Sekitar 13 abad yang lalu, sekelompok masyarakat meninggali kawasan gersang di sebuah desa di Pulau Jawa. Tanah mereka dikelilingi perbukitan karst. Pada musim kemarau angin menjadi lebih kering daripada biasanya sekaligus menerbangkan debu yang membuat mata pedih.
Demi kehidupan yang gemah ripah loh jinawi, mereka pun mengorbankan harta bendanya demi membangun pemujaan untuk dewa dan dewi. Mereka ingin memohon kepada langit agar mau memberkahi tanah mereka.
Itu yang ada dalam bayangan saya ketika melihat satu kompleks candi di sebuah dusun yang kini dinamai Cepit, di kawasan Prambanan, Yogyakarta. Dinamai Banyunibo atau “air yang jatuh”, mungkin karena bentuk atap stupanya yang seperti tetesan air. Tapi mungkin juga memang sejak dulu, Candi Banyunibo diharapkan menjadi setetes air di tanah yang gersang.
Kini candi itu lebih sering tersembunyi di balik kebun tebu yang rapat. Terutama ketika tebu itu sudah lebih tinggi dari kepala manusia. Ujung stupa di atapnya pun hanya akan terlihat jika kita mendekat.
Mungkin juga, itu tandanya para dewata telah mengabulkan doa masyarakat Cepit pada masa lalu. Gersangnya perbukitan karst tidak begitu terasa. Saya justru lebih merasa damai dan sejuk, karena kini candi itu dikelilingi areal persawahan yang luas.
Dengan pemandangan begitu, banyak orang melihatnya seperti sebatang kara.Tapi sebenarnya candi itu tidak sendiri seperti kelihatannya. Dulunya ia terdiri dari sebuah candi induk yang di kelilingi oleh enam candi perwara berbentuk stupa, yang berderet di sisi selatan dan timur. Sayangnya keenam pengiringnya saat ini sudah berubah menjadi reruntuhan.
Soal imaji saya tadi juga bukannya tanpa alasan. Di candi ini, Hariti dipilih menjadi dewi tempat masyarakat kala itu menggantungkan permohonannya. Memasuki lorong pintu masuk di sebelah barat, setelah menaiki tangga, pada dinding sebelah kanan, kita akan menjumpai relief seorang wanita yang duduk memperlihatkan kelaminnya. Ia digambarkan sedang dikerumuni anak kecil. Di seberangnya, yaitu dinding sebelah kiri, ada seorang laki-laki dalam relief sedang dalam posisi duduk di sebelah guci yang berukuran cukup besar.
Dalam Agama Budha, Hariti dikenal sebagai Dewi Kesuburan. Sementara yang laki-laki adalah suaminya, Vaisravana. Ia adalah Dewa Kekayaan.
Bukan cuma di situ, sosok Hariti juga disematkan pada dinding dalam di atas ambang pintu. Ia sedang duduk bersila diapit oleh dua ekor burung merak, dan juga terlihat sedang dikerumuni anak kecil.
![]() |
Dewi Hariti |
Adapula perlambang yang diwujudkan pada dinding bagian luar candi. Sepasang makhluk kayangan bernama Kinara-Kinari dipahatkan bersama dengan Pohon Kalpataru.
Kinara-Kinari selalu digambarkan separuh burung dan separuh manusia. Beberapa kepercayaan kuno, jauh lebih kuno dari candi ini, meyakini burung adalah perwakilan dunia atas, sedangkan manusia adalah perwakilan dunia bawah. Mungkin pada masa candi ini berdiri, konsep itu juga yang hendak diwujudkan dalam bentuk Kinara-Kinari. Kedua dunia itu dikawinkan, dengan harapan kesatuan dua dunia dapat mendatangkan keharmonisan alam agar tetap gemah ripah.
![]() |
Kinara-Kinari dan Pohon Kalpataru |
Sekarang, candi ini hanya serupa monumen batu. Tidak banyak yang mengunjungi, tidak seperi Situs Ratu Boko atau Candi Prambanan. Tapi karena itu Banyunibo menjadi salah satu yang saya suka. Kalau duduk di tangga masuknya, merasakan sunyinya, dan anginnya yang sejuk, kemagisan candi itu masih sangat terasa.
Sayang, sekarang saking sepinya candi ini, jadi sering dipakai sebagai tempat rujukan pasangan tanggung untuk saling gelendot dan entah apa lagi. Beberapa juga ada yang jahil, karena di sana-sini saya bisa menemukan jejak eksistensi mereka lewat cat semprot warna-warni. Ah.... semoga dewa dewi tidak marah tempatnya dicemari begitu. Semoga Dusun Cepit tetap subur dan magis...
No comments:
Post a Comment