Friday, November 27, 2015

Baluran: Berpetualang di Alam Liar Ala Afrika




Matahari seperti mau menguliti kami hidup-hidup saat itu juga. Ditambah lagi kami belum sempat mandi saat memasuki gerbang Baluran (abaikan!). Kami yang baru saja datang ke Surabaya dari Jakarta subuh tadi, langsung dibawa ke taman nasional yang ada di Banyuwangi itu.

Waktu itu belum begitu siang sebenarnya. Tapi di Jawa Timur matahari selalu lebih tergesa mengisi langit. Lagipula sebenarnya musim kemarau membuat kami tidak terlalu khawatir perjalanan kami diganggu hujan. Tapi kami harus menebus kenikmatan itu dengan terik dan pemandangan kering di sekeliling kami. Seakan satu sisa puntung rokok yang masih menyala dan jatuh bisa langsung menyulut dan membabat habis seluruh yang ada di sini.

Hari itu kami berenam di dalam mobil yang sengaja dilambatkan ketika memasuki kawasan hutan Baluran yang mengering. Anehnya, meski panas kami lebih memilih mematikan AC dan membuka jendela. Ini bukan pemandangan yang akan sering kami saksikan.

Terik
 Banyak yang bilang, Taman Nasional Baluran itu seperti miniatur Afrika di Jawa. Itu saya amini ketika akhirnya kami masuk ke kawasan Savana Bekol.

Untuk sampai ke situ, kami harus melalui jalanan bergelombang dan tentunya berdebu. Di sekeliling kami hutan-hutan terlihat memutih saking keringnya iklim di Bulan November tahun ini.

"Di sini biasanya banyak ayam hutan berkeliaran," kata Mas Ardi, si pemegang kendali mobil dan mungkin yang paling hafal tempat ini di antara kami semua. 

Kami pun seperti dapat aba-aba celingukan mencari si ayam hutan. Tapi nihil. Lagi-lagi kami cuma lihat debu dan panasnya matahari yang menyengat.

"Mungkin mereka juga lagi neduh. Nanti sore mungkin baru keluar," jelas Mas Ardi lagi. Sebagai teman yang baru saya kenal, beberapa kali ia memang jadi terkesan seperti pemandu wisata. haha.

"Eh itu!" saya tiba-tiba nyeletuk. Di antara dahan mengering itu, ada penghuni hitam, gagah, dan besar. Ternyata elang menjadi satwa penyambut pertama kami di Baluran.

"Coba lihat deh, itu di bawahnya ada selang air, dia sengaja nyari sumber air," lagi-lagi suara Mas Ardi menyahut dari balik kemudi.

Itu dia elangnya, titik kecil hitam di tengah pohon yang mengering
Agak panjang perjalanan kami untuk menyudahi pemandangan yang itu-itu saja. Sempat juga diselingi kawasan Evergreen. Kata Mas Ardi sih ini seharusnya hutan yang tidak pernah kering di musim apapun. Tapi, yang kami lihat waktu itu tidak sehijau biasanya.

"Sampai-sampai Evergreen aja berubah warna gini ya," ucapnya.

Sekitar 12 km dari gerbang utama untuk sampai ke Bekol. Perlahan kami pun mendapati jalan sempit yang dikelilingi hutan meranggas, mulai membuka. Kali ini sekawanan kera abu-abu ekor panjang yang menyambut kami. Hawa panas rupanya tidak menyurutkan kelincahan mereka.

Bekol, merupakan padang savana terbesar di wilayah itu. Saat itu savana menambah teriknya matahari dengan pemandangannya yang hanya didominasi coklat keemasan. Beberapa tanahnya retak dan rumputnya sedikit memutih di sana-sini tertutup debu.

Hujan memang sudah terlalu lama dinantikan. Tumbuhan widoro bukol, mimba, dan pilang saat itu pun hanya berdiri ringkih tanpa rimbunan yang bisa menjadi tempat berteduh satwa.

Savana Bekol

Kawanan kera lebih banyak kami temukan di sekitar tempat pemberhentian pengunjung Savana Bekol. Mobil kami harus jalan perlahan, karena kemeriahan kera itu menghambat lajunya. Saya celingukan, berharap ada satwa besar yang bisa ditangkap mata. Sayangnya tidak terlihat.

Kami pun memutuskan untuk langsung menuju ke Pantai Bama yang letaknya 3 km dari Bekol. "Mungkin agak sore muncul hewan-hewan lainya," kata Eko, yang sejak awal sibuk dengan kameranya.

Tapi kami beruntung. Dalam perjalanan menuju Pantai Bama, sedikit jauh dari jalur mobil, mata kami menangkap sekawanan rusa sedang berteduh. Saya dan Eko langsung melompat turun siap dengan kamera. Sayangnya, mereka yang menyadari keberadaan kami tiba-tiba waspada dan berdiri. Saya sedikit merasa bersalah mengganggu mereka, karena begitu kami mendekat mereka langsung berjalan pergi.

Kawanan rusa yang berteduh
Di Bama, lagi-lagi beberapa kera sudah menanti kami. Sebagaimana di kawasan wisata lain, di situ mereka tidak canggung meski cukup banyak pengunjung yang datang.

Pantai Bama adalah pantai pasir putih yang dikelilingi hutan bakau dengan ombak yang tenang. Di balik keringnya savana tadi, Bama seperti dunia lain yang tersembunyi.
 
Pantai Bama dan ombaknya yang luar biasa tenang
 Kami yang sedikit tak betah berdiam lama-lama di pantai pun memutuskan untuk kembali. Kali ini, pemandangan dalam perjalanan kembali menuju Bekol, menjadi lebih hidup. Tidak seterik waktu kami datang, Bekol juga menjadi lebih ramai. Di hadapan kami Gunung Baluran tegap berdiri di tengah langit yang biru cerah. Di kejauhan kami pun melihat kawanan rusa yang beramai-ramai menyebrangi jalur mobil.

"Co! itu merak!" seru saya kepada Eko, yang sejak melihat satwa di kejauhan kembali melompat dari mobil dan siap berlari-lari dengan kamera. Serasa seperti mendapat bonus bisa melihat merak hijau dengan liar berlari melintas di kejauhan. Sayangnya terlalu jauh dan terlalu cepat untuk kami kejar dengan kamera.
Berkubang
Tidak terasa juga, rupanya kami cukup lama menghabiskan waktu di Bekol. Sudah sore, dan badan saya mulai terasa sulit diajak bergerak lebih. Padahal masih banyak tempat di Taman Nasional Baluran yang tidak sempat saya jelajahi. Kami juga akhirnya tidak berhasil melihat banteng liar yang katanya menjadi maskot dari taman nasional ini.

Tapi yang pasti perjalanan ke Baluran ini membawa kesan tersendiri. Wisata alam toh tak harus gunung dan laut saja kan? Dan sepertinya sore hari memang menjadi waktu bagi ayam hutan menampakan diri. Akhirnya mereka pula yang mengantarkan kepulangan kami dengan berhilir mudik dekat jalur mobil. Dari sini saya jadi tertantang untuk mengunjungi taman nasional lainnya....


Kembali pulang...

Beberapa jepretan yang sayang dilewatkan....

Gunung Baluran

Sejauh mata memandang

Berkenalan

No comments:

Post a Comment