Sari (Tara Basro) dan Alek (Chicco Jerikho) adalah sepasang
kekasih yang hidup di tengah latar hiruk pikuk kampanye politik. Melalui Copy
of My Mind keduanya dihidupkan dan diperkenalkan oleh sang sutradara, Joko
Anwar.
Sari bekerja di salon kecantikan murah bernama Yelo. Setelah
pulang kerja, ia selalu mempir ke lapak DVD bajakan. Film yang diincarnya
biasanya yang bertema monster-monster fiktif. Ini selalu dilakukannya sebelum
akhirnya pulang ke kos, masak mie instan, dan menonton film monster hasil
buruannya tadi sambil melahap mie instannya yang baru matang.
Meski seleranya adalah film-film kelas B dan hanya sanggup
menonton lewat DVD bajakan, ia punya standar. Ia kesal ketika kualitas
terjemahan film itu buruk.
Suatu hari ia pun protes kepada penjual di lapak DVD bajakan
yang kemarin ia datangi. Ia berharap ganti rugi dari si penjual. Alih-alih
ganti rugi, si penjual malah mempertemukan Sari dengan pembuat terjemahan film
bajakan itu. Inilah yang menjadi awal pertemuan Sari dengan Alek dan berujung
pada hubungan asmara keduanya. Sebagai pasangan kekasih, mereka pun memulai ritual antar jemput sampai tidur
bersama. Hubungan mereka kian rekat hingga suatu hari Sari melakukan perbuatan
yang akan terus disesalinya. Kecerobohannya membawanya dan Alek pada intrik
politik yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
"Film apa ini?!" seru teman saya ketika kami
selesai menonton film Copy of My Mind beberapa hari yang lalu.
Itu adalah celetukan teman yang berharap adanya letupan drastis
dalam film teranyar Joko Anwar kali ini. Sejak awal, melihat resensi yang sudah
lebih dulu beredar, seharusnya siapapun
tahu film ini tidak akan menawarkan kemisteriusan penuh teror seperti film-film
Joko Anwar sebelumnya. Tapi, mari lah kita bersetuju untuk bilang sutradara ini
punya kecendrungan idealis yang bikin penasaran untuk mau menonton
film-filmnya.
Dan ya, Joko Anwar kali ini memang sukses membuat penonton kembali
menyadari realitas di sebuah tempat bernama Jakarta. Jakarta yang penuh sesak dan kegetiran.
Film ini terasa semakin nyata, ketika kemudian dialog yang
didominasi Sari dan Alek seperti saling dinyatakan spontan. Semua itu digabung menjadi satu, seakan film
ini begitu berusaha keras untuk menampilkan kejujuran.
Ekspresi jujur dalam Copy of My Mind tidak akan berhasil
jika saja pemain dalam film ini tidak matang membawakan peran. Pasangan Sari
dan Alek mengekspresikan dengan pas bagaimana kedudukan masyarakat kelas bawah
di Jakarta. Mereka yang seakan jauh dari hiruk pikuk politik yang lebih sering
berada di khayangan seakan tak terjamah, dalam satu titik justru menjadi pihak
yang paling dikorbankan.
Joko Anwar memvisualisasikan lewat film ini bagaimana kelas
bawah menjadi komoditas empuk kapanye. Mereka didekati, lewat aksi-aksi kampanye
yang turun ke jalan. Sari beberapa kali bahkan melewati keramaian kampanye itu.
Kampanye politik yang sama sekali tidak membawa dampak pada kehidupannya itu
pun nampak ia acuhkan begitu saja. Namun
ironisnya, ia malah kemudian dipaksa untuk ikut memperhatikan ketika kampanye
itu akhirnya berbuah pahit di hidupnya.
Kali ini, keputusan yang berani nampak ketika Joko Anwar memilih
cara penggambilan visual yang bergerak ke sana kemari. Penghayatan, itu mungkin
yang ingin dicapai dengan memaksa penonton mengikuti gerak pemain-pemain di
filmnya. Meski di beberapa bagian cara ini sedikit mengganggu dan cukup membuat
lelah mata.
Apa yang patut disayangkan adalah perpindahan fokus cerita di
film ini. Mood cerita terjadi terlalu tiba-tiba. Sejak awal gaya bertutur Joko
Anwar di film ini sangatlah lamban. Film ini begitu lama menceritakan
keseharian kedua tokoh utama, hingga seakan memang hanya ingin menceritakan
kisah cinta keduanya. Paling tidak tema cinta ini menghabiskan dua per tiga
dari keseluruhan film. Sementara tema politik, hanya seperti tema yang ditempel
paksa untuk menaikkan greget penonton.
Jika kalian mencari degub-degub membara dalam film ini
mungkin hanya akan kalian temui saat keduanya beradegan seks (yang cukup panas)
di bagian pertengahan film. Tapi bisa saja ini trik yang dipakai Joko Anwar
untuk menyampaikan kegetiran dan membuat penonton lebih bersimpati setelah “dipaksa”
dekat dengan karakter tokoh-tokohnya lewat tayangan keseharaian yang lama tadi.
Bisa juga kebosananan yang mau tidak mau menyeruak ketika dipaksa menelaah
keseharian dua tokoh ini juga pesan, bahwa memang kehidupan itu terdiri dari
ritual yang bagitu-bagitu saja, sedangkan aksi-aksi heroik penuh ketegangan hanya ada
dalam film fiksi.
Sumber gambar: di sini
No comments:
Post a Comment