Sunday, April 10, 2016

Ketika Urang Kanekes Diributi Soal Perut dan Pelestarian Adat




Gunung teu meunang dilebur
Lebak teu meunang dirusak
Larangan teu meunang ditempak
Buyut teu meunang dirobah
Lojor teu meunang dipotong
Pondok teu meunang disambung*


Amanat karuhun itu mewujud dalam pikukuh yang hingga kini dipegang teguh Masyarakat Baduy. Masih banyak pikukuh lainnya yang termaktub dalam buyut (pantangan) yang telah dititipkan nenek moyang kepada mereka yang menyebut diri urang kanekes itu. Intinya adalah cara hidup sebagaimana ajaran karuhun.

Adat yang telah ditetapkan karuhun pantang diubah. Pantangan itu dalam kehidupan sehari-hari masyarakan Baduy diinterpretasikan secara harafiah, khususnya Baduy Dalam.

Akhir-akhir ini, amanat karuhun semakin sulit dilaksanakan. Modernisasi ibarat musuh tak kasat mata, di satu sisi. Di sisi lain, perut lapar tak bisa bohong. Mereka butuh "kemajuan" untuk bisa bertahan.

Sarpin, salah seorang penduduk Baduy Luar melihat perubahan dimulai saat bagaimana kewajiban berladang pun menjadi pekerjaan yang penuh tantangan. Sejak dulu, adat Baduy memberi syarat bagi mereka yang telah berkeluarga untuk memiliki ladang sendiri. Sekitar tahun 1990-an, berladang dilakukan untuk memenuhi dua keperluan, hidup dan adat. Untuk itu, sehari-hari mereka membuka lahan seluas 1-2 hektar dan mampu menghasilkan 300-500 ikat, yang per ikatnya mencapai 3-4 kg beras.

Mereka kini semakin sulit mendapat hasil sebanyak itu. Berdasarkan hasil survey, rata-rata pembukaan lahan hanya sampai 2.000 m2. Itu menghasilkan 50-100 ikat saja. Artinya, per tahun hanya akan dapat 300 kg.

"Sekarang berladang bukan buat kehidupan shari-hari lagi tapi buat kebutuhan adat," ungkapnya saat datang ke acara diskusi berjudul 'Baduy Dulu dan Kini' di Bentara Budaya Jakarta, belum lama ini.


Soal perubahan, ini sebenarnya sudah mulai terjadi sejak masyarakat Baduy mengalami ledakan penduduk. Dalam acara yang sama, Cecep Eka Purnama membeberkan, berdasarkan catatan pertama demografi, penduduk Baduy tahun 1888 hanya berjumlah 291 jiwa yang menempati 10 kampung.

"Hari ini, berdasarkan informasi Pejabat Bidang Pemerintahan Desa Kanekes, Sarpin, penduduk Baduy berjumlah 11.667 jiwa atau 3.402 kepala keluarga, yang bermukim di 64 kampung," papar Arkeolog UI itu dalam acara yang sama.

Data itu berlawanan dengan kenyataan lahan tempat tinggal mereka yang tidak beranjak dari seluas 5.101,85 hektar. Hitungan ini belum termasuk ladang untuk adat maupun lahan suci yang tidak boleh dibuka untuk apapun.

"Orang Baduy masih memegang pikukuhnya. Tapi masalahnya lahan mereka untuk melakukan perladangan sudah terbatas," katanya.

Padahal, beras yang dihasilkan di ladang tidak boleh dijual. Beras yang mereka panen khusus untuk adat dan kebutuhan sehari-hari. Karena sekarang untuk kebutuhan sehari-hari saja sulit, mereka pun akhirnya mencari penghasilan dengan menjual hasil ladang lainnya, seperti madu, pisang, dll. Penghasilannya di antara lain untuk mencukui kebutuhan beras mereka.

"Untuk upacara wajib beras dari ladang, nggak boleh beli. Ngahuma itu adalah ritual mengkawinkan Nyi Pohaci dengan Bumi. Begitu ritualnya," jelas Cecep lagi.

Makanya, mungkin anak-anak Baduy generasi sekarang "tak beruntung" karena tak lagi bisa mendengar suara lisung di pagi hari. Sarman, warga Baduy Luar yang tinggal di Kampung Kadu Ketug, ketika saya beberapa waktu lalu menginap di rumahnya bercerita, warga Baduy dulunya terbiasa dibangunkan oleh suara tabuhan lisung. Paginya, saya memang kecewa karena saya malah dibangunkan suara keramaian turis yang memang saat itu sedang ramai mendatangi Kampung Baduy.

"Kenapa lisung nggak sering bunyi lagi, karena ladang makin sedikit. Leuit (lumbung,red) sudah nggak bagus karena sudah nggak sering diisi," jelas Cecep.

Saya mungkin beruntung akhirnya bisa menemukan kegiatan ini ketika menjelajahi kampung Baduy di pagi hari

Sementara untuk menerapkan teknologi pertanian di lahan sempit, lagi-lagi terbentur larangan adat. Jangankan teknologi modern, mereka tak boleh memelihara binatang berkaki empat untuk membantu mengolah tanah. Mereka pun dilarang memakai cangkul, apalagi traktor.

Lahan menyempit, hutan habis, air langka, kini mereka masih harus berhadapan dengan kedatangan turis-turis masuk ke kampung mereka. Tak disangkal orang-orang luar ini memang mendatangkan penghasilan tambahan, tetapi juga berpotensi merusak kebijakan adat Baduy.

Di sini "perdebatan" itu terjadi. Tak cuma turis, banyak kelompok yang menamai diri mereka aktifis, atau penggiat, atau peneliti, atau pengamat, atau kaum peduli masyarakat Baduy, atau apapun itu sejenisnya yang mulai merasa perlu "membenahi" kondisi Baduy. Mereka datang membawa konsep kehidupan baru. Itu dari mulai konsep rumah sehat sampai cara-cara menampung air untuk menghindari kekeringan yang sering melanda kampung itu.

Dalam hal ini Cecep pun mengimbau kepada semua pihak untuk berhati-hati membawa pengaruh luar ke dalam komunitas Baduy. Menurutnya masyarakat Baduy telah memiliki kearifan lokal sendiri dalam mengolah lingkungan dan membangun pemukiman.

Misalnya soal rumah adat. Rumah adat Baduy memang mungkin jauh dari tipe rumah sehat versi pemerintah atau WHO. Mereka tak punya jendela. Dapur tradisional yang penuh asap itu juga tidak berventilasi. 

Tapi itu bukan tanpa alasan. Cecep menerangkan, masyarakat Baduy membagi semestanya menjadi tiga bagian. Dunia Atas, diperuntukkan bagi leluhur, Dunia Tengah untuk para manusia, dan Dunia Bawah diperuntukkan bagi orang-orang yang tidak baik.

Menurutnya, ini yang membuat masyarakat Baduy membuat rumahnya tidak langsung menyentuh tanah. Rumah orang baduy berkolong karena menunjukkan mereka penghuni Dunia Tengah. 

"Kalau disemen ini menunjukkan mereka seperti orang Dunia Bawah yang tidak baik. Kemudian asap itu untuk mengusir rayap karena bahan utama rumahnya kan kayu. Ini kearifan lokal. Mereka juga nggak butuh jendela orang udah dingin," ungkapnya.

Kemudian, jika katanya timur menjadi arah hadap rumah yang sehat karena akan mendapatkan sinar matahari pagi yang cukup, rumah Baduy sayangnya menghadap selatan. Tapi lagi-lagi orang Baduy punya penjelasannya sendiri. Di arah selatan perkampungan, terdapat kompleks megalitik yang begitu mereka sakralkan. Lokasi ini merupakan titik tertinggi di sana.

"Selatan ada gunung, ada hutan larangan. Air mengalir dari selatan ke utara. Rumah Pu'un (pemimpin suku, red) ada di selatan. Orang menanam padi dari titik selatan. Mengubur orang juga diarahkan ke selatan," kata Cecep.

Menanggapi itu, Sosiolog, Imam B. Prasodjo menilai ada faktor lain yang juga harus disadari. Kondisi lingkungan saat ini makin menyulitkan Masyarakat Baduy untuk bisa mendukung pelestarian adatnya.

"Sekarang ini yang terjadi memang ada tuntutan untuk konservasi. Menjaga tetap asli. Tapi juga ada kebutuhan perut," ujar dia.

Menurutnya, seiring perkembangan zaman, kewajiban masyarakat Baduy untuk terus melestarikan adat terbentur kebutuhan hidup yang semakin mendesak. Tak hanya perkara sulitnya air atau terbatasnya lahan, masyarakat Baduy pun akhirnya seringkali "dipaksa" untuk berkompromi dengan budaya baru. Misalnya alat kontrasepsi yang kini juga telah digunakan oleh masyarakat Baduy Dalam.

"Soal ini memang hanya akan jadi perdebatan panjang yang nggak selesai-selesai. Kalau saya yang penting bagaimana mereka bisa hidup nyaman," ucap Imam.

Sayangnya, bicara soal kenyamanan itu subjektif. Saya kok jadi teringat masa-masa KKN. Datang ke dusun membawa pemecahan dari persoalan yang kita reka-reka sendiri, padahal mungkin penduduk sana nyaman-nyaman aja. Dalam hal ini, soal mana yang lebih mendesak, rasanya masyarakat Baduy paling tahu apa yang mereka butuhkan.

Sekarang, mendengar Sarpin bicara pun kita akan tahu sudah banyak yang berubah pada masyarakat Baduy. Bahasa Indonesianya lancar. Logat Sunda semakin tipis di pengucapannya. Sarpin juga mengaku mengenyam pendidikan, meski tak formal. Padahal adat tak membenarkan itu.

"Nggak boleh sekolah formal, tapi saya coba supaya masyarakat di sana tetap tahu soal pendidikan. Saya pernah ngajar juga," ceritanya.

Kalau sudah begitu, masa kita mau cegah mereka yang merasa butuh pendidikan? Karena bagi Sarpin, tinggal di Baduy tidak harus bodoh. Ia melihat, justru teman-teman yang lebih pintar, terbukti lebih mampu menghargai budaya.

"Hidup di tengah-tengah modernitas itu berat," kata dia mengakui pada akhirnya.

 ***

Dan ini beberapa jepretan yang saya ambil ketika main ke kampung Baduy beberapa waktu yang lalu......




Gadis Penenun. Di Baduy, gadis yang tidak bisa menenun sulit dapat suami




Leuit atau lumpung padi






*artinya:
Gunung tak boleh dihancur
Lembah tak boleh dirusak
Larangan tak boleh dilanggar
Buyut tak boleh diubah
Panjang tak boleh dipotong
Pendek tak boleh disambung

No comments:

Post a Comment