Sunday, November 15, 2015

Cerpen: Tarik Napas, Jangan Lupa Bahagia



Ekspresi paginya tak pernah berubah. Mengerang, terkapar diperkosa Jakarta. Seperti biasa, dia membuka daun jendela keluar, membusungkan dada, dan menghirup udara. 

Bukannya ia tak tahu, atau lupa. Ia hafal betul aroma sampah campur karbon monoksida, bercampur debu dan aroma comberan itu. Tapi ia butuh setidaknya sepersen saja udara pagi jika tidak ingin kepalanya meledak.

Umurnya 25 tahun. Sudah hampir tujuh tahun belakangan ini kepalanya sedikit demi sedikit membesar. Bukan, sama sekali bukan hydrocephalus. Kata dokter yang pernah ia temui, ia butuh udara bersih dan... Bahagia?

Ia sendiri tak sadar apa ia bahagia selama ini. Ia tak pernah berpikir untuk meraih kebahagiaan, karena kadar susesnya terlalu sulit untuk ditakar. Pikirannya terlalu sederhana untuk bahagia.

Dan kisah kapan kepalanya membesar, ia tidak tahu kapan pastinya. Rasanya kepalanya sudah bertambah besar setelah ia dinyatakan berhasil masuk perguruan tinggi yang katanya paling tinggi harkatnya di Yogyakarta.

"Tarsono, kamu sakit?" kata ibunya suatu kali.

"Tidak. Kenapa?"

"Apa kepalamu memang sebesar itu?"

Ia hanya menjawab dengan memegang kepalanya sendiri. Pertanyaan ibunya membuatnya khawatir.

Nyatanya, kepalanya bertambah besar terus bertambah besar setiap akhir semester. Membesar lagi setiap menjelang ujian. Setiap membuka portal nilai, membesar. Setiap mau tak mau mengambil mata kuliah yang ia tak suka, kepalanya makin membesar. Bahkan semakin membesar hingga matanya hanya terlihat sebesar lubang kancing. 

Ia pun mulai semakin kesulitan memakai kaus-kaus lamanya. Terlebih ketika harus melewati pintu. Jika tak hati-hati pipinya bisa membentur kusen karena kepalanya yang terus membengkak.

"Nak, kamu mungkin harus ke Puskesmas," kata bapaknya, setelah berhari-hari hanya memberi tatapan aneh kepadanya tanpa bertanya. Ia juga tahu, semua teman-temannya dengan sopan menyimpan tawa di balik punggungnya ketika ia lewat.

"Dok, sepertinya ada yang salah dengan kepala saya. Bagaimana bisa ia tidak berhenti bertambah besar?" tanyanya kepada dokter di Puskesmas dekat rumahnya.

"Apa itu sakit?"

"Tidak."

"Lalu kenapa bisa seperti itu?"

"Mana saya tahu, Anda kan dokternya."

"Apa kepala Anda pernah terbentur dengan keras?"

"Tidak, dok. Hanya tahu-tahu membesar."

"Sudah lama begitu?"

"Saya tidak yakin. Sepertinya hampir empat tahun."

"Kenapa baru menemui saya?"

"Memang ini bahaya dok? Apa penyakit saya langka?"

"Sejujurnya saya belum pernah lihat yang seperti ini. Apa Anda yakin Anda tidak merasa pusing atau mual?"

"Tidak."

"Kalau begitu, apa Anda banyak pikiran selama ini?"

"Tentu saja, saya kan mahasiswa."

"Mungkin Anda terlalu banyak berpikir."

"Dokter yang bener dong! masa jawabannya mungkin. Cenayang juga bisa kalau cuma jawab begitu."

"Anda mungkin harus ke rumah sakit untuk memastikan."

Ia sebal. Tak dapat jawaban yang diinginkan, ia bergegas pergi dari ruangan serba putih itu. 

"Mesake yo, dok. Moso' sirahe iso gedhi ngono kui. hihihihi." 

"Hus! wong e krungu, sus." 

BLAM! ia banting pintu di belakangnya. Ia kapok bertanya soal kepalanya. Dengan kerutan di dahinya, ia pun berjalan pulang.

###

Ia semakin sering mengurung diri di kamar. Ia hanya keluar ketika sang ibu memanggil untuk sarapan, untuk makan siang, dan untuk makan malam. Itu pun langsung ia bawa pergi lagi ke kamar.
Ia memang sengaja tak ingin berada di tengah keluarganya saat ini. Ia menghindari pertanyaan itu. 

"Kapan lulus?"

"Nanti kalau sudah selesai skripsinya." 

"Sudah sampai mana skripsimu?"

BLAM!

Ia banting pintu kamarnya. Mulai saat itu, kamarnya akan menjadi tempat teraman hingga skripsinya selesai dibuat.  

"Kenapa dia?" Ia mendengar bapaknya bertanya kepada ibunya ketika ia bergegas membawa makanannya kembali ke dalam kamar. 

"Oh, dia sedang mengerjakan skripsinya." 

"Kapan terakhir kali ia keluar rumah?" 

"Tidak tahu. Biarkan saja. Ia ingin cepat selesai biar bisa dapat cumlaude."

"Tapi kepalanya bertambah besar."

"Yang penting tidak sakit."
 
Sebulan kemudian, ia dapat ucapan selamat dari teman-teman dan dosennya karena berhasil menjawab semua pertanyaan dosen penguji skripsinya. Nilainya A. Sempurna. 

Dua minggu kemudian, ia berada di antara ribuan mahasiswa yang akan diwisuda. Namanya dipanggil. Ia menjadi salah satu yang berselempang kuning di dadanya. Ibu dan bapaknya bangga. Raut mukanya jumawa. 

Tapi bukan penanda cumlaude itu lah yang membuatnya diperhatikan dengan seksama. Toganya nampak sangat kecil di atas kepalanya yang besar. Jauh lebih besar dari sebelumnya. Kepalanya saat itu sudah selebar ban serep mobil bapaknya. 

Ia tak peduli. Sudah biasa baginya. 

Ada hal lain yang lebih penting dari tatapan orang-orang itu. Apa yang akan ia lakukan setelah ia melepas toga ini? Apa yang akan terjadi padanya ketika slempang kuning keemasan itu tak lagi disandangnya? Tanpa ia sadari kepala itu membesar lagi beberapa senti.

###
 
Untunglah, ia tak harus berlama-lama mengurung diri di kamar demi menghindari pertanyaan-pertanyaan lain dari orang tuanya. Pertanyaan soal pekerjaan sudah selesai ia jawab. Ia merantau ke Jakarta. 

Ia heran, karena semenjak di kota itu ia tak lagi sesering dulu menjadi pusat perhatian akibat kepala besarnya. Setelah meninggalkan kota kelahirannya untuk pertama kali, rasanya ia semakin sering melihat orang berkepala besar di dalam bus kota, di tengah gorombolan orang-orang yang menyebrangi kemacetan lalu lintas, bahkan yang mengendarai sepeda motor! 

Rasanya aneh, di kota itu sudah ada helm khusus yang ukurannya bisa disesuaikan dengan kepala pemakai. Bahkan pintu-pintu di perkantoran, di Puskesmas, di Rumah Sakit, di hotel, juga di kos-kosan sudah disesuaikan dengan ukuran kepala terbesar penduduk di kota itu.

"Untuk berjaga-jaga." kata pemilik warteg di dekat kosnya.

"Sejak kapan kalian membuat pintu-pintu seperti ini?"

"Kau pasti orang baru. Siapapun yang datang ke Jakarta harus siap seperti ini. Apa di kotamu tidak?"

"Tentu saja tidak."

"Lalu apa hanya kepalamu yang besar di kotamu?"

"Mungkin."

"Kalau begitu pasti tidak ada yang tau kenapa kepalamu bisa besar?"

"Apa kau tau?

"Tidak. Kepalaku kan tidak besar."

"....."

"Oh, karena kau orang baru, info saja, petugas BPS juga akan datang dan terus memeriksa ukuran kepalamu secara rutin."

"Apa?"

###

Sungguh tak mudah baginya untuk pada akhirnya berhasil mendapat pekerjaan itu. Ia sekarang seorang financial advisor di sebuah perusahaan asuransi yang cukup ternama.

Sebelumnya segala macam pekerjaan pernah ia coba lakukan. Ia pernah jadi staf honorer di kantor pemerintahan, pernah mencoba jadi guru les di lembaga bimbingan belajar, pernah juga jadi editor lepas di sebuah penerbitan. Tapi ia tidak pernah merasa nyaman.

Dan bukannya pekerjaan yang sekarang ini nyaman untuknya. Ia hanya harus mencoba lebih lama. Ia harus punya kebanggaan untuk dibawa pulang ketika Lebaran nanti. Paling tidak sekarang perusahaannya punya nama. Meski itu artinya ia harus siap kepalanya terus membesar. Tak apa. Di kota ini bukan cuma dia yang berkepala besar.

"Nol lagi? Ini sudah minggu kedua dan belum juga ada closing?"

"Maaf bu, saya akan usahakan lagi."

"Saya pikir kepala besar berarti otak yang besar juga. Besok harus ada hasil. Tidak mau tahu bagaimana caranya. Pakai kepalamu."

Gontai. Ia selalu begitu ketika berjalan pulang ke kamar sewaannya yang sempit itu. Ah andai saja hidup hanya butuh udara untuk bernapas maka ini akan lebih mudah. Begitu selalu pikirnya. 

###

Setengah tahun ia bekerja di perusahaan asuransi itu. Ia semakin membuat takut dirinya sendiri ketika melongok ke kaca di kamar mandinya. Bayangan kepalanya semakin tak lengkap terpantul di kaca itu karena terlalu besar. Kini kepalanya sudah sebesar ban bus trans Jakarta dan matanya hanya tinggal sebesar  biji mentimun. Kupingnya juga sering berdengung ketika ia sedang berpikir.

"Apa Anda bahagia?" tanya dokter di Rumah Sakit Fatimah pada akhirnya.

"Apa hubungannya sih, dok? tanya-tanya saya bahagia apa tidak."

"Karena itu yang selalu saya tanyakan pada setiap pasien yang memiliki kepala seperti Anda."

"Memang saya sakit apa, dok?"

"Belum ada namanya. Kami menyebutnya dengan Sindrom Kepala Meledak."

"Meledak? kepala saya akan meledak, dok?"

"Tentu saja itu akan terjadi. Banyak yang sudah begitu."

"Apa ada obatnya dok?"

"Ada. Tapi akan sulit didapat."

"Saya akan coba bayar berapapun dok."

"Ini bukan soal uang. Anda butuh udara bersih setiap pagi jika tidak ingin kepala Anda meledak."

"Tapi ini Jakarta, dok. Saya tak akan bisa dapat udara yang Anda maksudkan di kota ini. Aduh, dok. Kepala saya berdengung lagi dok."

"Sabar pak, sabar. Anda harus bernapas dengan baik. Kepala Anda akan kembali ke ukuran semula jika Anda berhasil melakukan itu dengan baik.

"Apa saya harus pulang ke Jogja dok? Tapi saya sudah begini sebelum datang ke Jakarta."

"Itu kenapa tadi saya bilang ini bukan soal uang."

"Tidak ada cara lain, dok?"

"Ada. Apa Anda bahagia?" 

###

Di kamar kosnya, pagi itu ia merasa tak semangat kerja. Ia ingin minta libur. Libur panjang. Kalau bisa ia tak ingin kembali kemari. Ia ingin kembali ke kotanya. Pulang kepada orang tua dan adiknya. 

Tapi ia tak bisa pulang. Pertanyaan seputar pernikahan akan ia dapat segera setelah bokongnya menyentuh kursi di ruang makan rumahnya. 

Di ambang jendela, ia menghela napas. Udara di Jakarta semakin pekat. Bahkan udara juga berebut tempat dengan pendatang berupa asap rokok, asap knalpot, dan aroma limbah.

Kepalanya semakin berat. Di bekalang punggungnya ia mendengar siaran berita. Mayat dengan kepala yang pecah ditemukan di kawasan kumuh Jakarta Utara. Ah, andai hidup hanya butuh nyawa saja, tak perlu udara, tak perlu bahagia, pikirnya. 

Jakarta, 17 Oktober 2015

No comments:

Post a Comment