Monday, October 10, 2016

Tenang!! Jalan Hidup Perempuan Sudah Ditentukan Sejak Kelaminnya Terlihat




Suatu sore saya menyadari, rupanya saya bisa mengendarai motor tanpa tersesat dengan tidak benar-benar fokus mengendalikan kemudi. Padahal sebagian besar otak saya hanya melamun memikirkan film mana yang akan saya tonton malam nanti, tapi saya masih bisa sampai kos tanpa salah memilih jalan. Seolah tangan saya tau ke mana membelokan motor tanpa diperintah si otak.

Rutinitas pulang-pergi, membuat tubuh saya hafal dengan jalur perjalanan yang akan saya tempuh. Hal yang sama terjadi pada hidup saya beberapa tahun terakhir. Rasanya saya mulai disusupi patokan hidup mainstream dengan urutan sekolah, kuliah, kerja, lalu menikah, punya anak, cucu, dan mati. Jika benar-benar dipikirkan, saya hanya bisa menjawab film apa yang akan saya tonton malam nanti. Sejauh itu lah perencanaan saya. Bagaimana kehidupan saya selanjutnya setelah dari sini? Ya sudah lah jalani saja.

Tapi banyak orang bilang, saya memang suka mempersulit sesuatu yang sebenarnya mudah. Katanya, saya selalu suka terlalu banyak berpikir, karena menurut mereka jalan hidup saya mudah. Beberapa dari mereka sering kali sudah membantu saya dengan statement seperti ini: "yaelah ris ngapain sekolah tinggi-tinggi, cewe ujung-ujungnya di dapur". Orang-orang itu memang lebih tau masa depan saya dibanding diri saya sendiri. Terimakasih.

Dengan saran itu, pilihan hidup saya sudah ditentukan tanpa benar-benar dipikirkan. Oh mungkin malah sudah ditentukan sejak dokter yang membantu persalinan ibu saya berkata: "Selamat bu, anak ibu perempuan."

Kalau memang begitu sih memang jadi mudah ya. Saya tak lagi harus ribet mengumpulkan uang, tidak perlu ribet hidup jauh dari orang tua, tidak usah ribet mikirin soal investasi, tabungan, bla bla bla, buat apa toh saya nanti hanya akan berkutat di dapur. Enteng banget memang jadi perempuan. Cuma di dapur.

Hahaha. Nada mendiskreditkan soal dapur memperlihatkan banyak orang tidak benar-benar menyadari apa saja yang terjadi di dapur. Mereka tidak sadar semua benda di dapur itu bisa jadi senjata. Kapanpun kamu bisa berdarah, kena luka bakar, atau mati berkeping-keping karena tidak tau cara pasang klep gas tabung. Dan semua itu butuh otak untuk bisa menghindar dari bahaya.

Hidup sebagai anak kos juga membuat semakin sadar, tiap pagi otak selalu bekerja dengan pertanyaan: mau makan apa hari ini? Dan saya yakin kebingungan ini juga yang pasti dirasakan ibu-ibu di rumah yang kerjanya CUMA DI DAPUR. Bekerja dengan otak, harus hati-hati menyiapkan makanan enak untuk suami dan anak-anaknya yang hanya mampu protes "kok cuma ini doang makannya", "kok kurang asin?", "kok masak ini lagi? Bosen!". Otak terus berputar, untuk menyiapkan makanan berbeda sekaligus spesial yang cocok dengan lidah suami dan anaknya agar mereka semua bisa betah terus-terusan makan di rumah.

Kemudian ketika ada yang memilih untuk kembali kuliah setelah kuliah s1 nya rampung, omongan itu kembali muncul. Katanya: "tuh makanya perempuan nggak usah tinggi-tinggi sekolahnya ris, entar susah dapet suami, cewe nggak bisa kalau di atas laki-laki, pasti gengsinya kena yang cowonya". Sering denger juga dong pasti omongan macem begini, yekan?

Lalu malangnya konsekuensi dari ucapan itu adalah, kami perempuan takut mengejar karier sesuai cita-cita. Kami takut gaji suami kalah besar dengan gaji kami. Kenapa? karena kami lebih takut perceraian dibanding tidak mendapatkan cita-cita kami.

Oke lah, baik tidak usah bekerja. Tapi kami mau kuliah lagi dong… Beberapa dari kami nyatanya tidak boleh melanjutkan kuliah yang lebih tinggi karena suami tidak memilih melanjutkan s2. Dan itu semua salah, kami, perempuan, kalau si suami tidak mau bekerja lebih keras untuk dapat gaji lebih atau berminat melanjutkan sekolah yang lebih tinggi. Jadi kata siapa perempuan selalu benar? Haha. Seolah perempuan harus menjaga diri agar “status”-nya tidak melangkahi suami. Itu demi gengsi suami.

Apa sih risa? Penis envy? Nggak kok. Tenanggg.... Saya hanya lelah dengan semakin seringnya saya menangkap omongan semacam ini di sekeliling saya. Terutama dengan keberadaan teman laki-laki yang lebih banyak dalam pekerjaan saya sekarang.

Saya bukan sirik. Saya justru kasian. Mungkin mereka memang tidak mau menerima perubahan di sekelilingnya atau mungkin tidak siap. Saya rasa bukan hal aneh lagi untuk menerima kenyataan kalau perempuan pun punya pilihan hidup yang beragam. Dan kalaupun itu ingin menjadi ibu sepenuhnya, memasak untuk suami dan anaknya, bukan berarti mereka tidak usah pintar. Laki-laki pun saya tau, pasti lebih suka dengan perempuan yang cerdas dibanding yang tidak tau harus berbuat apa-apa terhadap hidupnya.

Ah, mungkin memang pembagian kerja berdasarkan gender itu lebih mudah diatur. Hal semacam ini tidak akan butuh kompromi lebih lama, antara sepasang suami istri, atau pasangan yang akan menikah. Ya karena memang sudah terbiasa melihat yang begitu. Tapi toh jika nanti saya memutuskan untuk tidak lagi bekerja dan fokus menimang anak dan menghadapi bahaya dapur, itu karena pilihan saya. Bukan karena stereotipe yang menulis jalan hidup saya. 

*gambar dari sini