Suatu hari seorang perempuan mendatangi saya. Ia mendekat, lalu bertanya.
"Apa yang kamu lakukan di sini seorang diri?"
"Menunggu." jawab saya.
Dan ia menghilang. Ia berputar bersama udara dan waktu. Di tangannya, ia menggenggam bahagia.
Suatu hari, seorang perempuan lainnya datang dan bertanya hal yang sama. Dan saya menjawab dengan jawaban yang juga sama.
"Apa yang kau tunggu?" Kali ini ia bertanya lebih banyak.
"Entah. Saya hanya harus menunggu."
Tidak ada tanggapan. Ia hanya diam memandangi saya tak sampai sejam lamanya.
Tak tahu harus berkata apa, kemudian ia pun juga menghilang bersama hari. Di tangannya, ia menggandeng keyakinan.
Beberapa hari kemudian datang lagi perempuan. Sama seperti sebelumnya ia mendekat dan bertanya. Kemilau yang terang muncul dari lingkaran jari manis tangan kirinya.
Lagi-lagi pertanyaan yang sama. Kali ini saya malas menjawab. Dia pasti tau jawabannya. Saya masih menunggu.
"Sampai kapan?" tanya dia.
"Sampai saya tahu kenapa saya masih menunggu." kata saya.
Saya hampir mendengarnya menghela napas. Saya juga bisa menangkap heran dan sesal di antara dengusan itu. Biarlah....
Dan saya pun membiarkannya berputar pergi bersama kala. Di tangannya ada kebanggaan.
Datang lagi perempuan-perempuan lainnya. Lucunya, mereka selalu datang (mengganggu) di kala malam membuai saya yang segera menyambut kantuk.
Pertanyaannya selalu sama. Lalu mereka berputar pergi di saat saya masih mau memeluk sepi. Mereka menghampiri, mengajak pergi. Tapi saya masih belum sudi.
Saya masih mencari untuk apa saya di sini. Menunggu meski tak pasti.
Tapi perempuan-perempuan itu terus datang silih berganti. Bertanya itu-itu lagi. Untuk mereka saya sudah terlalu lama menanti.
Perempuan-perempuan itu berputar berotasi bersama ibu Bumi. Mereka pikir mereka lebih beruntung karena tak merasakan detik berubah hari. Tapi apa mereka beruntung bisa lebih dulu pergi? Saya tak tahu pasti.
Saya lebih suka menanti. Karena kabarnya sabar tak bisa dibatasi. Juga, katanya, sabar pasti dibayar tinggi.
No comments:
Post a Comment