Suatu
sore saya menyadari, rupanya saya bisa mengendarai motor tanpa tersesat dengan tidak
benar-benar fokus mengendalikan kemudi. Padahal sebagian besar otak saya hanya melamun
memikirkan film mana yang akan saya tonton malam nanti, tapi saya masih bisa sampai
kos tanpa salah memilih jalan. Seolah tangan saya tau ke mana membelokan motor tanpa diperintah si otak.
Rutinitas
pulang-pergi, membuat tubuh saya hafal dengan jalur perjalanan yang akan saya
tempuh. Hal yang sama terjadi pada hidup saya beberapa tahun terakhir. Rasanya
saya mulai disusupi patokan hidup mainstream dengan urutan sekolah, kuliah,
kerja, lalu menikah, punya anak, cucu, dan mati. Jika benar-benar dipikirkan,
saya hanya bisa menjawab film apa yang akan saya tonton malam nanti. Sejauh itu
lah perencanaan saya. Bagaimana kehidupan saya selanjutnya setelah dari sini? Ya
sudah lah jalani saja.
Tapi
banyak orang bilang, saya memang suka mempersulit sesuatu yang sebenarnya
mudah. Katanya, saya selalu suka terlalu banyak berpikir, karena menurut mereka jalan hidup saya mudah. Beberapa dari
mereka sering kali sudah membantu saya dengan statement seperti ini: "yaelah ris ngapain sekolah tinggi-tinggi,
cewe ujung-ujungnya di dapur". Orang-orang itu memang lebih tau masa depan
saya dibanding diri saya sendiri. Terimakasih.
Dengan
saran itu, pilihan hidup saya sudah ditentukan tanpa benar-benar dipikirkan. Oh mungkin malah sudah ditentukan sejak dokter yang membantu persalinan ibu saya berkata: "Selamat bu, anak ibu perempuan.".
Kalau memang begitu sih memang jadi mudah ya. Saya tak lagi harus ribet mengumpulkan uang, tidak
perlu ribet hidup jauh dari orang tua, tidak usah ribet mikirin soal investasi,
tabungan, bla bla bla, buat apa toh saya nanti hanya akan berkutat di dapur.
Enteng banget memang jadi perempuan. Cuma di dapur.
Hahaha. Nada mendiskreditkan soal dapur memperlihatkan banyak orang tidak
benar-benar menyadari apa saja yang terjadi di dapur. Mereka tidak sadar semua benda di dapur itu bisa
jadi senjata. Kapanpun kamu bisa berdarah, kena luka bakar, atau mati
berkeping-keping karena tidak tau cara pasang klep gas tabung. Dan semua itu
butuh otak untuk bisa menghindar dari bahaya.
Hidup
sebagai anak kos juga membuat semakin sadar, tiap pagi otak selalu bekerja
dengan pertanyaan: mau makan apa hari ini? Dan saya yakin kebingungan ini juga
yang pasti dirasakan ibu-ibu di rumah yang kerjanya CUMA DI DAPUR. Bekerja
dengan otak, harus hati-hati menyiapkan makanan enak untuk suami dan
anak-anaknya yang hanya mampu protes "kok cuma ini doang makannya",
"kok kurang asin?", "kok masak ini lagi? Bosen!". Otak
terus berputar, untuk menyiapkan makanan berbeda sekaligus spesial yang cocok
dengan lidah suami dan anaknya agar mereka semua bisa betah terus-terusan makan
di rumah.
Kemudian
ketika ada yang memilih untuk kembali kuliah setelah kuliah s1 nya rampung,
omongan itu kembali muncul. Katanya: "tuh makanya perempuan nggak usah tinggi-tinggi sekolahnya ris, entar
susah dapet suami, cewe nggak bisa kalau di atas laki-laki, pasti gengsinya
kena yang cowonya". Sering denger juga dong pasti omongan macem
begini, yekan?
Lalu malangnya konsekuensi dari ucapan itu adalah, kami perempuan takut mengejar karier sesuai
cita-cita. Kami takut gaji suami kalah besar dengan gaji kami. Kenapa? karena kami lebih
takut perceraian dibanding tidak mendapatkan cita-cita kami.
Oke
lah, baik tidak usah bekerja. Tapi kami mau kuliah lagi dong… Beberapa dari kami nyatanya
tidak boleh melanjutkan kuliah yang lebih tinggi karena suami tidak memilih
melanjutkan s2. Dan itu semua salah, kami, perempuan, kalau si suami tidak mau
bekerja lebih keras untuk dapat gaji lebih atau berminat melanjutkan sekolah yang lebih tinggi.
Jadi kata siapa perempuan selalu benar? Haha. Seolah perempuan harus menjaga diri agar “status”-nya tidak melangkahi suami. Itu demi gengsi suami.
Apa
sih risa? Penis envy? Nggak kok. Tenanggg....
Saya hanya lelah dengan semakin seringnya saya menangkap omongan semacam ini di
sekeliling saya. Terutama dengan keberadaan teman laki-laki yang lebih banyak
dalam pekerjaan saya sekarang.
Saya
bukan sirik. Saya justru kasian. Mungkin mereka memang tidak mau menerima perubahan
di sekelilingnya atau mungkin tidak siap. Saya rasa bukan hal aneh lagi untuk
menerima kenyataan kalau perempuan pun punya pilihan hidup yang beragam. Dan
kalaupun itu ingin menjadi ibu sepenuhnya, memasak untuk suami dan anaknya,
bukan berarti mereka tidak usah pintar. Laki-laki pun saya tau, pasti lebih
suka dengan perempuan yang cerdas dibanding yang tidak tau harus berbuat
apa-apa terhadap hidupnya.
Ah,
mungkin memang pembagian kerja berdasarkan gender itu lebih mudah diatur. Hal
semacam ini tidak akan butuh kompromi lebih lama, antara sepasang suami istri,
atau pasangan yang akan menikah. Ya karena memang sudah terbiasa melihat yang
begitu. Tapi
toh jika nanti saya memutuskan untuk tidak lagi bekerja dan fokus menimang anak
dan menghadapi bahaya dapur, itu karena pilihan saya. Bukan karena stereotipe
yang menulis jalan hidup saya.
*gambar dari sini