Thursday, August 27, 2015

Sesat


Aku berjalan. Separuh meraba-raba dengan tangan ke depan.

Tiba-tiba ada yang meraih pundakku. Terkejut, aku pun reflek menengok ke arah datangnya lengan itu.

Tak begitu jelas rupanya. Seperti biasa perjalanan ini begitu gelap. Tak ada siang di dunia ini. Selamanya malam.

Maka kelam pun membungkus sosoknya. Seutuhnya. Hanya menyisakan lengan yang menjurus menggenggam bahuku.

Sejujurnya tak pernah aku tau pemandangan di belakang punggungku. Aku tak pernah mencoba membalikkan kepalaku ke belakang. Entah takut atau gengsi. Keduanya sulit dibedakan.

Sebenarnya, aku pun kini takut menengok ke arah tangan itu datang, melihat siapa gerangan yang meremat pundakku.

"Siapa kau?" tanyaku.

Ia hanya diam. Begitupun lengannya tak bergerak.

Lengan itu kekar. Seperti lengan lelaki. Tapi halus, tak berambut, berjari lentik layaknya lengan perempuan. Tunggu! Lengan itu berjari tujuh.

Benar-benar ada tujuh, ketika kembali ku hitung setelah menggosok kedua mataku. Dimulai dari ibu jari, telunjuk, satu jari entah apa namanya, jari tengah, satu jari aneh lainnya, kemudian jari manis, dan terakhir kelingking.

Kerongkonganku tiba-tiba terasa kering. Tercekat. Takut kembali bertanya siapa dan mau apa dia.

Aku kembali melihat sekeliling. Hampir tak ada pemandangan yang bisa ditangkap. Aku baru menyadarinya. Aku bahkan tak tahu ini di mana. Aku hanya mengikuti langkahku selama ini.

Beberapa waktu yang lalu, sesekali ada bisikan menyuruhku ini dan itu. Tapi ku lewatkan. Aku terus berjalan karena takut mendengar suara-suara itu. Aku berjalan makin cepat.

Kini tangan itu menggapaiku. Apa dia marah karena menjadi salah satu yang kuabaikan? Aku tidak tahu.

Aku takut. Semoga ia tak menampakkan sosoknya. Apa jadinya sosok yang memiliki tujuh jari dan lengan bak androgini?

Mulutku mengeras. Lidah kaku. Ada rasa di ujungnya seperti ingin memuntahkan sesuatu. Tapi langsung membeku, dihantam dinginnya keraguan.

Aku termangu. Berpikir. Harus bagaimana aku sekarang? Harus ke mana aku kini? Diam berdiri di sini kah?

Tangan ini begitu kuat mencengkram. Aku terus menerus membolak balikkan pandangan ke balik punggungku. Gelap gulita.

Ini di mana? Apa saja yang sudah ku lewatkan?

Monday, August 24, 2015

Pada Suatu Malam Ketika Perempuan-Perempuan Datang Silih Berganti dan Mengira Saya Depresi

Suatu hari seorang perempuan mendatangi saya. Ia mendekat, lalu bertanya.

"Apa yang kamu lakukan di sini seorang diri?"

"Menunggu." jawab saya.

Dan ia menghilang. Ia berputar bersama udara dan waktu. Di tangannya, ia menggenggam bahagia.

Suatu hari, seorang perempuan lainnya datang dan bertanya hal yang sama. Dan saya menjawab dengan jawaban yang juga sama.

"Apa yang kau tunggu?" Kali ini ia bertanya lebih banyak.

"Entah. Saya hanya harus menunggu."

Tidak ada tanggapan. Ia hanya diam memandangi saya tak sampai sejam lamanya.

Tak tahu harus berkata apa, kemudian ia pun juga menghilang bersama hari. Di tangannya, ia menggandeng keyakinan.

Beberapa hari kemudian datang lagi perempuan. Sama seperti sebelumnya ia mendekat dan bertanya. Kemilau yang terang muncul dari lingkaran jari manis tangan kirinya.

Lagi-lagi pertanyaan yang sama. Kali ini saya malas menjawab. Dia pasti tau jawabannya. Saya masih menunggu.

"Sampai kapan?" tanya dia.

"Sampai saya tahu kenapa saya masih menunggu." kata saya.

Saya hampir mendengarnya menghela napas. Saya juga bisa menangkap heran dan sesal di antara dengusan itu. Biarlah....

Dan saya pun membiarkannya berputar pergi bersama kala. Di tangannya ada kebanggaan.

Datang lagi perempuan-perempuan lainnya. Lucunya, mereka selalu datang (mengganggu) di kala malam membuai saya yang segera menyambut kantuk.

Pertanyaannya selalu sama. Lalu mereka berputar pergi di saat saya masih mau memeluk sepi. Mereka menghampiri, mengajak pergi. Tapi saya masih belum sudi.

Saya masih mencari untuk apa saya di sini. Menunggu meski tak pasti.

Tapi perempuan-perempuan itu terus datang silih berganti. Bertanya itu-itu lagi. Untuk mereka saya sudah terlalu lama menanti.

Perempuan-perempuan itu berputar berotasi bersama ibu Bumi. Mereka pikir mereka lebih beruntung karena tak merasakan detik berubah hari. Tapi apa mereka beruntung bisa lebih dulu pergi? Saya tak tahu pasti.

Saya lebih suka menanti. Karena kabarnya sabar tak bisa dibatasi. Juga, katanya, sabar pasti dibayar tinggi.

Sunday, August 23, 2015

Dufan, Sebuah Pabrik Kebahagiaan di Utara Jakarta



"Udah...Udah...Udah..!!!"

Kawan di sebelah kanan saya terus berteriak, ketika kursi yang kami duduki diputar balikkan di atas ketinggian 7 m di atas permukaan tanah. Sebentar-sebentar kepala kami di bawah, kemudian kembali tegak, lalu diluncurkan kembali ke tanah, lalu ke arah langit. Kaki-kaki kami seperti tak bertulang.

Diombang-ambing ke atas dan ke bawah. Kaus yang saya pakai sudah tak karuan. Punggung saya merasakan angin bebas, karena kaus saya terus terangkat mendekati leher. Ini menjawab keheranan saya ketika mendengar ada perempuan yang sampai mencari kerudungnya. Kerudung merah mudanya terlepas dari kepala saat ia ada di posisi seperti saya.

Ah tapi sumpah, saat di atas sana saya tak memikirkan itu. Siapapun yang pernah menaiki wahana Tornado di Dufan pasti tau rasanya.

"Udah..Udah...Udah...!!"

Teman di sebelah saya itu kembali berteriak ketika kepala kami terarah bebas menuju tanah. Tuhan... nyawa kami saat itu hanya bergantung pada pengaman di dua lengan dan sabuk di pinggang kami.

Teriak dan tertawa lepas itu pilihan saya untuk menghilangkan kengerian berada di atas sana. Tak tahulah saya jika ditanya berapa lama ada didalam jepitan "pengaman" itu. Goncangan itu terasa sangat sangaaaaat lama.

Hari itu masih pagi. Kami berempat, saya, Dian, Sonia, dan Dwi, sengaja berburu tiket paruh harga saat Dufan sedang bertitel "Girl's Month". Pukul 08.00 WIB kami sudah berangkat dari kos di Pajaten.

Sampai Dufan masih pukul 10.00 WIB kurang. Antre sudah mengular, tapi tidak begitu panjang. Tak sampai setengah jam kami sudah di dalam.

Ada yang namanya Rumah Miring dan Rumah Jahil. Dua rumah ini sama jahilnya, walaupun hanya satu yang dinamai jahil. Kalau di Rumah Miring, saya jadi susah berjalan, bahkan mengambil gambar karena kemiringannya.

Susah berjalan kalau tidak pegangan
"Itu tadi tipuan otak atau memang miring sih?" seru Dwi setengah tertawa saat keluar dari wahana itu.

Sementara di rumah satunya, jangan pernah berpikiran untuk berlari, atau berjalan cepat. Asal tahu saja, seperti namanya, cermin-cermin itu jahil dan suka menipu. Kepala saya hampir terantuk karena salah mengira cermin sebagai jalan keluar.

saya-nya jadi banyak. hihihi...
Dari sana, kami langsung mengarah ke wahana outdoor. Kami mencari wahana yang paling sedikit antriannya. Pagi hari itu, di saat orang kebanyakan memilih wahana lain untuk pemanasan, sebelum menjerit-jerit kesetanan, Dian menggeret kami menuju wahana Tornado.

Tornado
Wahana ini masih sepi. Tidak perlu mengantri. Kami hanya menunggu sampai mesin Tornadonya selesai merontokkan nyali pengunjung yang menaikinya lebih dulu.

Dwi yang terbiasa pakai rok panjang, ketika melihat bagaimana mesin itu bekerja langsung izin mengganti roknya dengan celana. Mukanya sudah pucat.

Teriakan sudah pecah dari saat kami memasuki lorong antrian ke wahana Tornado. Ah gila, Dufan memang gila. Di sini semua berteriak dan memang mau tak mau berteriak. Sambil menunggu saya jadi teringat film Monster Inc garapan Pixar. Dunia monster di film itu mendapatkan energi lewat teriakan anak kecil yang ditampung dalam tabung.

Dufan mungkin sama. Hanya bedanya, di film itu mereka menggunakannya sebagai energi pembangkit listrik, di Dufan teriakan pengunjung mereka proses kembali untuk memproduksi kebahagiaan. Tentu saja kebahagiaan untuk semua pengunjung. 

Coba saja lihat, setelah terguncang-guncang dan berteriak histeris, ketika mesin berhenti bergaung, mereka justru sumringah dan tertawa senang. Sudah lupa mereka tadi setakut apa.

Tidak cuma di wahana Tornado saja. Saya bisa berfantasi seperti melihat awan kapas berwarna-warni menggantung di atas kepala pengunjung yang semakin besar ketika mereka keluar dari satu wahana ke wahana yang lain. Mereka berteriak ketika diayun kencang dengan Kora-Kora, lalu histeris ketika dihempaskan cepat di atas ketinggian 60 m bersama Hysteria, dan tertawa lebar ketika mesin berhenti berayun.
Hysteria yang bikin histeris
Di Dufan, ketakutan bisa dirubah menjadi kebahagiaan. Pantas saja dinamai Dunia Fantasi. Akan sulit mencari muka muram di tempat itu. Betul, dengan diskon separuhnya, hari itu kami membayar Rp 135ribu untuk merasa bahagia. Dufan, Pabrik Kebahagiaan yang ada di kawasan Jakarta Utara itu memproduksi rasa bahagia serupa kapas berwarna warni bagi siapapun yang masuk ke gerbangnya.


 Sayangnya, awan-awan itu tidak bisa dibawa pulang. Saya merasakannya awan warna-warni di atas kepala saya kian menipis mendekati pukul 20.00 WIB. Itu saat Dufan harus mengakhiri jam operasinya. Saya masih mengatri untuk masuk ke wahana Ice Age saat itu.

"Habis ini kita harus kembali ke kenyataan," kata Dwi. Kami berempat pun menghela napas bersamaan. Hari Senin tiba-tiba terasa hanya tinggal beberapa menit lagi.