Tuesday, November 22, 2016

The Lobster: Dagelan Satir Untuk Para Jomblo





Ketakutan untuk hidup sendiri dan mati dalam kondisi kesepian rasanya jadi alasan terkuat untuk “menikah”. Rasa takut ini yang kemudian diterjemahkan dengan brutal oleh Yorgos Lanthimos. Filmnya yang berjudul The Lobster (2015) itu memberikan kesan, naluri mencari pasangan hewan rupanya dinilai lebih “pintar” dibanding otak manusia yang terlalu banyak pertimbangan.

Secara absurd, The Lobster dibuka dengan adegan seorang perempuan tiba-tiba menembak salah satu dari tiga ekor keledai. Tak ada alasan maupun penjelasan untuk adegan ini. Malah, adegan langsung bergulir menampakkan seorang laki-laki yang akan dibawa pergi dari rumahnya oleh beberapa orang. Si tokoh utama, David (Colin Farrell), yang cupu dan buncit tinggal melajang setelah istrinya lari dengan pria lain. Ia tinggal bersama seekor anjing, yang ia panggil “ kakak”.

Lanthimos rasanya begitu berikhtiar untuk menciptakan dunia yang merupakan mimpi buruk bagi para jomblo. Dunia dalam the Lobster melarang orang dewasa untuk hidup tanpa pasangan. Para single, baik yang sengaja tak mau berpasangan, yang sudah pernah berpasangan, ataupun yang sama sekali belum pernah punya pasangan akan dibawa ke sebuah hotel yang terlihat seperti panti rehabilitasi.

Di hotel itu, mereka diberi waktu 45 hari untuk mencari pasangan. Harus sesama penghuni hotel. Kalau gagal, mereka akan dimasukkan ke sebuah ruangan yang bakal mengubah mereka jadi binatang. Lalu mereka dilepaskan ke hutan dan akan bernasib sesuai hukum alam.

Para jomblo penghuni hotel ini berkesempatan memperpanjang kesempatan hidupnya sebagai manusia dengan cara memburu para jomblo (loner) yang hidup di hutan. Satu loner dihargai satu hari.

Setiap orang yang masuk hotel, juga boleh memilih binatang yang mereka mau. David, ketika ditanya pilihannya, menyebut lobster. Alasannya, selain ia memang menyukai laut, hewan ini ningrat dan berumur panjang.

Film ini memang menyuguhkan ide surreal yang sebenarnya tidak belibet. Sekali nonton kamu akan langsung kena sindir oleh ide ceritanya (itu saya!). Sindiran keras, terutama ketika film ini menjabarkan alasan-alasan mekanis kenapa seseorang harus hidup berpasangan. Bagaimana bedanya jika kamu memilih melajang seumur hidup. Lalu juga bagaimana manusia selalu harus punya alasan eksplisit untuk memilih pasangan hidup. Sindiran ini diwarnai unsur komedi gelap yang mampu membuat saya senyum-senyum semabari mendengus di beberapa adegan. 

Secara harfiah, Lanthimos “menakut-nakuti” penghuni dunia ciptaannya itu dengan memberikan hanya dua pilihan: pertama, kamu harus menikah dengan pilihan jodoh yang sulit atau kamu bisa dapat yang sesuai tipemu tapi kamu dilarang menikahinya.

Entah kenapa, realita yang disuguhkan oleh dunia mungil dalam hotel itu membuat berpikir kalau semakin dicari kecocokan yang ideal itu tidak ada. Itu diwujudkan dengan aturan dalam hotel yang mengharuskan pasangan harus memiliki paling tidak satu kesamaan untuk disebut cocok. Keragaman pun dijabarkan secara eksplisit dengan menampilkan tokoh-tokoh seperti si pincang (Ben Whishaw) dan si gagap (John C. Reilly). Ya, sekali lagi manusia harus memilih dari pilihan yang tidak pernah sempurna.


Di sisi lain, film ini mempertontonkan betapa keterpaksaan untuk memilih seseorang menjadi pasangan hidup membawa penderitaan berkepanjangan. Persoalan ini akan semakin kejam di akhir film. Jadi, selamat menonton!

poster: sini