Monday, February 29, 2016

Cilakanya Ngehe!




"Mah beliin iPhone sih..." rengek anak ibu kos saya yang langsung ditolak mentah-mentah sama si mamah.

"Ah elah cuma berapa juta juga!" protes si anak.

Sebagai informasi, anak ibu kos yang lagi merengek-rengek itu baru SMP. Saya nggak tau dia kelas berapa. Yang jelas dia minta iPhone buat menunjang gayanya di depan teman-teman sekolah. Itu dia bilang sendiri. Saya nggak bohong.

"Anak sekolah itu yang penting belajar!" teriak ibu kos.

"Ah kan biar semangat mah kalau nanti nilai bagus beliin iPhone," jawab anaknya.

Saya nggak heran sih. Di mana-mana sekarang orang punya iPhone. Dari anak belom gede semacem anak ibu kos saya sampai yang udah punya uang sendiri. Bagi yang lemah iman mungkin bakal sedih lihat HP-nya bukan iPhone dan merasa sangat, sangat jadul.

Kemudian ada kasus lainnya, belum lama ini temen saya nyinyir di grup chat. Dia menertawakan teman saya yang beli Macbook. Katanya, dia heran buat apa teman saya beli Macbook padahal kerjanya cuma bikin tugas kuliah S2-nya.

Tapi kalau diingat-ingat teman saya ini memang suka jadi bahan nyinyir orang-orang. Alasannya, mungkin karena dia selalu tepat waktu ngikutin mode. Waktu orang rame-rame ngomongin fixie, besoknya dia udah bawa sepeda fixie barunya ke kampus. Dan itu cuma bertahan nggak sampe seminggu, yang akhirnya dia dianter jemput lagi sama pacarnya.

Bukan cuma itu, dia jadi bahan nyinyiran lagi waktu tiba-tiba bawa-bawa kamera DSLR ke acara kuliah lapangan. Sebenarnya bukan masalah, tapi dosanya dia -di mata teman-teman lainnya- beli di saat kamera DSLR tiba-tiba jadi kalung trendi yang dipake sama banyak anak muda. Kamera ini juga nggak begitu lama dia sayang-sayang.

Ada orang bilang, munculnya orang-orang semacam itu adalah tanda-tanda meningkatnya jumlah kelas menengah di Indonesia. Mereka ini adalah orang yang gaya hidupnya tau-tau meningkat.

Dan memang, di Indonesia, jumlah penduduk kelas menengah ini terus bertambah setiap tahun. Data dari Bank Dunia Juni 2011 menunjukkan kelas menengah di Indoensia tumbuh 7juta jiwa setiap tahunnya. Selama 11 tahun, sejak 1999-2010, kelompok itu tumbuh menjadi tiga kali lipat, yaitu dari 45juta jiwa atau 25 persen dari jumlah penduduk Indonesia menjadi 134juta jiwa.

Tahun kemarin, penduduk yang tergolong kelas menengah itu sudah mencapai 170juta jiwa. Itu sama dengan 70 persen dari total seluruh penduduk di Indonesia! Soal kelas menengah, ada yang menjelaskan kelompok ini adalah mereka yang memiliki kekuatan expenditure (pengeluaran) per hari antara 2 dolar AS hingga 20 dolar AS.

Mari lupakan sejenak contoh-contoh kasus yang agak gimana tadi. Kelas menengah meningkat itu juga bukan salah siapa-siapa dan tidak perlu nyinyir. Di Indonesia, kita punya bonus demografi dan ledakan demografi kelas pekerja yang dahsyat. Jadi wajar.

Lagi pula sebenarnya, keberadaan penduduk kelas menengah di suatu negara itu bisa mendukung pertumbuhan ekonomi di masa depan. Gimana tidak? Jumlah kelas menengah yang meningkat ini nantinya akan menambah tingkat konsumsi. Permintaan konsumen yang meningkat, artinya ada keharusan untuk memenuhi permintaan yang meningkat itu kan? Akhirnya dengan ini lapangan kerja pun semakin terbuka lebih banyak lagi.

Lebih jauh, naiknya status ekonomi masyarakat ini tentunya diikuti peningkatan standar hidup. Akhirnya harapan pembangunan pendidikan dan kesehatan yang lebih baik bisa lebih terjamin... (semoga).

Masalahnya kelas menengah ini kemudian sering diberi embel-embel ngehe. "Kelas menengah ngehe, istilah ini sudah layak jadi istilah akademis," kata Pengamat Perkotaan, Marco Kusumawijaya sewaktu mengisi acara diskusi yang berjudul 'Apa Kampung, Apa Kota', di Bentara Budaya Jakarta beberapa waktu yang lalu.

Kenapa Marco bilang begitu, ia sebelumnya menyoroti nasib-nasib kota besar yang akhirnya jadi kebanjiran pendatang. Kota-kota besar, khususnya Jakarta menjadi sasaran grudukan masyarakat kelas menengah.

Apa efeknya? kebutuhan pemukiman, tempat-tempat komersil lainnya pun meningkat. Liat kan? semakin banyak iklan-iklan properti komersial berseliweran. Di sisi lain, kegelisahan sekarang juga makin dirasakan warga yang tinggal di kampung-kampung. Ancaman digusur makin memuncak. Pembangunan kota juga jadi tidak jelas arahnya.

"Pada persoalannya kampung dan kota adalah pertempuran modernitas," kata Marco lagi.

Peneliti dari The Institute for Ecosoc Rights, Sri Palupi menilai orientasi pembangunan kita memang menguntungkan kelas menengah. Mereka adalah penguasa basis masa. "Cilakanya ngehe!" seru dia kemudian.

Apa yang mereka soroti adalah pelayanan publik di kampung disengaja untuk tidak lebih baik dibanding pelayanan kepada kelas atas. Para masyarakat yang hidup di kampung-kampung kebanyakan juga tidak diberi hak atas tanah. Lingkungan mereka pun dibiarkan kumuh. Bahkan, masyarakatnya dicap ilegal dan kriminal. 

"Memang dibuat tidak nyaman agar mudah digusur. Selama kalangan atas  belum butuh wilayah itu mereka masih aman," kata palupi.

Apapun, seberapa menguntungkannya pertumbuhan kelas menengah, kesenjangan terus terjadi. Para pembangun wilayah dinilai kurang imajinasi. Mereka yang saat ini nangis karena rumahnya digempur dengan beko jelas belum merasa pembangunan ini memakmurkan semua pihak. Orang yang bisa menangkap peluang naik kasta dari masyarakat bawah ke masyarakat menengah, masyarakat menengah ke masyarakat atas. Fasilitas hunian kota dibangun demi memuaskan mereka yang naik kelas itu. Ini sialnya ngehe bagi mereka yang kemudian terpinggirkan dan akhirnya malah menciptakan kampung-kampung ilegal lainnya yang kembali gelisah menanti untuk digempur.

sumber gambar: di sini

Wednesday, February 24, 2016

Copy of My Mind: Nyata Senyata Kehidupan






Sari (Tara Basro) dan Alek (Chicco Jerikho) adalah sepasang kekasih yang hidup di tengah latar hiruk pikuk kampanye politik. Melalui Copy of My Mind keduanya dihidupkan dan diperkenalkan oleh sang sutradara, Joko Anwar. 

Sari bekerja di salon kecantikan murah bernama Yelo. Setelah pulang kerja, ia selalu mempir ke lapak DVD bajakan. Film yang diincarnya biasanya yang bertema monster-monster fiktif. Ini selalu dilakukannya sebelum akhirnya pulang ke kos, masak mie instan, dan menonton film monster hasil buruannya tadi sambil melahap mie instannya yang baru matang. 

Meski seleranya adalah film-film kelas B dan hanya sanggup menonton lewat DVD bajakan, ia punya standar. Ia kesal ketika kualitas terjemahan film itu buruk. 

Suatu hari ia pun protes kepada penjual di lapak DVD bajakan yang kemarin ia datangi. Ia berharap ganti rugi dari si penjual. Alih-alih ganti rugi, si penjual malah mempertemukan Sari dengan pembuat terjemahan film bajakan itu. Inilah yang menjadi awal pertemuan Sari dengan Alek dan berujung pada hubungan asmara keduanya. Sebagai pasangan kekasih, mereka pun memulai ritual antar jemput sampai tidur bersama. Hubungan mereka kian rekat hingga suatu hari Sari melakukan perbuatan yang akan terus disesalinya. Kecerobohannya membawanya dan Alek pada intrik politik yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

"Film apa ini?!" seru teman saya ketika kami selesai menonton film Copy of My Mind beberapa hari yang lalu. 

Itu adalah celetukan teman yang berharap adanya letupan drastis dalam film teranyar Joko Anwar kali ini. Sejak awal, melihat resensi yang sudah lebih dulu beredar,  seharusnya siapapun tahu film ini tidak akan menawarkan kemisteriusan penuh teror seperti film-film Joko Anwar sebelumnya. Tapi, mari lah kita bersetuju untuk bilang sutradara ini punya kecendrungan idealis yang bikin penasaran untuk mau menonton film-filmnya. 

Dan ya, Joko Anwar kali ini memang sukses membuat penonton kembali menyadari realitas di sebuah tempat bernama Jakarta.  Jakarta yang penuh sesak dan kegetiran.

Film ini terasa semakin nyata, ketika kemudian dialog yang didominasi Sari dan Alek seperti saling dinyatakan spontan.  Semua itu digabung menjadi satu, seakan film ini begitu berusaha keras untuk menampilkan kejujuran.

Ekspresi jujur dalam Copy of My Mind tidak akan berhasil jika saja pemain dalam film ini tidak matang membawakan peran. Pasangan Sari dan Alek mengekspresikan dengan pas bagaimana kedudukan masyarakat kelas bawah di Jakarta. Mereka yang seakan jauh dari hiruk pikuk politik yang lebih sering berada di khayangan seakan tak terjamah, dalam satu titik justru menjadi pihak yang paling dikorbankan. 

Joko Anwar memvisualisasikan lewat film ini bagaimana kelas bawah menjadi komoditas empuk kapanye. Mereka didekati, lewat aksi-aksi kampanye yang turun ke jalan. Sari beberapa kali bahkan melewati keramaian kampanye itu. Kampanye politik yang sama sekali tidak membawa dampak pada kehidupannya itu pun nampak ia acuhkan begitu saja.  Namun ironisnya, ia malah kemudian dipaksa untuk ikut memperhatikan ketika kampanye itu akhirnya berbuah pahit di hidupnya. 

Kali ini, keputusan yang berani nampak ketika Joko Anwar memilih cara penggambilan visual yang bergerak ke sana kemari. Penghayatan, itu mungkin yang ingin dicapai dengan memaksa penonton mengikuti gerak pemain-pemain di filmnya. Meski di beberapa bagian cara ini sedikit mengganggu dan cukup membuat lelah mata. 

Apa yang patut disayangkan adalah perpindahan fokus cerita di film ini. Mood cerita terjadi terlalu tiba-tiba. Sejak awal gaya bertutur Joko Anwar di film ini sangatlah lamban. Film ini begitu lama menceritakan keseharian kedua tokoh utama, hingga seakan memang hanya ingin menceritakan kisah cinta keduanya. Paling tidak tema cinta ini menghabiskan dua per tiga dari keseluruhan film. Sementara tema politik, hanya seperti tema yang ditempel paksa untuk menaikkan greget penonton. 

Jika kalian mencari degub-degub membara dalam film ini mungkin hanya akan kalian temui saat keduanya beradegan seks (yang cukup panas) di bagian pertengahan film. Tapi bisa saja ini trik yang dipakai Joko Anwar untuk menyampaikan kegetiran dan membuat penonton lebih bersimpati setelah “dipaksa” dekat dengan karakter tokoh-tokohnya lewat tayangan keseharaian yang lama tadi. Bisa juga kebosananan yang mau tidak mau menyeruak ketika dipaksa menelaah keseharian dua tokoh ini juga pesan, bahwa memang kehidupan itu terdiri dari ritual yang bagitu-bagitu saja, sedangkan aksi-aksi heroik penuh ketegangan hanya ada dalam film fiksi. 

Sumber gambar: di sini