan peluh


Friday, November 27, 2015

Baluran: Berpetualang di Alam Liar Ala Afrika




Matahari seperti mau menguliti kami hidup-hidup saat itu juga. Ditambah lagi kami belum sempat mandi saat memasuki gerbang Baluran (abaikan!). Kami yang baru saja datang ke Surabaya dari Jakarta subuh tadi, langsung dibawa ke taman nasional yang ada di Banyuwangi itu.

Waktu itu belum begitu siang sebenarnya. Tapi di Jawa Timur matahari selalu lebih tergesa mengisi langit. Lagipula sebenarnya musim kemarau membuat kami tidak terlalu khawatir perjalanan kami diganggu hujan. Tapi kami harus menebus kenikmatan itu dengan terik dan pemandangan kering di sekeliling kami. Seakan satu sisa puntung rokok yang masih menyala dan jatuh bisa langsung menyulut dan membabat habis seluruh yang ada di sini.

Hari itu kami berenam di dalam mobil yang sengaja dilambatkan ketika memasuki kawasan hutan Baluran yang mengering. Anehnya, meski panas kami lebih memilih mematikan AC dan membuka jendela. Ini bukan pemandangan yang akan sering kami saksikan.

Terik
 Banyak yang bilang, Taman Nasional Baluran itu seperti miniatur Afrika di Jawa. Itu saya amini ketika akhirnya kami masuk ke kawasan Savana Bekol.

Untuk sampai ke situ, kami harus melalui jalanan bergelombang dan tentunya berdebu. Di sekeliling kami hutan-hutan terlihat memutih saking keringnya iklim di Bulan November tahun ini.

"Di sini biasanya banyak ayam hutan berkeliaran," kata Mas Ardi, si pemegang kendali mobil dan mungkin yang paling hafal tempat ini di antara kami semua. 

Kami pun seperti dapat aba-aba celingukan mencari si ayam hutan. Tapi nihil. Lagi-lagi kami cuma lihat debu dan panasnya matahari yang menyengat.

"Mungkin mereka juga lagi neduh. Nanti sore mungkin baru keluar," jelas Mas Ardi lagi. Sebagai teman yang baru saya kenal, beberapa kali ia memang jadi terkesan seperti pemandu wisata. haha.

"Eh itu!" saya tiba-tiba nyeletuk. Di antara dahan mengering itu, ada penghuni hitam, gagah, dan besar. Ternyata elang menjadi satwa penyambut pertama kami di Baluran.

"Coba lihat deh, itu di bawahnya ada selang air, dia sengaja nyari sumber air," lagi-lagi suara Mas Ardi menyahut dari balik kemudi.

Itu dia elangnya, titik kecil hitam di tengah pohon yang mengering
Agak panjang perjalanan kami untuk menyudahi pemandangan yang itu-itu saja. Sempat juga diselingi kawasan Evergreen. Kata Mas Ardi sih ini seharusnya hutan yang tidak pernah kering di musim apapun. Tapi, yang kami lihat waktu itu tidak sehijau biasanya.

"Sampai-sampai Evergreen aja berubah warna gini ya," ucapnya.

Sekitar 12 km dari gerbang utama untuk sampai ke Bekol. Perlahan kami pun mendapati jalan sempit yang dikelilingi hutan meranggas, mulai membuka. Kali ini sekawanan kera abu-abu ekor panjang yang menyambut kami. Hawa panas rupanya tidak menyurutkan kelincahan mereka.

Bekol, merupakan padang savana terbesar di wilayah itu. Saat itu savana menambah teriknya matahari dengan pemandangannya yang hanya didominasi coklat keemasan. Beberapa tanahnya retak dan rumputnya sedikit memutih di sana-sini tertutup debu.

Hujan memang sudah terlalu lama dinantikan. Tumbuhan widoro bukol, mimba, dan pilang saat itu pun hanya berdiri ringkih tanpa rimbunan yang bisa menjadi tempat berteduh satwa.

Savana Bekol

Kawanan kera lebih banyak kami temukan di sekitar tempat pemberhentian pengunjung Savana Bekol. Mobil kami harus jalan perlahan, karena kemeriahan kera itu menghambat lajunya. Saya celingukan, berharap ada satwa besar yang bisa ditangkap mata. Sayangnya tidak terlihat.

Kami pun memutuskan untuk langsung menuju ke Pantai Bama yang letaknya 3 km dari Bekol. "Mungkin agak sore muncul hewan-hewan lainya," kata Eko, yang sejak awal sibuk dengan kameranya.

Tapi kami beruntung. Dalam perjalanan menuju Pantai Bama, sedikit jauh dari jalur mobil, mata kami menangkap sekawanan rusa sedang berteduh. Saya dan Eko langsung melompat turun siap dengan kamera. Sayangnya, mereka yang menyadari keberadaan kami tiba-tiba waspada dan berdiri. Saya sedikit merasa bersalah mengganggu mereka, karena begitu kami mendekat mereka langsung berjalan pergi.

Kawanan rusa yang berteduh
Di Bama, lagi-lagi beberapa kera sudah menanti kami. Sebagaimana di kawasan wisata lain, di situ mereka tidak canggung meski cukup banyak pengunjung yang datang.

Pantai Bama adalah pantai pasir putih yang dikelilingi hutan bakau dengan ombak yang tenang. Di balik keringnya savana tadi, Bama seperti dunia lain yang tersembunyi.
 
Pantai Bama dan ombaknya yang luar biasa tenang
 Kami yang sedikit tak betah berdiam lama-lama di pantai pun memutuskan untuk kembali. Kali ini, pemandangan dalam perjalanan kembali menuju Bekol, menjadi lebih hidup. Tidak seterik waktu kami datang, Bekol juga menjadi lebih ramai. Di hadapan kami Gunung Baluran tegap berdiri di tengah langit yang biru cerah. Di kejauhan kami pun melihat kawanan rusa yang beramai-ramai menyebrangi jalur mobil.

"Co! itu merak!" seru saya kepada Eko, yang sejak melihat satwa di kejauhan kembali melompat dari mobil dan siap berlari-lari dengan kamera. Serasa seperti mendapat bonus bisa melihat merak hijau dengan liar berlari melintas di kejauhan. Sayangnya terlalu jauh dan terlalu cepat untuk kami kejar dengan kamera.
Berkubang
Tidak terasa juga, rupanya kami cukup lama menghabiskan waktu di Bekol. Sudah sore, dan badan saya mulai terasa sulit diajak bergerak lebih. Padahal masih banyak tempat di Taman Nasional Baluran yang tidak sempat saya jelajahi. Kami juga akhirnya tidak berhasil melihat banteng liar yang katanya menjadi maskot dari taman nasional ini.

Tapi yang pasti perjalanan ke Baluran ini membawa kesan tersendiri. Wisata alam toh tak harus gunung dan laut saja kan? Dan sepertinya sore hari memang menjadi waktu bagi ayam hutan menampakan diri. Akhirnya mereka pula yang mengantarkan kepulangan kami dengan berhilir mudik dekat jalur mobil. Dari sini saya jadi tertantang untuk mengunjungi taman nasional lainnya....


Kembali pulang...

Beberapa jepretan yang sayang dilewatkan....

Gunung Baluran

Sejauh mata memandang

Berkenalan

Banyunibo: Kemagisan yang Sunyi



Sekitar 13 abad yang lalu, sekelompok masyarakat meninggali kawasan gersang di sebuah desa di Pulau Jawa. Tanah mereka dikelilingi perbukitan karst. Pada musim kemarau angin menjadi lebih kering daripada biasanya sekaligus menerbangkan debu yang membuat mata pedih.

Demi kehidupan yang gemah ripah loh jinawi, mereka pun mengorbankan harta bendanya demi membangun pemujaan untuk dewa dan dewi. Mereka ingin memohon kepada langit agar mau memberkahi tanah mereka.

Itu yang ada dalam bayangan saya ketika melihat satu kompleks candi di sebuah dusun yang kini dinamai Cepit, di kawasan Prambanan, Yogyakarta. Dinamai Banyunibo atau “air yang jatuh”, mungkin karena bentuk atap stupanya yang seperti tetesan air. Tapi mungkin juga memang sejak dulu, Candi Banyunibo diharapkan menjadi setetes air di tanah yang gersang.

Kini candi itu lebih sering tersembunyi di balik kebun tebu yang rapat. Terutama ketika tebu itu sudah lebih tinggi dari kepala manusia. Ujung stupa di atapnya pun hanya akan terlihat jika kita mendekat.

Mungkin juga, itu tandanya para dewata telah mengabulkan doa masyarakat Cepit pada masa lalu. Gersangnya perbukitan karst tidak begitu terasa. Saya justru lebih merasa damai dan sejuk, karena kini candi itu dikelilingi areal persawahan yang luas.

Dengan pemandangan begitu, banyak orang melihatnya seperti sebatang kara.Tapi sebenarnya candi itu tidak sendiri seperti kelihatannya. Dulunya ia terdiri dari sebuah candi induk yang di kelilingi oleh enam candi perwara berbentuk stupa, yang berderet di sisi selatan dan timur. Sayangnya keenam pengiringnya saat ini sudah berubah menjadi reruntuhan.

Soal imaji saya tadi juga bukannya tanpa alasan. Di candi ini, Hariti dipilih menjadi dewi tempat masyarakat kala itu menggantungkan permohonannya. Memasuki lorong pintu masuk di sebelah barat, setelah menaiki tangga, pada dinding sebelah kanan, kita akan menjumpai relief seorang wanita yang duduk memperlihatkan kelaminnya. Ia digambarkan sedang dikerumuni anak kecil. Di seberangnya, yaitu dinding sebelah kiri, ada seorang laki-laki dalam relief sedang dalam posisi duduk di sebelah guci yang berukuran cukup besar.

Dalam Agama Budha, Hariti dikenal sebagai Dewi Kesuburan. Sementara yang laki-laki adalah suaminya, Vaisravana. Ia adalah Dewa Kekayaan.

Bukan cuma di situ, sosok Hariti juga disematkan pada dinding dalam di atas ambang pintu. Ia sedang duduk bersila diapit oleh dua ekor burung merak, dan juga terlihat sedang dikerumuni anak kecil.
Dewi Hariti
Selanjutnya, permohonan juga mereka simbolkan dalam bentuk Pohon Kalpataru. Dalam bilik candi, pada tembok yang langsung menghadap pintu masuk, kita akan lihat pahatan yang sepertinya menggambarkan pohon kehidupan itu. Sayangnya tidak begitu jelas. Selain karena keadaannya yang telah aus, beberapa batu asli yang memuat bagian gambar itu mungkin tidak ditemukan. Akhirnya beberapa bagian harus digantikan oleh balok-balok andesit polos yang terlihat masih baru.

Adapula perlambang yang diwujudkan pada dinding bagian luar candi. Sepasang makhluk kayangan bernama Kinara-Kinari dipahatkan bersama dengan Pohon Kalpataru.

Kinara-Kinari selalu digambarkan separuh burung dan separuh manusia. Beberapa kepercayaan kuno, jauh lebih kuno dari candi ini, meyakini burung adalah perwakilan dunia atas, sedangkan manusia adalah perwakilan dunia bawah. Mungkin pada masa candi ini berdiri, konsep itu juga yang hendak diwujudkan dalam bentuk Kinara-Kinari. Kedua dunia itu dikawinkan, dengan harapan kesatuan dua dunia dapat mendatangkan keharmonisan alam agar tetap gemah ripah.

Kinara-Kinari dan Pohon Kalpataru
 Ada lagi pahatan kumbha yang akan ditemui jika melihat pada dinding kaki candi. Kumbha ini berupa bejana yang mengeluarkan sulur-sulur bergelombang sebagai simbol wadah air kehidupan. Terasa sekali, Candi Banyunibo ini perwujudan berserah diri manusia kepada Penguasa Alam.

Sekarang, candi ini hanya serupa monumen batu. Tidak banyak yang mengunjungi, tidak seperi Situs Ratu Boko atau Candi Prambanan. Tapi karena itu Banyunibo menjadi salah satu yang saya suka. Kalau duduk di tangga masuknya, merasakan sunyinya, dan anginnya yang sejuk, kemagisan candi itu masih sangat terasa.

Sayang, sekarang saking sepinya candi ini, jadi sering dipakai sebagai tempat rujukan pasangan tanggung untuk saling gelendot dan entah apa lagi. Beberapa juga ada yang jahil, karena di sana-sini saya bisa menemukan jejak eksistensi mereka lewat cat semprot warna-warni. Ah.... semoga dewa dewi tidak marah tempatnya dicemari begitu. Semoga Dusun Cepit tetap subur dan magis...

Ketika Indonesia Harus Berkaca Pada Kisah Angling Darma






Zaman dahulu kala, hiduplah seorang raja bernama Angling Darma. Ia adalah raja keturunan ketujuh dari garis keturunan Arjuna, Putra Pandu dari epos Mahabarata.

Angling Darma memiliki kemampuan memahami bahasa binatang. Ilmu yang disebut sebagai Aji Gineng ini ia warisi dari sang Guru, Nagaraja. Sebagai syarat, ia harus merahasiakan ilmu barunya itu pada siapapun, termasuk pada istrinya, Setyawati.

Suatu hari, ketika sedang bersama Setyawati, Angling Darma tanpa sadar menertawai percakapan sepasang cosy (ini sebutan saya untuk hewan tukang nemplok di tembok pokonya). Setyawati pun tersinggung. Namun, Angling Darma tetap menolak berterus terang, karena terlanjur berjanji untuk merahasiakan ilmu Aji Gineng-nya itu.

Setyawati yang bertambah marah mengancam melakukan pati obong untuk mengembalikan harga dirinya. Dengan melakukan pati obong, Setyawati berarti memilih untuk menerjunkan diri dalam kobaran api. Mendengar itu, Angling Darma justru memilih untuk berjanji menemani Setyawati mati daripada harus membocorkan rahasia ilmunya.

Tapi kemudian, Angling Darma pun mendengar pembicaraan sepasang kambing. Dari pembicaraan itu, ia sadar, keputusannya sehidup semati dengan sang istri adalah keputusan egois. Keputusan itu akan merugikan rakyatnya.

Maka, ketika Setyawati terjun dalam api, Angling Darma tak ikut menyertainya. Artinya, ia telah melanggar sumpahnya sendiri untuk ikut mati bersama istrinya

Perbuatan ingkar janji ini membuatnya harus dibuang ke hutan. Untuk menebus dosa, ia harus meninggalkan segala miliknya, juga kedudukannya sebagai raja.

Sepenggal kisah itu diambil dari cerita Angling Darma (Aidharma). Siapa yang tidak kenal cerita ini ya? Bahkan untuk beberapa orang cerita ini dianggap benar-benar pernah terjadi.

Menurut kepercayaan yang ada, kisah ini merupakan tradisi Jawa asli. Di India, di mana dipercaya sebagai induk tradisi klasik di Nusantara itu, tidak pernah ditemukan kisah serupa.

Kapan pastinya kisah ini ditulis, saya tidak bisa jawab. Mungkin ahli manuskrip bisa menjawab ini. Cuma yang saya tahu, saya dan kalian akan bisa menemukannya di dinding Candi Jago. Candi ini bisa didatangi kalau kalian mampir ke Desa Tumpang, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Jawa Timur.

Berdasarkan sejarahnya, Candi Jago diduga merupakan tempat pendharmaan Raja Wisnuwardhana dari Kerjaan Singhasari. Kalau merujuk apa yang ditulis Bernet Kempers di bukunya, Ancient Indonesian Art, pentahbisan tempat suci ini diperkirakan terjadi pada tahun 1268 M.

"Atau dua belas tahun setelanya, yaitu setelah dilakukannya Upacara Sradha tahun 1280 M," tulis Kempers.

Oke, apa itu Upacara Sradha? Itu mungkin kalau zaman sekarang sama seperti apa yang kita sebut dengan nyadran. Sama-sama mengenang arwah leluhur atau pendahulu yang sudah meninggal.

Nah, selain kisah Angling Darma di Candi Jago ini, sampai sekarang sudah dikenal dengan banyak versi. Itu termasuk Angling Darma yang pernah tayang sebagai sinetron di salah satu stasiun tv swasta kita, dulu sekali. Ingat?

Cerita yang banyak dikenal saat ini jauh lebih panjang. Kesamaannya juga sedikit sekali dengan yang ada di Candi Jago. Sementara, cerita yang ada dalam relief pada dinding Candi Jago, katanya tidak ada kaitannya sama naskah manapun yang ada dari masa yang lebih tua.

"Intepretasi cerita Angling Darma ini telah dipercayai oleh masyarakat sekitar dan dibuat tulisan mengenainya oleh seorang juru pelihara Candi Jago,"  tulis Ann .R. Kinney dalam bukunya Worshiping Siva and Buddha: the temple art of East Java.

Di Candi Jago, kisah Angling Darma tadi berlanjut dengan menceritakan bagian adegan lain. Dalam panel selanjutnya, dimunculkan seorang resi yang nampak berselisih dengan putrinya, yang ditulis Kinney, bernama Ambarwati.

Ambarwati saat itu tengah bersiap pergi berdoa kepada Buddha Vairocana. Ayahnya, sang resi, berusaha menghalanginya, meski Ambarwati terus bersikukuh. Namun, akhirnya mereka berjalan berdua untuk menemui Sang Budha.

Karena perbuatannya menghalangi Ambarwati yang ingin berdoa, Oleh Vairocana sang resi pun dikutuk menjadi raksasa. Raksasa jelmaan resi itu tidak akan bisa kembali ke wujud semula kecuali ia dibunuh dengan panah.

Perjalanan mereka kemudian, mempertemukan Ambarwati dengan Angling Darma. Dalam pertemuan itu, Angling Darma yakin Ambarawati merupakan reinkarnasi dari istrinya terdahulu karena rupa mereka yang sama.

pertemuan Angling Darma dan Ambarwati
 Tidak kalah penting, dalam panel candi itu, muncul tokoh Punakawan, ya punakawan yang itu, manusia cebol bertubuh tambun. Punakawan di sini berjumlah dua. Keduanya menjadi pengikut Angling Darma. Adapun digambarkan pula satu punakawan yang merupakan teman seperjalanan Ambarwati. Punakawan pengikut Ambarwati ini, melihat nonanya didekati Angling Darma pergi melapor pada sang resi karena menganggap Ambarwati tengah didekati orang tak dikenal.

Sementara itu, seorang Brahmana yang melihat hal itu melaporkan apa yang terjadi kepada Vairocana. Vairocana pun segera memerintahkan Bramana tadi untuk melindungi Ambarwati dan Angling Darma dalam perjalanannya.

Seorang Brahmana utusan Vairocana datang untuk mengawasi Angling Darma dan Ambarwati
 Namun, sang Bramana tidak menyadari kedatangan raksasa yang marah karena mendengar laporan dari punakawan mengenai putrinya. Raksasa itu hendak menyerang Angling Darma, tapi tak berhasil. Angling Darma keburu menaklukkannya dengan panah yang justru membebaskan raksasa dari kutukan.

Resi itu berterimakasih kepada Angling Darma dan memberitahunya bahwa ia adalah ayah dari Ambarwati. Kemudian Sang Resi terbang bersama sang Brahamana menemui Vairocana yang telah memberikan restu kepada pernikahan Angling Darma dan Ambarwati.

 Angling Darma pulang kembali ke kerajaan bersama dengan Ambarwati
Jika dibandingkan, tahulah kita kesamaan versi kisah ini dengan yang dikenal sekarang hanya pada awal kisah sampai bagaimana Angling Darma dibuang ke hutan.

Kisah pertemuannya dengan seorang perempuan yang kemudian menjadi kekasihnya juga berbeda. Dalam relief mereka bertemu di hutan, sedangkan pada kisah yang dikenal pada umumnya, mereka bertemu di istana. Latar belakang si perempuan juga berbeda, dalam relief, perempuan itu adalah anak dari seorang resi yang dikutuk, sedangkan dalam versi lain ia adalah seorang putri raja.

Di versi yang banyak dikenal masyarakat, Angling Darma juga diceritakan terkena kutuk dua kali. Selain dibuang ke hutan, ia juga dikutuk menjadi seekor belibis, yang membuatnya bertemu dengan sang putri. Keberadaan tokoh Punakawan, dalam penceritaan naskah tertulis yang umum dikenal juga tidak ditemukan.

Berdasarkan penggambaran yang ada di Candi jago, poin dari kisah Angling Darma ini jelas soal perannya meruwat sang resi dari kutuknya menjadi raksasa. Namun, ini justru tidak ditemukan pada versinya yang lebih umum.

Dari sini, ada beberapa hal yang menurut saya menarik untuk diperhatikan. Mungkin ini semacam petuah dalam cerita. Bahwa, anugrah yang menjadi kelebihan Angling Darma, justru menjadi awalan dari penderitaannya, yaitu kehilangan istri dan kerajaannya. Angling Darma yang tidak mampu mengendalikan kemampuannya akhirnya membawa kemalangan terhadap dirinya sendiri.

Bukan cuma itu, kita bisa belajar, dalam konteks masyarakat lampau, putri dan istri permaisuri bagi seorang lelaki atau raja merupakan harta. Itu bisa dianalogikan sebagai salah satu aspek dari nafsu duniawi.

Dalam cerita, baik Angling Darma maupun sang resi tidak dapat menahan perasaan pribadinya pada dunia. Mereka kemudian dihukum dengan caranya masing-masing.

Angling Darma, ia dengan tergesa-gesa mengucap sumpah untuk ikut bela pati bersama permaisurinya untuk menunjukkan cintanya. Ini adalah tindakan yang salah sebagai seorang raja karena ia meninggalkan dharma-nya hanya demi cintanya pada istri.

Sementara sang resi, seharusnya mengajarkan kebenaran agama, malah menghalangi putrinya untuk pergi berdoa di hadapan Vairocana. Hal ini mungkin dikarenakan kekhawatirannya yang besar. Ia takut putrinya akan berhadapan pada bahaya jika pergi. Karena hal itu, oleh Vairocana ia dihukum menjadi raksasa.

Tapi, setelah semua kekacauan yang terjadi tadi, kisah ini lalu berakhir pada kondisi yang stabil kembali. Sang resi mendapatkan wujudnya yang suci dan diangkat ke surga. Adapun Angling Darma mendapatkan kembali kerajaan dan istrinya, karena Ambarwati dalam cerita digambarkan memiliki wujud yang sama dengan permaisurinya Setyawati. 

Keadaan yang kembali stabil dalam kisah Angling Darma versi Candi Jago ini didapatkan setelah tokoh utama dalam cerita berhasil mengeyahkan nafsu-nafsu duniawi. Ini disimbolkan dengan Angling Darma yang berhasil meruwat raksasa menjadi seorang yang suci kembali.

Lalu kenapa harus dihukum dibuang ke hutan? Bisa dibilang, pengembaraan dalam hutan, melambangkan pencarian dalam ketidakpastian seorang diri. Si terhukum harus mengatasi diri sendiri dari berbagai cobaan dan penderitaan sebelum mendapatkan kesucian batinnya kembali.

Setelah menguasai hal-hal itu, ia dianggap berhasil mengenyahkan nafsu angkara. Di sanalah kesatuan yang menjamin adanya keselamatan, kehidupan, keseimbangan, dan kesejahteraan bisa terjadi. Ini diwakilkan dengan simbol perkawinan antara Angling Darma dan Ambarwati.

Konteksnya dengan masa sekarang? Mungkin saat ini adalah fase di mana kita, dalam skala Indonesia sedang masuk ke "hutan". Ini fase pengembaraan mencari kepastian masa depan. Coba deh, ekonomi lagi nggak stabil, politik dalam negeri juga lagi edan-edanan dan tambah nggak tau malu "nelanjangin" kebobrokan dan keserakahan di depan kamera.

Saya nggak tahu berapa lama Angling Darma mengembara di hutan. Tapi ini terjadi selama 12 tahun untuk Pandawa usai mereka kalah berjudi dengan Kurawa. Lalu Indonesia? selama raksasa-raksasa belum menemukan jati dirinya yang hakiki sebagai manusia yang berakal dan berbudi, mungkin kita masih harus menunggu munculnya era keselamatan, keseimbangan, dan kesejahteraan itu.




Ket. foto:
Salah satu relief Angling Darma di Candi Jago, yang menggambaran adegan ayah Ambarwati berhasil di-ruwat menjadi wujud aslinya setelah terkena panah Angling Darma (Dok. pribadi).

Sunday, November 15, 2015

Cerpen: Tarik Napas, Jangan Lupa Bahagia



Ekspresi paginya tak pernah berubah. Mengerang, terkapar diperkosa Jakarta. Seperti biasa, dia membuka daun jendela keluar, membusungkan dada, dan menghirup udara. 

Bukannya ia tak tahu, atau lupa. Ia hafal betul aroma sampah campur karbon monoksida, bercampur debu dan aroma comberan itu. Tapi ia butuh setidaknya sepersen saja udara pagi jika tidak ingin kepalanya meledak.

Umurnya 25 tahun. Sudah hampir tujuh tahun belakangan ini kepalanya sedikit demi sedikit membesar. Bukan, sama sekali bukan hydrocephalus. Kata dokter yang pernah ia temui, ia butuh udara bersih dan... Bahagia?

Ia sendiri tak sadar apa ia bahagia selama ini. Ia tak pernah berpikir untuk meraih kebahagiaan, karena kadar susesnya terlalu sulit untuk ditakar. Pikirannya terlalu sederhana untuk bahagia.

Dan kisah kapan kepalanya membesar, ia tidak tahu kapan pastinya. Rasanya kepalanya sudah bertambah besar setelah ia dinyatakan berhasil masuk perguruan tinggi yang katanya paling tinggi harkatnya di Yogyakarta.

"Tarsono, kamu sakit?" kata ibunya suatu kali.

"Tidak. Kenapa?"

"Apa kepalamu memang sebesar itu?"

Ia hanya menjawab dengan memegang kepalanya sendiri. Pertanyaan ibunya membuatnya khawatir.

Nyatanya, kepalanya bertambah besar terus bertambah besar setiap akhir semester. Membesar lagi setiap menjelang ujian. Setiap membuka portal nilai, membesar. Setiap mau tak mau mengambil mata kuliah yang ia tak suka, kepalanya makin membesar. Bahkan semakin membesar hingga matanya hanya terlihat sebesar lubang kancing. 

Ia pun mulai semakin kesulitan memakai kaus-kaus lamanya. Terlebih ketika harus melewati pintu. Jika tak hati-hati pipinya bisa membentur kusen karena kepalanya yang terus membengkak.

"Nak, kamu mungkin harus ke Puskesmas," kata bapaknya, setelah berhari-hari hanya memberi tatapan aneh kepadanya tanpa bertanya. Ia juga tahu, semua teman-temannya dengan sopan menyimpan tawa di balik punggungnya ketika ia lewat.

"Dok, sepertinya ada yang salah dengan kepala saya. Bagaimana bisa ia tidak berhenti bertambah besar?" tanyanya kepada dokter di Puskesmas dekat rumahnya.

"Apa itu sakit?"

"Tidak."

"Lalu kenapa bisa seperti itu?"

"Mana saya tahu, Anda kan dokternya."

"Apa kepala Anda pernah terbentur dengan keras?"

"Tidak, dok. Hanya tahu-tahu membesar."

"Sudah lama begitu?"

"Saya tidak yakin. Sepertinya hampir empat tahun."

"Kenapa baru menemui saya?"

"Memang ini bahaya dok? Apa penyakit saya langka?"

"Sejujurnya saya belum pernah lihat yang seperti ini. Apa Anda yakin Anda tidak merasa pusing atau mual?"

"Tidak."

"Kalau begitu, apa Anda banyak pikiran selama ini?"

"Tentu saja, saya kan mahasiswa."

"Mungkin Anda terlalu banyak berpikir."

"Dokter yang bener dong! masa jawabannya mungkin. Cenayang juga bisa kalau cuma jawab begitu."

"Anda mungkin harus ke rumah sakit untuk memastikan."

Ia sebal. Tak dapat jawaban yang diinginkan, ia bergegas pergi dari ruangan serba putih itu. 

"Mesake yo, dok. Moso' sirahe iso gedhi ngono kui. hihihihi." 

"Hus! wong e krungu, sus." 

BLAM! ia banting pintu di belakangnya. Ia kapok bertanya soal kepalanya. Dengan kerutan di dahinya, ia pun berjalan pulang.

###

Ia semakin sering mengurung diri di kamar. Ia hanya keluar ketika sang ibu memanggil untuk sarapan, untuk makan siang, dan untuk makan malam. Itu pun langsung ia bawa pergi lagi ke kamar.
Ia memang sengaja tak ingin berada di tengah keluarganya saat ini. Ia menghindari pertanyaan itu. 

"Kapan lulus?"

"Nanti kalau sudah selesai skripsinya." 

"Sudah sampai mana skripsimu?"

BLAM!

Ia banting pintu kamarnya. Mulai saat itu, kamarnya akan menjadi tempat teraman hingga skripsinya selesai dibuat.  

"Kenapa dia?" Ia mendengar bapaknya bertanya kepada ibunya ketika ia bergegas membawa makanannya kembali ke dalam kamar. 

"Oh, dia sedang mengerjakan skripsinya." 

"Kapan terakhir kali ia keluar rumah?" 

"Tidak tahu. Biarkan saja. Ia ingin cepat selesai biar bisa dapat cumlaude."

"Tapi kepalanya bertambah besar."

"Yang penting tidak sakit."
 
Sebulan kemudian, ia dapat ucapan selamat dari teman-teman dan dosennya karena berhasil menjawab semua pertanyaan dosen penguji skripsinya. Nilainya A. Sempurna. 

Dua minggu kemudian, ia berada di antara ribuan mahasiswa yang akan diwisuda. Namanya dipanggil. Ia menjadi salah satu yang berselempang kuning di dadanya. Ibu dan bapaknya bangga. Raut mukanya jumawa. 

Tapi bukan penanda cumlaude itu lah yang membuatnya diperhatikan dengan seksama. Toganya nampak sangat kecil di atas kepalanya yang besar. Jauh lebih besar dari sebelumnya. Kepalanya saat itu sudah selebar ban serep mobil bapaknya. 

Ia tak peduli. Sudah biasa baginya. 

Ada hal lain yang lebih penting dari tatapan orang-orang itu. Apa yang akan ia lakukan setelah ia melepas toga ini? Apa yang akan terjadi padanya ketika slempang kuning keemasan itu tak lagi disandangnya? Tanpa ia sadari kepala itu membesar lagi beberapa senti.

###
 
Untunglah, ia tak harus berlama-lama mengurung diri di kamar demi menghindari pertanyaan-pertanyaan lain dari orang tuanya. Pertanyaan soal pekerjaan sudah selesai ia jawab. Ia merantau ke Jakarta. 

Ia heran, karena semenjak di kota itu ia tak lagi sesering dulu menjadi pusat perhatian akibat kepala besarnya. Setelah meninggalkan kota kelahirannya untuk pertama kali, rasanya ia semakin sering melihat orang berkepala besar di dalam bus kota, di tengah gorombolan orang-orang yang menyebrangi kemacetan lalu lintas, bahkan yang mengendarai sepeda motor! 

Rasanya aneh, di kota itu sudah ada helm khusus yang ukurannya bisa disesuaikan dengan kepala pemakai. Bahkan pintu-pintu di perkantoran, di Puskesmas, di Rumah Sakit, di hotel, juga di kos-kosan sudah disesuaikan dengan ukuran kepala terbesar penduduk di kota itu.

"Untuk berjaga-jaga." kata pemilik warteg di dekat kosnya.

"Sejak kapan kalian membuat pintu-pintu seperti ini?"

"Kau pasti orang baru. Siapapun yang datang ke Jakarta harus siap seperti ini. Apa di kotamu tidak?"

"Tentu saja tidak."

"Lalu apa hanya kepalamu yang besar di kotamu?"

"Mungkin."

"Kalau begitu pasti tidak ada yang tau kenapa kepalamu bisa besar?"

"Apa kau tau?

"Tidak. Kepalaku kan tidak besar."

"....."

"Oh, karena kau orang baru, info saja, petugas BPS juga akan datang dan terus memeriksa ukuran kepalamu secara rutin."

"Apa?"

###

Sungguh tak mudah baginya untuk pada akhirnya berhasil mendapat pekerjaan itu. Ia sekarang seorang financial advisor di sebuah perusahaan asuransi yang cukup ternama.

Sebelumnya segala macam pekerjaan pernah ia coba lakukan. Ia pernah jadi staf honorer di kantor pemerintahan, pernah mencoba jadi guru les di lembaga bimbingan belajar, pernah juga jadi editor lepas di sebuah penerbitan. Tapi ia tidak pernah merasa nyaman.

Dan bukannya pekerjaan yang sekarang ini nyaman untuknya. Ia hanya harus mencoba lebih lama. Ia harus punya kebanggaan untuk dibawa pulang ketika Lebaran nanti. Paling tidak sekarang perusahaannya punya nama. Meski itu artinya ia harus siap kepalanya terus membesar. Tak apa. Di kota ini bukan cuma dia yang berkepala besar.

"Nol lagi? Ini sudah minggu kedua dan belum juga ada closing?"

"Maaf bu, saya akan usahakan lagi."

"Saya pikir kepala besar berarti otak yang besar juga. Besok harus ada hasil. Tidak mau tahu bagaimana caranya. Pakai kepalamu."

Gontai. Ia selalu begitu ketika berjalan pulang ke kamar sewaannya yang sempit itu. Ah andai saja hidup hanya butuh udara untuk bernapas maka ini akan lebih mudah. Begitu selalu pikirnya. 

###

Setengah tahun ia bekerja di perusahaan asuransi itu. Ia semakin membuat takut dirinya sendiri ketika melongok ke kaca di kamar mandinya. Bayangan kepalanya semakin tak lengkap terpantul di kaca itu karena terlalu besar. Kini kepalanya sudah sebesar ban bus trans Jakarta dan matanya hanya tinggal sebesar  biji mentimun. Kupingnya juga sering berdengung ketika ia sedang berpikir.

"Apa Anda bahagia?" tanya dokter di Rumah Sakit Fatimah pada akhirnya.

"Apa hubungannya sih, dok? tanya-tanya saya bahagia apa tidak."

"Karena itu yang selalu saya tanyakan pada setiap pasien yang memiliki kepala seperti Anda."

"Memang saya sakit apa, dok?"

"Belum ada namanya. Kami menyebutnya dengan Sindrom Kepala Meledak."

"Meledak? kepala saya akan meledak, dok?"

"Tentu saja itu akan terjadi. Banyak yang sudah begitu."

"Apa ada obatnya dok?"

"Ada. Tapi akan sulit didapat."

"Saya akan coba bayar berapapun dok."

"Ini bukan soal uang. Anda butuh udara bersih setiap pagi jika tidak ingin kepala Anda meledak."

"Tapi ini Jakarta, dok. Saya tak akan bisa dapat udara yang Anda maksudkan di kota ini. Aduh, dok. Kepala saya berdengung lagi dok."

"Sabar pak, sabar. Anda harus bernapas dengan baik. Kepala Anda akan kembali ke ukuran semula jika Anda berhasil melakukan itu dengan baik.

"Apa saya harus pulang ke Jogja dok? Tapi saya sudah begini sebelum datang ke Jakarta."

"Itu kenapa tadi saya bilang ini bukan soal uang."

"Tidak ada cara lain, dok?"

"Ada. Apa Anda bahagia?" 

###

Di kamar kosnya, pagi itu ia merasa tak semangat kerja. Ia ingin minta libur. Libur panjang. Kalau bisa ia tak ingin kembali kemari. Ia ingin kembali ke kotanya. Pulang kepada orang tua dan adiknya. 

Tapi ia tak bisa pulang. Pertanyaan seputar pernikahan akan ia dapat segera setelah bokongnya menyentuh kursi di ruang makan rumahnya. 

Di ambang jendela, ia menghela napas. Udara di Jakarta semakin pekat. Bahkan udara juga berebut tempat dengan pendatang berupa asap rokok, asap knalpot, dan aroma limbah.

Kepalanya semakin berat. Di bekalang punggungnya ia mendengar siaran berita. Mayat dengan kepala yang pecah ditemukan di kawasan kumuh Jakarta Utara. Ah, andai hidup hanya butuh nyawa saja, tak perlu udara, tak perlu bahagia, pikirnya. 

Jakarta, 17 Oktober 2015