Saturday, August 27, 2016

Di Mana Tanah Air Saya dan Apa itu Nasionalisme?




Baru-baru ini Arsip Nasional RI (ANRI) menggelar pameran di Sarinah, Jakarta Pusat. Yang dipamerkan rata-rata arsip sebelum, ketika, dan setelah kemerdekaan RI. Tujuannya, kata Mustari Irawan yang adalah Kepala Anri itu, untuk memberikan pencerahan nasionalisme kepada masyarakat luas.

Biasa lah, menjelang 17 Agustus si Nasionalisme itu jadi obrolan khalayak. Terus terusan disebut sampai pada puncaknya pas pidato presiden di TV. Setelah itu, masih disebut, mungkin dalam diskusi di café-café yang mengundang wartawan. Setelah itu, seiring dengan semakin habisnya bulan Agustus, orang mulai sembuh dari penyakit kerasukan Nasionalisme.

Tapi sebenarnya siapa itu Nasionalisme? Kalau masih SD dan diajarkan PPKN pasti bisa jawab tanpa ragu. Nasionalisme itu rasa kebangsaan sebagai bangsa yang berdaulat dan merdeka, katanya. Paling tidak secara dogmatis, seseorang memiliki nasionalisme jika berupaya melindungi budaya dari masuknya budaya asing. Kalau secara politis mungkin melawan penindasan hak manusia dari kolonialisme.

Upayanya diawali dengan membentuk identitas nasional. Nama Indonesia salah satunya. Penghuni pulau Jawa, Kalimantan, dan sebagainya itu disatukan dan dilabeli Orang Indonesia. Lalu diberi pelajaran PPKN untuk yakin dengan identitas “saya orang Indonesia”.  Sudah besar harus punya KTP dan bikin passpor kalau mau ke luar negeri karena akan melewati batas negara.

Tapi pernah kah ada yang mejelaskan kenapa orang Batak, orang Baduy, orang Dayak, Orang Sunda, Orang Jawa, orang Bugis, orang Asmat sekarang harus juga mengakui keindonesiaan mereka? Toh sebelumnya mereka punya sistem pemerintahan sendiri, punya wilayah sendiri.

“Kita sekarang memang berbeda, tapi dulu kita satu”. Begitu kata Ery Soedewo, peneliti dari Balai Arkeologi (Balar) Medan. Sebelumnya, ia meneliti awal mula berpisahnya bahasa Gayo dan Karo menjadi dua bahasa yang berbeda dari sudut pandang arkeolinguistik. Bahasa memang menandakan keragaman sekaligus mewakili identitas suku bangsa tertentu.

Dalam sebuah studi arkeologis yang belum ada habisnya itu, sebagian besar kepulauan Indonesia dulunya berbahasa sama, bahasa Austronesia. Tapi dulu juga bukan hanya di kepulauan Indonesia, bahasa ini dipakai orang-orang yang meninggali Madagaskar di ujung barat hingga Kepulauan Paskah di ujung timur Pasifik, dari Taiwan-Mikronesia di batas utara hingga Selandia Baru di batas selatan. Orang-orang penutur Austronesia ini pun tak begitu saja ada di kepulauan Nusantara. Mereka datang dari Taiwan.
Akhirnya diputuskan oleh para ahli, bahwa para pendatang yang bicara dengan bahasa Austronesia itu adalah nenek moyang penduduk Indonesia sekarang. Sampai sekarang juga ada 60 persen penutur Austronesia menghuni Indonesia. Tapi, mereka bukanlah satu-satunya pendatang di Nusantara. Jangan lupakan kedatangan bangsa Arab, India, maupun Eropa.
Bahkan kata Harry Truman Simanjuntak, seorang arkeolog senior yang bermarkas di Puslit Arkenas, sebelumnya paling tidak ada tiga kelompok yang pernah melakukan migrasi besar ke Nusantara. Mereka adalah Australomelanesid, penutur Austro-asiatik, dan penutur Austronesia itu tadi.
Penutur Austro-asiatik datang sekira 4.300 tahun lalu. Selanjutnya adalah penutur Austronesia yang datang pada 4.000 tahun lalu. Sebelum keduanya tiba, di Indonesia sudah tinggal kelompok lainnya, Australomelanesid. Mereka menghuni kira-kira 13.000-5.000 tahun lalu dan hingga sekarang hidup di wilayah Indonesia timur, termasuk di Papua.
Lalu apa? Ya kayanya tidak mungkin melabeli kelompok tertentu sebagai manusia asli Indonesia. Herawati Sudoyo, peneliti biologi molekuler dari Eijkman Intitute, pernah menjelaskan ini dari sudut pandang genetik. Rupanya, hampir semua etnis di Indonesia memiliki gen yang saling bercampur. Di antaranya Alatic, Sino-tibetan, Austro-asiatik, Austronesia, Papua, Dravida, Indo-Eropa, dan Niger-Kongo.
“Nenek moyang penutur Austro-asiatik di Asia Tenggara yang te rungkap dari data genomik menunjukkan adanya migrasi Austronesia ke jalur barat yang bercampur dengan penutur Austro-asiatik dan kemudian menetap di Indonesia barat,” ujarnya.
Misalnya, gen manusia Jawa asli ternyata membawa genetika Austro-asiatik dan Austronesia. Begitu pula manusia etnis Dayak dan manusia di Pulau Sumatra, yang tampak pada etnis Batak Toba dan Batak Karo.
Sementara penduduk asli Pulau Alor, misalnya, membawa genetika Papua. Manusia asli Lembata dan Suku Lamaholot, Flores Timur membawa genetika Papua dengan presentase paling tinggi dan sedikit genetika bangsa penutur Austronesia.
Jadi apa yang menyatukan Indonesia sekarang sehingga orang Dayak, orang Jawa, Orang Batak, dan sebagainya itu bisa bangga menyebut diri: “Kami orang Indonesia”? Dan lantas ketika menyadari bahwa kita semua itu awalnya hanyalah bangsa pendatang maka siapa yang bisa menjelaskan konsep nasionalisme dan tanah air?
Yang jelas Indonesia bukan milik siapapun. Konsep dijajah dan menjajah itu juga lebih mirip sikap adaptasi berjuang untuk mempertahankan diri di tengah perubahan yang datang. Artinya kita yang hidup sampai sekarang, mau itu ras apapun, sama-sama termasuk kelompok yang bertahan menghuni Indonesia. Rasanya saya bakal setuju sama omongan kalau pribumi itu sikap, bukan darah.
Ya jadinya kalau saya sekarang dicekokin dengan bahasan nasionalisme saya akan mati gaya. Konsep nasionalisme rasanya tidak sesimpel waktu SD dulu.

Kalau saya sih jika ditanya, saya akan tegas dan lugas bilang: Saya orang Jawa, lahir di Yogyakarta, besar di Bekasi, jadi maafkan bahasa Jawa saya yang campur aduk dengan gue-elo, meski bapak ibu saya asli orang Jogja.

Ya mudah-mudahan dimaafkan. Toh pada dasarnya percampuran budaya juga tidak bisa dihindari. Kalau ada temanmu yang lebih suka film-film Korea atau nyanyi-nyanyi lagu Suju dengan bahasa yang nggak kamu mengerti, jangan khawatir. Dia bukannya tidak cinta ibu bapaknya yang bukan orang Korea. Mencampurkan nasionalisme, keindonesiaan, dan selera musik, fashion, atau film itu terlalu absurd. Toh Indonesia itu memang bhineka dari dulunya. Sekarang hanya bertambah bhineka saja karena memang jamannya sudah semakin terbuka. Dulu budaya luar dibawa ke mana-mana cuma bisa pakai perahu cadik atau jalan kaki. Sekarang kan sudah ada pesawat, mobil, internet, satelit, bla bla bla… Kecuali kamu mengasingkan diri di hutan terlarangnya Suku Baduy, atau di pelosok terdalam hutan Papua yang mungkin belum terjamah sampai sekarang. Tapi mungkin karena dulu saya lahir di Jogja, sekarang saya bisa bilang kan kalau Jogja itu tanah air saya?

*Gambar dari sini



No comments:

Post a Comment