Friday, November 27, 2015

Ketika Indonesia Harus Berkaca Pada Kisah Angling Darma






Zaman dahulu kala, hiduplah seorang raja bernama Angling Darma. Ia adalah raja keturunan ketujuh dari garis keturunan Arjuna, Putra Pandu dari epos Mahabarata.

Angling Darma memiliki kemampuan memahami bahasa binatang. Ilmu yang disebut sebagai Aji Gineng ini ia warisi dari sang Guru, Nagaraja. Sebagai syarat, ia harus merahasiakan ilmu barunya itu pada siapapun, termasuk pada istrinya, Setyawati.

Suatu hari, ketika sedang bersama Setyawati, Angling Darma tanpa sadar menertawai percakapan sepasang cosy (ini sebutan saya untuk hewan tukang nemplok di tembok pokonya). Setyawati pun tersinggung. Namun, Angling Darma tetap menolak berterus terang, karena terlanjur berjanji untuk merahasiakan ilmu Aji Gineng-nya itu.

Setyawati yang bertambah marah mengancam melakukan pati obong untuk mengembalikan harga dirinya. Dengan melakukan pati obong, Setyawati berarti memilih untuk menerjunkan diri dalam kobaran api. Mendengar itu, Angling Darma justru memilih untuk berjanji menemani Setyawati mati daripada harus membocorkan rahasia ilmunya.

Tapi kemudian, Angling Darma pun mendengar pembicaraan sepasang kambing. Dari pembicaraan itu, ia sadar, keputusannya sehidup semati dengan sang istri adalah keputusan egois. Keputusan itu akan merugikan rakyatnya.

Maka, ketika Setyawati terjun dalam api, Angling Darma tak ikut menyertainya. Artinya, ia telah melanggar sumpahnya sendiri untuk ikut mati bersama istrinya

Perbuatan ingkar janji ini membuatnya harus dibuang ke hutan. Untuk menebus dosa, ia harus meninggalkan segala miliknya, juga kedudukannya sebagai raja.

Sepenggal kisah itu diambil dari cerita Angling Darma (Aidharma). Siapa yang tidak kenal cerita ini ya? Bahkan untuk beberapa orang cerita ini dianggap benar-benar pernah terjadi.

Menurut kepercayaan yang ada, kisah ini merupakan tradisi Jawa asli. Di India, di mana dipercaya sebagai induk tradisi klasik di Nusantara itu, tidak pernah ditemukan kisah serupa.

Kapan pastinya kisah ini ditulis, saya tidak bisa jawab. Mungkin ahli manuskrip bisa menjawab ini. Cuma yang saya tahu, saya dan kalian akan bisa menemukannya di dinding Candi Jago. Candi ini bisa didatangi kalau kalian mampir ke Desa Tumpang, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Jawa Timur.

Berdasarkan sejarahnya, Candi Jago diduga merupakan tempat pendharmaan Raja Wisnuwardhana dari Kerjaan Singhasari. Kalau merujuk apa yang ditulis Bernet Kempers di bukunya, Ancient Indonesian Art, pentahbisan tempat suci ini diperkirakan terjadi pada tahun 1268 M.

"Atau dua belas tahun setelanya, yaitu setelah dilakukannya Upacara Sradha tahun 1280 M," tulis Kempers.

Oke, apa itu Upacara Sradha? Itu mungkin kalau zaman sekarang sama seperti apa yang kita sebut dengan nyadran. Sama-sama mengenang arwah leluhur atau pendahulu yang sudah meninggal.

Nah, selain kisah Angling Darma di Candi Jago ini, sampai sekarang sudah dikenal dengan banyak versi. Itu termasuk Angling Darma yang pernah tayang sebagai sinetron di salah satu stasiun tv swasta kita, dulu sekali. Ingat?

Cerita yang banyak dikenal saat ini jauh lebih panjang. Kesamaannya juga sedikit sekali dengan yang ada di Candi Jago. Sementara, cerita yang ada dalam relief pada dinding Candi Jago, katanya tidak ada kaitannya sama naskah manapun yang ada dari masa yang lebih tua.

"Intepretasi cerita Angling Darma ini telah dipercayai oleh masyarakat sekitar dan dibuat tulisan mengenainya oleh seorang juru pelihara Candi Jago,"  tulis Ann .R. Kinney dalam bukunya Worshiping Siva and Buddha: the temple art of East Java.

Di Candi Jago, kisah Angling Darma tadi berlanjut dengan menceritakan bagian adegan lain. Dalam panel selanjutnya, dimunculkan seorang resi yang nampak berselisih dengan putrinya, yang ditulis Kinney, bernama Ambarwati.

Ambarwati saat itu tengah bersiap pergi berdoa kepada Buddha Vairocana. Ayahnya, sang resi, berusaha menghalanginya, meski Ambarwati terus bersikukuh. Namun, akhirnya mereka berjalan berdua untuk menemui Sang Budha.

Karena perbuatannya menghalangi Ambarwati yang ingin berdoa, Oleh Vairocana sang resi pun dikutuk menjadi raksasa. Raksasa jelmaan resi itu tidak akan bisa kembali ke wujud semula kecuali ia dibunuh dengan panah.

Perjalanan mereka kemudian, mempertemukan Ambarwati dengan Angling Darma. Dalam pertemuan itu, Angling Darma yakin Ambarawati merupakan reinkarnasi dari istrinya terdahulu karena rupa mereka yang sama.

pertemuan Angling Darma dan Ambarwati
 Tidak kalah penting, dalam panel candi itu, muncul tokoh Punakawan, ya punakawan yang itu, manusia cebol bertubuh tambun. Punakawan di sini berjumlah dua. Keduanya menjadi pengikut Angling Darma. Adapun digambarkan pula satu punakawan yang merupakan teman seperjalanan Ambarwati. Punakawan pengikut Ambarwati ini, melihat nonanya didekati Angling Darma pergi melapor pada sang resi karena menganggap Ambarwati tengah didekati orang tak dikenal.

Sementara itu, seorang Brahmana yang melihat hal itu melaporkan apa yang terjadi kepada Vairocana. Vairocana pun segera memerintahkan Bramana tadi untuk melindungi Ambarwati dan Angling Darma dalam perjalanannya.

Seorang Brahmana utusan Vairocana datang untuk mengawasi Angling Darma dan Ambarwati
 Namun, sang Bramana tidak menyadari kedatangan raksasa yang marah karena mendengar laporan dari punakawan mengenai putrinya. Raksasa itu hendak menyerang Angling Darma, tapi tak berhasil. Angling Darma keburu menaklukkannya dengan panah yang justru membebaskan raksasa dari kutukan.

Resi itu berterimakasih kepada Angling Darma dan memberitahunya bahwa ia adalah ayah dari Ambarwati. Kemudian Sang Resi terbang bersama sang Brahamana menemui Vairocana yang telah memberikan restu kepada pernikahan Angling Darma dan Ambarwati.

 Angling Darma pulang kembali ke kerajaan bersama dengan Ambarwati
Jika dibandingkan, tahulah kita kesamaan versi kisah ini dengan yang dikenal sekarang hanya pada awal kisah sampai bagaimana Angling Darma dibuang ke hutan.

Kisah pertemuannya dengan seorang perempuan yang kemudian menjadi kekasihnya juga berbeda. Dalam relief mereka bertemu di hutan, sedangkan pada kisah yang dikenal pada umumnya, mereka bertemu di istana. Latar belakang si perempuan juga berbeda, dalam relief, perempuan itu adalah anak dari seorang resi yang dikutuk, sedangkan dalam versi lain ia adalah seorang putri raja.

Di versi yang banyak dikenal masyarakat, Angling Darma juga diceritakan terkena kutuk dua kali. Selain dibuang ke hutan, ia juga dikutuk menjadi seekor belibis, yang membuatnya bertemu dengan sang putri. Keberadaan tokoh Punakawan, dalam penceritaan naskah tertulis yang umum dikenal juga tidak ditemukan.

Berdasarkan penggambaran yang ada di Candi jago, poin dari kisah Angling Darma ini jelas soal perannya meruwat sang resi dari kutuknya menjadi raksasa. Namun, ini justru tidak ditemukan pada versinya yang lebih umum.

Dari sini, ada beberapa hal yang menurut saya menarik untuk diperhatikan. Mungkin ini semacam petuah dalam cerita. Bahwa, anugrah yang menjadi kelebihan Angling Darma, justru menjadi awalan dari penderitaannya, yaitu kehilangan istri dan kerajaannya. Angling Darma yang tidak mampu mengendalikan kemampuannya akhirnya membawa kemalangan terhadap dirinya sendiri.

Bukan cuma itu, kita bisa belajar, dalam konteks masyarakat lampau, putri dan istri permaisuri bagi seorang lelaki atau raja merupakan harta. Itu bisa dianalogikan sebagai salah satu aspek dari nafsu duniawi.

Dalam cerita, baik Angling Darma maupun sang resi tidak dapat menahan perasaan pribadinya pada dunia. Mereka kemudian dihukum dengan caranya masing-masing.

Angling Darma, ia dengan tergesa-gesa mengucap sumpah untuk ikut bela pati bersama permaisurinya untuk menunjukkan cintanya. Ini adalah tindakan yang salah sebagai seorang raja karena ia meninggalkan dharma-nya hanya demi cintanya pada istri.

Sementara sang resi, seharusnya mengajarkan kebenaran agama, malah menghalangi putrinya untuk pergi berdoa di hadapan Vairocana. Hal ini mungkin dikarenakan kekhawatirannya yang besar. Ia takut putrinya akan berhadapan pada bahaya jika pergi. Karena hal itu, oleh Vairocana ia dihukum menjadi raksasa.

Tapi, setelah semua kekacauan yang terjadi tadi, kisah ini lalu berakhir pada kondisi yang stabil kembali. Sang resi mendapatkan wujudnya yang suci dan diangkat ke surga. Adapun Angling Darma mendapatkan kembali kerajaan dan istrinya, karena Ambarwati dalam cerita digambarkan memiliki wujud yang sama dengan permaisurinya Setyawati. 

Keadaan yang kembali stabil dalam kisah Angling Darma versi Candi Jago ini didapatkan setelah tokoh utama dalam cerita berhasil mengeyahkan nafsu-nafsu duniawi. Ini disimbolkan dengan Angling Darma yang berhasil meruwat raksasa menjadi seorang yang suci kembali.

Lalu kenapa harus dihukum dibuang ke hutan? Bisa dibilang, pengembaraan dalam hutan, melambangkan pencarian dalam ketidakpastian seorang diri. Si terhukum harus mengatasi diri sendiri dari berbagai cobaan dan penderitaan sebelum mendapatkan kesucian batinnya kembali.

Setelah menguasai hal-hal itu, ia dianggap berhasil mengenyahkan nafsu angkara. Di sanalah kesatuan yang menjamin adanya keselamatan, kehidupan, keseimbangan, dan kesejahteraan bisa terjadi. Ini diwakilkan dengan simbol perkawinan antara Angling Darma dan Ambarwati.

Konteksnya dengan masa sekarang? Mungkin saat ini adalah fase di mana kita, dalam skala Indonesia sedang masuk ke "hutan". Ini fase pengembaraan mencari kepastian masa depan. Coba deh, ekonomi lagi nggak stabil, politik dalam negeri juga lagi edan-edanan dan tambah nggak tau malu "nelanjangin" kebobrokan dan keserakahan di depan kamera.

Saya nggak tahu berapa lama Angling Darma mengembara di hutan. Tapi ini terjadi selama 12 tahun untuk Pandawa usai mereka kalah berjudi dengan Kurawa. Lalu Indonesia? selama raksasa-raksasa belum menemukan jati dirinya yang hakiki sebagai manusia yang berakal dan berbudi, mungkin kita masih harus menunggu munculnya era keselamatan, keseimbangan, dan kesejahteraan itu.




Ket. foto:
Salah satu relief Angling Darma di Candi Jago, yang menggambaran adegan ayah Ambarwati berhasil di-ruwat menjadi wujud aslinya setelah terkena panah Angling Darma (Dok. pribadi).

No comments:

Post a Comment