Wednesday, February 24, 2016

Copy of My Mind: Nyata Senyata Kehidupan






Sari (Tara Basro) dan Alek (Chicco Jerikho) adalah sepasang kekasih yang hidup di tengah latar hiruk pikuk kampanye politik. Melalui Copy of My Mind keduanya dihidupkan dan diperkenalkan oleh sang sutradara, Joko Anwar. 

Sari bekerja di salon kecantikan murah bernama Yelo. Setelah pulang kerja, ia selalu mempir ke lapak DVD bajakan. Film yang diincarnya biasanya yang bertema monster-monster fiktif. Ini selalu dilakukannya sebelum akhirnya pulang ke kos, masak mie instan, dan menonton film monster hasil buruannya tadi sambil melahap mie instannya yang baru matang. 

Meski seleranya adalah film-film kelas B dan hanya sanggup menonton lewat DVD bajakan, ia punya standar. Ia kesal ketika kualitas terjemahan film itu buruk. 

Suatu hari ia pun protes kepada penjual di lapak DVD bajakan yang kemarin ia datangi. Ia berharap ganti rugi dari si penjual. Alih-alih ganti rugi, si penjual malah mempertemukan Sari dengan pembuat terjemahan film bajakan itu. Inilah yang menjadi awal pertemuan Sari dengan Alek dan berujung pada hubungan asmara keduanya. Sebagai pasangan kekasih, mereka pun memulai ritual antar jemput sampai tidur bersama. Hubungan mereka kian rekat hingga suatu hari Sari melakukan perbuatan yang akan terus disesalinya. Kecerobohannya membawanya dan Alek pada intrik politik yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

"Film apa ini?!" seru teman saya ketika kami selesai menonton film Copy of My Mind beberapa hari yang lalu. 

Itu adalah celetukan teman yang berharap adanya letupan drastis dalam film teranyar Joko Anwar kali ini. Sejak awal, melihat resensi yang sudah lebih dulu beredar,  seharusnya siapapun tahu film ini tidak akan menawarkan kemisteriusan penuh teror seperti film-film Joko Anwar sebelumnya. Tapi, mari lah kita bersetuju untuk bilang sutradara ini punya kecendrungan idealis yang bikin penasaran untuk mau menonton film-filmnya. 

Dan ya, Joko Anwar kali ini memang sukses membuat penonton kembali menyadari realitas di sebuah tempat bernama Jakarta.  Jakarta yang penuh sesak dan kegetiran.

Film ini terasa semakin nyata, ketika kemudian dialog yang didominasi Sari dan Alek seperti saling dinyatakan spontan.  Semua itu digabung menjadi satu, seakan film ini begitu berusaha keras untuk menampilkan kejujuran.

Ekspresi jujur dalam Copy of My Mind tidak akan berhasil jika saja pemain dalam film ini tidak matang membawakan peran. Pasangan Sari dan Alek mengekspresikan dengan pas bagaimana kedudukan masyarakat kelas bawah di Jakarta. Mereka yang seakan jauh dari hiruk pikuk politik yang lebih sering berada di khayangan seakan tak terjamah, dalam satu titik justru menjadi pihak yang paling dikorbankan. 

Joko Anwar memvisualisasikan lewat film ini bagaimana kelas bawah menjadi komoditas empuk kapanye. Mereka didekati, lewat aksi-aksi kampanye yang turun ke jalan. Sari beberapa kali bahkan melewati keramaian kampanye itu. Kampanye politik yang sama sekali tidak membawa dampak pada kehidupannya itu pun nampak ia acuhkan begitu saja.  Namun ironisnya, ia malah kemudian dipaksa untuk ikut memperhatikan ketika kampanye itu akhirnya berbuah pahit di hidupnya. 

Kali ini, keputusan yang berani nampak ketika Joko Anwar memilih cara penggambilan visual yang bergerak ke sana kemari. Penghayatan, itu mungkin yang ingin dicapai dengan memaksa penonton mengikuti gerak pemain-pemain di filmnya. Meski di beberapa bagian cara ini sedikit mengganggu dan cukup membuat lelah mata. 

Apa yang patut disayangkan adalah perpindahan fokus cerita di film ini. Mood cerita terjadi terlalu tiba-tiba. Sejak awal gaya bertutur Joko Anwar di film ini sangatlah lamban. Film ini begitu lama menceritakan keseharian kedua tokoh utama, hingga seakan memang hanya ingin menceritakan kisah cinta keduanya. Paling tidak tema cinta ini menghabiskan dua per tiga dari keseluruhan film. Sementara tema politik, hanya seperti tema yang ditempel paksa untuk menaikkan greget penonton. 

Jika kalian mencari degub-degub membara dalam film ini mungkin hanya akan kalian temui saat keduanya beradegan seks (yang cukup panas) di bagian pertengahan film. Tapi bisa saja ini trik yang dipakai Joko Anwar untuk menyampaikan kegetiran dan membuat penonton lebih bersimpati setelah “dipaksa” dekat dengan karakter tokoh-tokohnya lewat tayangan keseharaian yang lama tadi. Bisa juga kebosananan yang mau tidak mau menyeruak ketika dipaksa menelaah keseharian dua tokoh ini juga pesan, bahwa memang kehidupan itu terdiri dari ritual yang bagitu-bagitu saja, sedangkan aksi-aksi heroik penuh ketegangan hanya ada dalam film fiksi. 

Sumber gambar: di sini

No comments:

Post a Comment