![]() |
Gambar nyomot dari sini |
"Ini Budi. Ini ibu Budi."
Dari lantai atas, saya mendengar Ais mengeja sepatah dua patah kata dengan cukup lancar. Dipandu si mama, Ais mulai lancar membaca.
Kalau dipikir-pikir, Ibu dan anak ini hubungannya tidak jauh beda dengan suasana hati saya. Kadang manis, kadang ganas. Si mama bisa tertawa renyah ketika anaknya yang masih duduk di bangku TK itu melakukan hal konyol khas anak kecil. Tapi si mama juga bisa membentak dengan suara memekakkan telinga ketika si anak melakukan kekonyolan lainnya.
Agaknya menjadi Ais harus lah pintar melihat kondisi. Dia tidak boleh "melucu" di saat yang salah. Kalau tidak, bukannya tawa malah begini yang terdengar:
"AIS NGAPAIN SIH?"
"AIS BERISIK BANGET SIH?"
Padahal saat itu Ais lagi nyanyi Let It Go-nya Frozen versi Ais yang saya dengernya kaya nyanyi pakai bahasa di telenovela. Padahal, kalau nggak lagi nyanyi Ais pas itu lagi godain mamanya yang katanya: "Mama, mama tidur mulu sih..?"
Suatu hari pernah begini, kalau tidak salah ingat, Ais lagi libur. Siang hari si mama sibuk di dapur menyiapkan makan siang. Ais sendirian dan tumben-tumbenan anteng. Tau-tau Ais nyeletuk bilang:
"Mamaaaaa... Ais mau punya pacaaaar!"
Dari atas sini otomatis saya menahan tawa. Aduh, posisi saya memang serba salah. Saya dan lima kawan lainnya adalah penghuni kos-kosan yang letaknya di lantai dua rumah milik keluarga lucu ini. Saya merasa harus pura-pura tidak dengar ketika ada sesuatu yang aneh. Makanya ketika Ais nyeletuk begitu saya berusaha sebisa mungkin untuk tidak tertawa. Paling tidak jangan sampai tawa saya bisa didengar penguhuni di bawah sana.
Kembali ke Ais yang pengen punya pacar. Teorinya adalah jika anak saya nanti, yang masih kecil begini, tiba-tiba minta pacar, kita pasti akan tanggapi dengan tertawa. Ais.. Ais... Pacar itu apa sih Ais? Pasti Pacar versimu sama Pacar versi mamamu nggak sama kan?
Ini lucu dan wajar mungkin. Kenapa wajar? Lah kalau malam si mama yang sudah bisa santai tanpa pekerjaan rumah itu pasti duduk bersama Ais, Papa, dan Bang Ojan di karpet depan TV dan asik menonton Ganteng-Ganteng Srigala.
Pasti tau kan? Sinetron itu emang bener-bener menjadi kegemaran untuk acara menonton TV bersama keluarga (Angkat sebelah alis). Nggak heran lah... Ais aja sampai hafal Soundtrack lagunya kok. Apalagi yang lain... kikikik.
Nah, begitu Ais minta pacar, tanggapan mama ternyata beda jauh sama tanggapan Risa kalau nanti punya anak.
"Ehhh, apa Ais? Ais masih kecil, nggak boleh pacar-pacaran!"
"Haaa... Ais pokonya mau punya pacar!"
"Kenapa sih Ais? nggak boleh, Ais masih kecil aja udah mikir pacar."
"Haaaaaa..."
"Nggak!"
"Yaudah Ais pacarannya sama cewe kok..."
Tuh kan Ais nggak mikirin pacaran a la emak-emak!
Tambah lah saya nggak tahan buat ketawa kenceng. Ais oh Ais. Memang sih saya juga sering dibikin gregetan sama anak ini. Ais sering naik dan masuk begitu saja tanpa izin ke kamar-kamar kami. Dia juga usil mainin dan minta barang-barang kami. Dia juga berisik suka tanya-tanya tanpa berhentei.
Tapi sungguh percaya lah, Ais anak yang cerdas. Kenakalannya itu nggak harus dihadapi dengan emosi. Malah sebenarnya si mama itu yang kadang bikin emosi.
Suatu hari, di luar sedang hujan deras. Ais merengek minta pergi ke rumah nenek.
"Ais mau ke rumah nenek..!!"
"Ais, itu hujan.."
"Haaa... Ais mau ke rumah nenek!"
"Ais ujan tuh liat! Ais buta ya nggak bisa liat!"
Aduh bu, Anda nggak lucu deh bu. Ya wajar sih kalau si Ais lagi marah jadi nggak ngenakin juga bahasanya, jadi suka susah dibilangin, suka susah mendengarkan omongan orang lain, terutama kalau dia lagi ada maunya.
"Ntar Ais Sumpahin kalo nggak beli!" itu katanya saat minta dibelikan sesuatu oleh si Papa.
Alhasil banyak waktu di pagi dan malam hari, saya lalui dengan bahan dengar semacam ini. Si mama, saya pikir, benar-benar pembunuh karakter bagi anak-anaknya. Bukan cuma Ais, tapi Abang Ojan juga sering kena damprat.
Paling mengganggu adalah saat keduanya debat soal prestasi. Prestasi menurut mama itu kalau Ojan bisa masuk SMAN 28, sama kaya Abang tertuanya, Abang Faisal. Prestasi menurut kamus Mama itu berarti nilai pelajaran yang bagus. Padahal selama ini Ojan lebih sering dapat penghargaan di bidang seni dan olahraga. Terbukti piala yang membludag itu kebanyakan disumbang oleh anak kedua itu yang sepertinya cukup fasih dalam dua bidang tadi.
"Siapa bilang saya nggak berprestasi, itu buktinya piala saya banyak banget!" kata Ojan suatu hari.
"Yeee... Buktiin kamu bisa kaya abang masuk SMA 28. Prestasi itu pelajaran!" Si Mama balas berteriak dengan suara melengking yang menyebalkan.
Saat itu tidak ada yang perlu saya tahan. Saya hanya diam, mendengarkan, sekaligus bersyukur. Betapa orang tua saya sungguh menyenangkan, toleran, terbuka, dan yang jelas selalu memberikan saya kebebasan memilih, berpikir, dan berpendapat. Orang tua saya selalu mendukung apa pun yang saya cita-citakan. Mereka selalu membuka diskusi saat mereka tidak setuju dengan prilaku saya.
Mengamati dari atas sini, membuat teori-teori bagaimana mendidik anak dan menjadi orang tua ideal itu seakan menguap bersama kuapan di tengah malam. Jika saja saya tidak pernah kenal orang tua saya, jika saja saya tidak pernah dicekoki teori-teori mendidik anak dari wawancara psikolog dan pembawa acara di suatu acara TV, saya mungkin tidak akan menulis soal ini di sini. Kenyataannya, kebiasaan dari kecil lebih mungkin akan membekas dan diturunkan kepada anak. Setuju?
No comments:
Post a Comment