"Udah...Udah...Udah..!!!"
Kawan di sebelah kanan saya terus berteriak, ketika kursi yang kami duduki diputar balikkan di atas ketinggian 7 m di atas permukaan tanah. Sebentar-sebentar kepala kami di bawah, kemudian kembali tegak, lalu diluncurkan kembali ke tanah, lalu ke arah langit. Kaki-kaki kami seperti tak bertulang.
Diombang-ambing ke atas dan ke bawah. Kaus yang saya pakai sudah tak karuan. Punggung saya merasakan angin bebas, karena kaus saya terus terangkat mendekati leher. Ini menjawab keheranan saya ketika mendengar ada perempuan yang sampai mencari kerudungnya. Kerudung merah mudanya terlepas dari kepala saat ia ada di posisi seperti saya.
Ah tapi sumpah, saat di atas sana saya tak memikirkan itu. Siapapun yang pernah menaiki wahana Tornado di Dufan pasti tau rasanya.
"Udah..Udah...Udah...!!"
Teman di sebelah saya itu kembali berteriak ketika kepala kami terarah bebas menuju tanah. Tuhan... nyawa kami saat itu hanya bergantung pada pengaman di dua lengan dan sabuk di pinggang kami.
Teriak dan tertawa lepas itu pilihan saya untuk menghilangkan kengerian berada di atas sana. Tak tahulah saya jika ditanya berapa lama ada didalam jepitan "pengaman" itu. Goncangan itu terasa sangat sangaaaaat lama.
Hari itu masih pagi. Kami berempat, saya, Dian, Sonia, dan Dwi, sengaja berburu tiket paruh harga saat Dufan sedang bertitel "Girl's Month". Pukul 08.00 WIB kami sudah berangkat dari kos di Pajaten.
Sampai Dufan masih pukul 10.00 WIB kurang. Antre sudah mengular, tapi tidak begitu panjang. Tak sampai setengah jam kami sudah di dalam.
Ada yang namanya Rumah Miring dan Rumah Jahil. Dua rumah ini sama jahilnya, walaupun hanya satu yang dinamai jahil. Kalau di Rumah Miring, saya jadi susah berjalan, bahkan mengambil gambar karena kemiringannya.
|
Susah berjalan kalau tidak pegangan |
"Itu tadi tipuan otak atau memang miring sih?" seru Dwi setengah tertawa saat keluar dari wahana itu.
Sementara di rumah satunya, jangan pernah berpikiran untuk berlari, atau berjalan cepat. Asal tahu saja, seperti namanya, cermin-cermin itu jahil dan suka menipu. Kepala saya hampir terantuk karena salah mengira cermin sebagai jalan keluar.
|
saya-nya jadi banyak. hihihi... |
Dari sana, kami langsung mengarah ke wahana outdoor. Kami mencari wahana yang paling sedikit antriannya. Pagi hari itu, di saat orang kebanyakan memilih wahana lain untuk pemanasan, sebelum menjerit-jerit kesetanan, Dian menggeret kami menuju wahana Tornado.
|
Tornado |
Wahana ini masih sepi. Tidak perlu mengantri. Kami hanya menunggu sampai mesin Tornadonya selesai merontokkan nyali pengunjung yang menaikinya lebih dulu.
Dwi yang terbiasa pakai rok panjang, ketika melihat bagaimana mesin itu bekerja langsung izin mengganti roknya dengan celana. Mukanya sudah pucat.
Teriakan sudah pecah dari saat kami memasuki lorong antrian ke wahana Tornado. Ah gila, Dufan memang gila. Di sini semua berteriak dan memang mau tak mau berteriak. Sambil menunggu saya jadi teringat film Monster Inc garapan Pixar. Dunia monster di film itu mendapatkan energi lewat teriakan anak kecil yang ditampung dalam tabung.
Dufan mungkin sama. Hanya bedanya, di film itu mereka menggunakannya sebagai energi pembangkit listrik, di Dufan teriakan pengunjung mereka proses kembali untuk memproduksi kebahagiaan. Tentu saja kebahagiaan untuk semua pengunjung.
Coba saja lihat, setelah terguncang-guncang dan berteriak histeris, ketika mesin berhenti bergaung, mereka justru sumringah dan tertawa senang. Sudah lupa mereka tadi setakut apa.
Tidak cuma di wahana Tornado saja. Saya bisa berfantasi seperti melihat awan kapas berwarna-warni menggantung di atas kepala pengunjung yang semakin besar ketika mereka keluar dari satu wahana ke wahana yang lain. Mereka berteriak ketika diayun kencang dengan Kora-Kora, lalu histeris ketika dihempaskan cepat di atas ketinggian 60 m bersama Hysteria, dan tertawa lebar ketika mesin berhenti berayun.
|
Hysteria yang bikin histeris |
Di Dufan, ketakutan bisa dirubah menjadi kebahagiaan. Pantas saja dinamai Dunia Fantasi. Akan sulit mencari muka muram di tempat itu. Betul, dengan diskon separuhnya, hari itu kami membayar Rp 135ribu untuk merasa bahagia. Dufan, Pabrik Kebahagiaan yang ada di kawasan Jakarta Utara itu memproduksi rasa bahagia serupa kapas berwarna warni bagi siapapun yang masuk ke gerbangnya.
Sayangnya, awan-awan itu tidak bisa dibawa pulang. Saya merasakannya awan warna-warni di atas kepala saya kian menipis mendekati pukul 20.00 WIB. Itu saat Dufan harus mengakhiri jam operasinya. Saya masih mengatri untuk masuk ke wahana Ice Age saat itu.
"Habis ini kita harus kembali ke kenyataan," kata Dwi. Kami berempat pun menghela napas bersamaan. Hari Senin tiba-tiba terasa hanya tinggal beberapa menit lagi.