Pengalaman naik gunung malam hari yang tidak begitu menyenangkan membuat saya ketar ketir ketika ditantang lagi untuk mendaki Gunung Ijen malam-malam. Saya punya masalah dengan pernapasan saya. Bukan asma. Tapi anemia membuat angkutan oksigen di tubuh saya jadi terganggu.
Terlebih kalau malam hari. Kenyataan harus berebut oksigen dengan tanaman membuat napas saya semakin sesak. Itu yang saya rasakan ketika mendaki Papandayan beberapa bulan lalu.
Untungnya, itu tidak cukup untuk menghentikan saya. Mumpung ada yang mengajak. Mumpung juga ada teman yang mau jemput dan mengantar.
"Jogging lu ris, siapin fisik, dua kali lipat dari naik ke Curug Cibereum," kata teman saya, Eko ketika saya mengiyakan ajakannya.
Jadilah saya selama beberapa hari mendisiplinkan diri bangun lebih pagi. Rencananya sih selama dua pekan saya mau rutin keliling kompleks. Tapi.... ah dasar pemalas.
Bukan tanpa alasan kami memilih waktu malam hari untuk mendaki. Kami mengincar blue fire atau si api biru yang termasyur itu. Pun membayangkan menikmati matahari terbit di dekat Kawah Ijen rasanya sangat melankolis.
Tapi biar sudah membekali fisik dengan hasil jogging yang seadanya bukan berarti saya bisa berhenti ketar ketir kan? Badan saya sudah luar biasa terkoyak-koyak, karena sejak tiba di Surabaya pada pagi hari hingga malam hari tiba di Pos Paltuding, kami belum istirahat dengan layak. Terlebih sepanjang pagi sampai sore kami malah berhura-hura menjelajahi Taman Nasional Baluran.
Malam itu, kami tiba di Pos Paltuding sekitar pukul 23.00 WIB. Begitu keluar mobil, udara dingin langsung berebut menusuki badan. Buru-buru saya keluarkan jaket tebal saya dan membungkus tubuh dengan rapat. Tangan saya saya masukkan dalam sarung tangan agar tidak mati rasa karena dinginnya udara musim kemarau.
Syukurlah malam itu cerah. Terlihat dari bintang-bintang khas pegunungan yang berhambur seenaknya di langit.
"Katanya pendakian baru dibuka pukul 03.00 WIB," kata Mas Ardi, teman yang sekaligus menjadi pemandu wisata kami.
Saya agak kecewa. Karena itu berarti kesempatan kami untuk bisa melihat blue fire jadi sedikit. Katanya, fenomena ini cuma akan muncul sebelum matahari terbit. Itu berarti setidaknya kami harus mulai mendaki pukul 01.00 WIB. Padahal kata Mas Ardi, jarak pendakian sampai di kawah itu sekitar 3 Km. Kalau cepat, bisa cuma 1,5 jam sampai. Tapi kata dia, rata-rata orang mendaki santai bisa sampai 2-3 jam.
"Kita tidur dulu aja ya," ucapnya kemudian.
Si Eko sebenarnya sudah mempersiapkan diri dengan membawa tenda. Tapi rasanya agak ribet karena kami semua sudah sangat lelah. Akhirnya kami berenam berjubel-jubel meringkuk di dalam mobil. Ini mungkin pilihan yang bijak, karena tentunya mobil lebih hangat dibanding tidur dalam tenda. Haha.
Rasanya saat itu saya sudah lama tertidur. Udara dingin yang merembet masuk ke dalam mobil akhirnya membangunkan saya. Ternyata masih tengah malam. Ah lama sekali harus menunggu sampai pukul 03.00 WIB, pikir saya.
Usai membuat tubuh semakin rapat dengan jaket dan kian melipat paha saya ke dada, saya pun melanjutkan tidur. Tapi lagi-lagi saya terbangun karena tiba-tiba harus ke kamar mandi. Baiklah saya lupa bilang kalau itu hari Sabtu. Entah mungkin takdirnya hari Sabtu, bahkan di gunung pun begitu ramai. Mau ke kamar mandi pun harus mengantri.
Tidak begitu ingat itu sudah pukul berapa. Ketika saya kembali ke mobil beberapa teman saya masih tertidur. Saya rasanya sudah capek tidur. Ingin segera bergerak, karena saat itu sudah kelewat dingin.
Di luar, dekat pos pendaftaran sudah mulai ramai orang bergerombol. Banyak juga bule-bule yang ke Ijen waktu itu. Ah, saya mulai sebal. Heran, kenapa pendaftaran tidak dilakukan saat mobil masuk ke Kawasan Gunung Ijen sih? Kalau begini caranya nanti pasti antrian membludag.
Satu per satu teman-teman saya bangun. Kami pun mulai membekali diri. Senter, air minum, makanan kecil, bahkan kompor dan gas kecil juga kami bawa.
"Siapa tahu lu mau ngopi di atas," kata Eko.
Cukup bawa dua tas ransel yang dibawa Eko dan Rena. Masing-masing juga membawa botol minumnya sendiri-sendiri. Saya bawa botol air dan tas kamera.
Karena saya dan Eko yang paling dulu siap, kami pun menuju antrian untuk mendaftar. Meski tak harus mengantri lama, perkiraan saya sebelumnya tidak seratus persen salah. Eco yang merelakan diri masuk dalam antrian pun harus merasakan aksi dorong dan luapan emosi dari para calon pendaki.
"Lo sini aja ris, jaga-jaga kalau duit gue kurang," instruksinya kepada saya.
Ya itu tugas "berat" saya, berdiri di luar antrian sambil melihat teman saya terdorong ke sana kemari. hahaha. Tapi ternyata kami pun hanya harus membayar Rp 7.500 per orang.
Baiklah setelah pendafaran beres, ini dia saatnya mengetes fisik hasil jogging seadanya. Berdasarkan informasi, Gunung Ijen memiliki ketinggian 2.386 mdpl. Sejujurnya agak grogi juga saya malam itu. Teman-teman perjalanan saya alumni Mapala semua di kampusnya. Apalah saya dibandingkan mereka yang cuma punya bekal hobi jalan-jalan ini.
Bagitulah, saya akhirnya mulai menapaki jalur pendakian, yang waktu itu diselimuti debu tebal. Musim kemarau membuat jalur pendakian makin sulit didaki. Terlebih malam itu begitu ramai. Ujian saya bertambah karena debu-debu yang tebal itu juga berterbangan diinjaki para pendaki. Kalau tidak hati-hati ini bisa menambah sesak napas saya.
Untungnya saya bawa masker. Tapi ternyata masker justru membuat saya seperti dibekap.
"Pelan-pelan aja jalannya masih awal," seru Mas Ardi .
Dalam perjalanan itu, saya rasanya bisa membagi tipe jalur pendakian menjadi tiga bagian. Pertama kita akan langsung ditantang dengan kondisi yang agak menanjak. Kondisi akan semakin menanjak dan berkelok tajam pada jalur tipe kedua. Pada bagian ini, kalian akan semakin sering melihat orang berhenti, menepi, dan mengambil napas.
"Tuh lu bisa terus jalan, ris." kata Eko, yang tahu masalah pernapasan saya.
Iya, saya sendiri juga heran. Saya sama sekali tidak sesak napas. Bahkan pendakian saya bisa dibilang cukup lancar dan cepat.
Sebelum memasuki jalur pendakian tipe ketiga, kami lebih dulu singgah ke peristirahatan. Tempat ini biasanya dipakai penambang belerang untuk menimbang belerang mereka. Waktu itu langit masih gelap, jadi tempat penimbangan itu pun belum ramai.
Baru sebentar mengatur napas, suhu badan saya kembali turun. Hawa dingin mulai merembet.
"Yuk jalan lagi, udah mulai dingin nih," ajak mas Ardi.
Dia bilang, perjalanan kami tidak akan jauh lagi. Setelah pos istirahat ini jalur di depan juga sudah tidak seekstrim sebelumnya. Datar, datar, dan datar.
Sampai di sini, saya menengok jam di tangan. Jarum jam menunjuk hampir 04.30 WIB. Ah mulai saat itu, saya sudah mengurangi keinginan saya untuk bisa melihat blue fire. Di Jawa Timur matahari lebih cepat mengangkasa. Terutama, pemandangan yang saat itu sudah lebih terbuka membuat saya menyadari benih-benih fajar mulai nampak.
Kawah Ijen dan penambang belerang |
"Ini musim kemarau jadi semakin mempet kalau mau ngejar blue fire," kata bapak-bapak penambang belerang dengan logat Jawanya. Ia rupanya sempat mendengar keluhan saya tadi.
Tapi rasa kecewa saya terobati. Pemandangan di atas sana membuat saya lupa dengan blue fire. Angin begitu kencang, tetapi dngin tidak lagi terasa.
Di dekat kawah, saya sempat ngobrol sedikit dengan Pak Supardi, penambang belerang yang sedang beristirahat. Sepagi itu dia sudah sekali bolak-balik mengangkut belerang.
"Bapak biasanya dua kali bolak balik, dapatnya 60 kg, satu kilo dibayar Rp 1.000," tuturnya.
Saya melihat tubuhnya yang tak lagi tegap dan kulitnya yang keriput di sana sini. Pun membayangkan harus naik turun dengan rute sama seperti yang saya lalui tadi, ditambah pikulan bongkahan belerang puluhan kilo, rasanya saya memang tidak pantas mengeluh lelah. Tapi yakinlah, sebagai wisatawan, lelahnya mendaki akan terbayar jika sudah melihat pemandangan di atas Kawah Ijen.
Aktivitas subuh penambang belerang |
Ternyata memang begitu, beberapa kali saya bahkan mendengar mereka meneriaki turis-turis yang memfoto kegiatan mereka. Rupanya mereka hanya mau difoto asal ada uangnya.
Hak mereka juga. Lagipula saya setuju mereka butuh uang tambahan jika dari menambang rata-rata hanya bisa menghasilkan Rp 60.000 sehari. Tapi hak saya juga kalau saya bisa dapat foto-foto mereka diam-diam. Hahaha... (tiba-tiba merasa jahat)...
Ramainya turis dan penambang belerang yang hilir mudik tidak membuat tempat itu kehilangan daya pikatnya. Saya betah berlama-lama di sana. Bahkan akhirnya kami pun memutuskan untuk memanaskan air dan minum kopi di dekat kawah. Rasanya nikmat biar cuma kopi instan bungkus.
Keliihatannya Kawah Ijen, turis, dan belerangnya tak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat sekitar. Itu sumber kehidupan bagi bapak-bapak seperti Pak Supardi tadi. Beberapa kali dalam perjalanan pulang saya pun menjumpai penambang-penambang itu menjual cinderamata yang mereka buat dari belerang. Akhirnya saya justru merasa melankoli bukan dengan pemandangan menakjubkan dari Kawah Ijen. Di sini, di balik hingar bingar turis yang mendaki demi kepuasan, ada mereka yang harus mendaki susah payah demi menghidupi diri sendiri dan keluarnya.
Cinderamata dari Kawah Ijen |
Birunya langit Gunung Ijen |
Kereta kencana para pengais belerang |
Sambilan |
Bongkar muatan |
Menanti untuk diisi kembali |
Belerang dipecah sebelum diangkut kembali |
Berkawan dengan peluh |