Baru-baru ini Arsip Nasional RI (ANRI) menggelar pameran di
Sarinah, Jakarta Pusat. Yang dipamerkan rata-rata arsip sebelum, ketika, dan
setelah kemerdekaan RI. Tujuannya, kata Mustari Irawan yang adalah Kepala Anri
itu, untuk memberikan pencerahan nasionalisme kepada masyarakat luas.
Biasa lah, menjelang 17 Agustus si Nasionalisme itu jadi
obrolan khalayak. Terus terusan disebut sampai pada puncaknya pas pidato
presiden di TV. Setelah itu, masih disebut, mungkin dalam diskusi di café-café yang
mengundang wartawan. Setelah itu, seiring dengan semakin habisnya bulan
Agustus, orang mulai sembuh dari penyakit kerasukan Nasionalisme.
Tapi sebenarnya siapa itu Nasionalisme? Kalau masih SD dan
diajarkan PPKN pasti bisa jawab tanpa ragu. Nasionalisme itu rasa kebangsaan
sebagai bangsa yang berdaulat dan merdeka, katanya. Paling tidak secara
dogmatis, seseorang memiliki nasionalisme jika berupaya melindungi budaya dari
masuknya budaya asing. Kalau secara politis mungkin melawan penindasan hak
manusia dari kolonialisme.
Upayanya diawali dengan membentuk identitas nasional. Nama
Indonesia salah satunya. Penghuni pulau Jawa, Kalimantan, dan sebagainya itu
disatukan dan dilabeli Orang Indonesia. Lalu diberi pelajaran PPKN untuk yakin
dengan identitas “saya orang Indonesia”.
Sudah besar harus punya KTP dan bikin passpor kalau mau ke luar negeri
karena akan melewati batas negara.
Tapi pernah kah ada yang mejelaskan kenapa orang Batak,
orang Baduy, orang Dayak, Orang Sunda, Orang Jawa, orang Bugis, orang Asmat sekarang
harus juga mengakui keindonesiaan mereka? Toh sebelumnya mereka punya sistem
pemerintahan sendiri, punya wilayah sendiri.
“Kita sekarang
memang berbeda, tapi dulu kita satu”. Begitu kata Ery Soedewo, peneliti dari
Balai Arkeologi (Balar) Medan. Sebelumnya, ia meneliti awal mula
berpisahnya bahasa Gayo dan Karo menjadi dua bahasa yang berbeda dari sudut
pandang arkeolinguistik. Bahasa memang menandakan keragaman sekaligus mewakili
identitas suku bangsa tertentu.
Dalam sebuah studi arkeologis yang belum ada habisnya itu, sebagian
besar kepulauan Indonesia dulunya berbahasa sama, bahasa Austronesia. Tapi dulu
juga bukan hanya di kepulauan Indonesia, bahasa ini dipakai orang-orang yang
meninggali Madagaskar di ujung barat hingga Kepulauan
Paskah di ujung timur Pasifik, dari Taiwan-Mikronesia di batas utara hingga
Selandia Baru di batas selatan. Orang-orang penutur Austronesia ini pun tak
begitu saja ada di kepulauan Nusantara. Mereka datang dari Taiwan.
Akhirnya diputuskan oleh
para ahli, bahwa para pendatang yang bicara dengan bahasa Austronesia itu adalah
nenek moyang penduduk Indonesia sekarang. Sampai sekarang juga ada 60 persen
penutur Austronesia menghuni Indonesia. Tapi, mereka bukanlah satu-satunya
pendatang di Nusantara. Jangan lupakan kedatangan bangsa Arab, India, maupun
Eropa.
Bahkan kata Harry Truman
Simanjuntak, seorang arkeolog senior yang bermarkas di Puslit Arkenas,
sebelumnya paling tidak ada tiga kelompok yang pernah melakukan migrasi besar
ke Nusantara. Mereka adalah Australomelanesid, penutur Austro-asiatik, dan
penutur Austronesia itu tadi.
Penutur Austro-asiatik
datang sekira 4.300 tahun lalu. Selanjutnya adalah penutur Austronesia yang
datang pada 4.000 tahun lalu. Sebelum keduanya tiba, di Indonesia sudah tinggal
kelompok lainnya, Australomelanesid. Mereka menghuni kira-kira 13.000-5.000 tahun
lalu dan hingga sekarang hidup di wilayah Indonesia timur, termasuk di Papua.
Lalu apa? Ya kayanya tidak mungkin
melabeli kelompok tertentu sebagai manusia asli Indonesia. Herawati Sudoyo,
peneliti biologi molekuler dari Eijkman Intitute, pernah menjelaskan ini dari
sudut pandang genetik. Rupanya, hampir semua etnis di Indonesia memiliki gen
yang saling bercampur. Di antaranya Alatic, Sino-tibetan, Austro-asiatik,
Austronesia, Papua, Dravida, Indo-Eropa, dan Niger-Kongo.
“Nenek moyang penutur
Austro-asiatik di Asia Tenggara yang te rungkap dari data genomik menunjukkan
adanya migrasi Austronesia ke jalur barat yang bercampur dengan penutur
Austro-asiatik dan kemudian menetap di Indonesia barat,” ujarnya.
Misalnya, gen manusia Jawa
asli ternyata membawa genetika Austro-asiatik dan Austronesia. Begitu pula
manusia etnis Dayak dan manusia di Pulau Sumatra, yang tampak pada etnis Batak
Toba dan Batak Karo.
Sementara penduduk asli
Pulau Alor, misalnya, membawa genetika Papua. Manusia asli Lembata dan Suku
Lamaholot, Flores Timur membawa genetika Papua dengan presentase paling tinggi
dan sedikit genetika bangsa penutur Austronesia.
Jadi apa yang menyatukan Indonesia sekarang sehingga
orang Dayak, orang Jawa, Orang Batak, dan sebagainya itu bisa bangga menyebut
diri: “Kami orang Indonesia”? Dan lantas ketika menyadari bahwa kita semua itu awalnya hanyalah
bangsa pendatang maka siapa yang bisa menjelaskan konsep nasionalisme dan tanah
air?
Yang jelas Indonesia bukan milik siapapun. Konsep dijajah dan
menjajah itu juga lebih mirip sikap adaptasi berjuang untuk mempertahankan diri
di tengah perubahan yang datang. Artinya kita yang hidup sampai sekarang, mau
itu ras apapun, sama-sama termasuk kelompok yang bertahan menghuni Indonesia.
Rasanya saya bakal setuju sama omongan kalau pribumi itu sikap, bukan darah.
Ya jadinya kalau saya sekarang dicekokin dengan bahasan
nasionalisme saya akan mati gaya. Konsep nasionalisme rasanya tidak sesimpel
waktu SD dulu.
Kalau saya sih jika ditanya, saya akan tegas dan lugas
bilang: Saya orang Jawa, lahir di Yogyakarta, besar di Bekasi, jadi maafkan bahasa
Jawa saya yang campur aduk dengan gue-elo, meski bapak ibu saya asli orang
Jogja.
Ya mudah-mudahan dimaafkan. Toh pada dasarnya percampuran
budaya juga tidak bisa dihindari. Kalau ada temanmu yang lebih suka film-film Korea
atau nyanyi-nyanyi lagu Suju dengan bahasa yang nggak kamu mengerti, jangan
khawatir. Dia bukannya tidak cinta ibu bapaknya yang bukan orang Korea. Mencampurkan
nasionalisme, keindonesiaan, dan selera musik, fashion, atau film itu terlalu
absurd. Toh Indonesia itu memang bhineka dari dulunya. Sekarang hanya bertambah
bhineka saja karena memang jamannya sudah semakin terbuka. Dulu budaya luar
dibawa ke mana-mana cuma bisa pakai perahu cadik atau jalan kaki. Sekarang kan
sudah ada pesawat, mobil, internet, satelit, bla bla bla… Kecuali kamu
mengasingkan diri di hutan terlarangnya Suku Baduy, atau di pelosok terdalam
hutan Papua yang mungkin belum terjamah sampai sekarang. Tapi mungkin karena dulu
saya lahir di Jogja, sekarang saya bisa bilang kan kalau Jogja itu tanah air
saya?
*Gambar dari sini
No comments:
Post a Comment