Thursday, April 7, 2016

Teori Evolusi, Kebahagiaan, dan Simbiosis Mutualisme




Sebenarnya apa itu kebahagiaan? Banyak yang bilang kebahagiaan itu kita sendiri yang buat. Kebahagiaan itu seperti rezeki. Kita dapat sesuai dengan yang kita usahakan. Maka artinya, tidak salah jika setiap orang akan dapat kadar yang berbeda. Malah mungkin ada yang miskin kebahagiaan.

Tapi pasti ada yang mendebat, orang miskin pun bukan tidak berusaha untuk menjadi tidak miskin. Tuhan cukup punya andil menetukan mana yang beruntung dan tidak.

Ah keberuntungan... manusia itu apa dibanding jagad semesta? Jika tidak hati-hati, ada batu di depan kita pun bisa jatuh dan terluka. Jadi, terbuat dari apa kebahagiaan itu?

Dua hari yang lalu, saya dikejutkan berita duka. Kenalan saya mati bunuh diri. Dia pilih menjerat lehernya dengan tali. Jasadnya ditemukan di tengah hutan. Banyak yang tidak percaya. Bahkan mendebat, karena berita lain menyebut dia meninggal dalam kecelakaan.

Saya memang tidak begitu mengenal orang ini. Saya hanya tahu dia melalui cerita teman-teman saya. Sesekali ketemu dia di kantin kampus. Itu pun sudah dulu sekali. Dan cuma dari cerita mulut ke mulut, saya tahu ternyata dulu dia tidak lulus kuliah karena DO.

"Kata (menyebut nama seorang dosen), dia udah lama depresi dan masalahnya berat," ucap teman saya baru-baru ini.

Di luar itu, kemungkinan bahwa seseorang memilih untuk tidak hidup dengan sengaja, apalagi dia ada di dalam lingkaran relasi sosial saya, membuat saya tidak bisa merasa nyaman. Rasanya banyak pertanyaan mendadak jadi seperti makin keras bergema di kuping.

Kenapa? Sampai separah apa hidup ini sampai seseorang bisa berkata "cukup"? Sudah merasa cukup kah kesempatan baginya, sehingga dia tidak lagi butuh memperpanjang pencariannya di dunia? Atau justru dia tidak berhasil menemukan apa yang dia cari, sehingga mencari di luar dunia ini? Apa yang dicari? Kebahagiaan kah? Ataukah dia bukan sebagian dari mereka yang "beruntung", yang bisa menemukan kebahagian di dunia?

Dari pembicaraan dengan dosen itu, kata teman saya, si dosen langsung mengkaitkan fenomena bunuh diri dengan faktor genetik. Sang dosen agaknya salah seorang yang percaya faktor keturunan bisa mempengaruhi dorongan seseorang untuk bunuh diri.

"Kemungkinan dulu ada anggota keluarga yang juga bunuh diri, dan itu secara genetis menurun, sama kaya penyakit mental," lanjut si teman saya, menceritakan omongan sang dosen.

Teman saya itu melanjutkan, si dosen di depan kelas menyampaikan, ketahanan seseorang dalam menghadapi tekanan atau stress itu bukan hanya dipengaruhi lingkungan. Genetik juga berpengaruh. Itu dengan catatan, faktor keturunan ini tidak berarti keturunan langsung. Faktor ketahanan terhadap stress ini bisa berpengaruh loncat ke beberapa generasi selanjutnya.

"Ada yang masalahnya kelihatan sepele bagi orang lain, tapi buat dia berat banget. Ada juga yang masalahnya berat, tapi dia tenang aja ngadepinnya," kata dia lagi.

Sebentar, jangan dulu didebat. Coba berimajinasi. Perkembangan genetis terus berlangsung selama proses kehidupan masih terjadi. Lebih jauh, penganut teori evolusi percaya, sampai sekarang manusia itu masih terus berevolusi. Mungkin proses ini nggak akan pernah berhenti selama dunia masih ada sebagai habitat yang membuat manusia dan makhluk hidup lainnya harus beradaptasi.

Contoh paling dekat, yang paling mudah diamati adalah gigi graham manusia yang paling ujung atau sering disebut gigi bungsu. Atau kalau orang-orang kedokteran gigi dan atropolog ragawi menyebutnya dengan istilah molar ketiga.

Saya ingat waktu kuliah paleoantropologi dan bioarkeologi, dosen saya menjelaskan kenapa sampai sekarang molar ketiga suka bikin masalah. Antara malu-malu tapi mau buat tumbuh. Kadang bisa sampai sakit ketika si molar ketiga mau nongol. Kasus saya malah pernah sampai berdarah-darah.

Jadi, singkatnya, kata dia, ini tanda proses evolusi masih berjalan. Dulu, manusia purba mengkonsumsi tumbuh-tumbuhan dalam jumlah besar. Pola diet itu tentunya butuh perangkat ekstra supaya proses mengunyah menjadi lebih mudah. Sekarang yang terjadi adalah tulang rahang manusia semakin pendek. Keberadaan molar ketiga pun jadi tidak begitu dibutuhkan. Malah posisinya justru menyulitkan, sering menjadi sarang penumpukan makanan yang membuat gigi berlubang. Banyak dokter gigi menyarankan untuk mencabut saja si gigi bungsu.

Kembali ke masalah perilaku bunuh diri juga dipengaruhi faktor genetik. Dalam proses evolusi, yang berubah mungkin tidak hanya fisik. Tapi secara psikologis juga "dites" dalam kemampuannya beradaptasi. Kalau tidak kuat berhadapan dengan lingkungan, maka depresi lah dia dan lebih jauh bisa sampai bunuh diri.

Konsekuensinya adalah, bagi yang memiliki faktor genetis, potensi bunuh diri itu tidak mudah "disembuhkan". Tidak bisa diobati hanya bisa diredam gejalanya. Sama seperti penyakit-penyakit turunan lainnya. 

Hmmm...Entah lah. Saya hanya berandai-andai loh. Tapi karena penasaran saya coba googling. Laman the Telegraph pernah menurunkan artikel yang berjudul "Suicidal Tendencies 'May Be Genetic'" pada tahun 2010. Berdasarkan penelitian yang dikepalai oleh Dr. Martin Kohli, dari the John P Hussman Institute for Human  Genomics di Miami, Amerika Serikat, memang menunjukkan adanya kecendrungan bunuh diri pada satu garis keturunan.

"Bunuh diri ternyata dapat diturunkan dalam sebuah keluarga," katanya.

Penelitiannya dilakukan terhadap 394 partisipan yang depresi. Di antaranya, 113 partisipan sudah melakukan bunuh diri. DNA mereka kemudian dibandingkan dengan 366 orang sehat.

Dari situ, terdapat lima perubahan genetik yang sama pada individu dengan riwayat keluarga yang pernah mencoba bunuh diri dan sudah melakukan bunuh diri. Namanya gen Nucleotide Polumorphisms (SNPs). Dia yang mempengaruhi keinginan seseorang untuk bunuh diri. varian itu akan mempengaruhi dua gen yang berhubungan dengan formasi sel saraf dan pertumbuhan dalam otak. Gen ini, jika dimiliki seseorang, dia akan berisiko 4,5 kali lipat besarnya mengalami percobaan bunuh diri.

"Bunuh diri dan usaha bunuh diri dapat diwariskan dengan adanya kesamaan fenotip dalam satu garis keturunan. Tapi risiko bunuh diri genetik ini berbeda dengan bunuh diri karena gangguan kejiwaan," katanya dalam Journal Archives of General Psychiatry yang telah dipublikasikan.

Artinya, jika diasumsikan yang memacu fungsi gen itu depresi, maka mereka yang membawa gen SNPs ini semacam gagal mencerna bibit-bibit rasa bahagia dari lingkungannya. Sama seperti nenek moyang jerapah, kata Darwin, ada yang berleher pendek, dan ada yang panjang. Ketika terjadi kekeringan jerapah berleher pendek tidak mampu menjangkau daun-daun yang ada di ketinggian. Akhirnya mereka terseleksi dan punah.

Begitu? entah. Lagi-lagi saya cuma berandai-andai...

Tapi soal kejiwaan ini bukan bersifat pasif seperti jerapah berleher pendek. Setidaknya itu yang di ungkap oleh seorang kolomnis, Mike Snelle. Dalam tulisannya di laman Telegraph (24/02/2015), ia menyadari, setelah melakukan beberapa penelitian, dorongan bunuh diri karena genetis tidak benar-benar genetis. Bukan berarti jika disebut genetis, itu tidak terelakan dan tidak bisa diubah sama sekali.

Genetik yang dimaksud dalam konteks ini adalah, ada kontribusi genetis dalam cara seseorang merespon lingkungan mereka. Memang itu menunjukkan kecendrungan untuk perilaku tertentu.

"Tidak ada keniscayaan tentang hal itu. Tidak ada perilaku yang lepas dari lingkungannya," ujarnya.

Namun, katanya, jika depresi adalah cara pikiran memberitahu ada sesuatu yang salah di lingkungan, artinya kasus bunuh diri memberitahu kita, ada sesuatu yang salah dalam masyarakat kita. "Ini adalah indikator kita perlu bertanya beberapa pertanyaan serius soal lingkungan sosial kita, tidak bisa tidak," tegasnya.

Artinya, jika boleh saya simpulkan, bunuh diri bukan semata kegagalan seseorang menanggulangi depresi dalam meraih kebahagiaan. Lingkungan juga berpengaruh menciptakan rasa bahagia, sehingga seseorang itu mampu mengumpulkan bibit-bibit kebahagiaan itu dan meresapinya ke dalam jiwanya.

Dan mungkin apa yang terjadi pada kenalan saya tidak sepenuhnya kegagalannya mencerna bibit-bibit kebahagiaan. Bukan karena ia depresi lantas ia bunuh diri. Tapi ada bibit-bibit kebahagiaan yang tidak terpancar dari lingkungan, sehingga tidak mampu ia tangkap.

Begitu kah? Paling tidak kita, atau saya jadi introspeksi, kebahagiaan bukan untuk diri sendiri tapi juga disampaikan. Orang lain butuh rasa bahagia agar kita juga bisa bahagia. Kebahagiaan mungkin adalah produk simbiosis mutualisme antar sesama makhluk.

*sumber gambar dari sini

No comments:

Post a Comment