![]() |
Sumber gambar dari sini. |
Nama seram tak cukup membuat kawasan pelabuhan kuno itu dihindari. Terbukti, Bangsa Melayu, Persia, Gujarat, India, Cina, Arab, Belanda, Portugis, Maluku, Makasar, Gresik justru datang membaur seiring dengan aktivitas dagang kala itu. Kelompok masyarakat dari berbagai penjuru dunia itu datang menyandarkan kapal berlayar lebarnya untuk saling bertukar komoditas berupa lada, benih, hasil tekstil, keramik, dan kebutuhan sehari-hari.
Memang, sejak Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, para pedagang lebih memilih untuk mengalihkan pelayaran mereka ke Pelabuhan Karangantu, Banten. Sebagian betah dan menetap, bahkan hingga beranak pinak, yang kemudian bersama mewarnai kota pelabuhan terbesar kedua di Nusantara itu.
Pada masa perkembangan awal, Banten adalah kota kerajaan maritim. Kawasan Banten Lama, yang kini dikenal sebagai Desa Banten Lama, dibentuk sebagai pusat kesultanan dan sebagai kota bandar. Sebagaimana perkotaan kuno di beberapa tempat, di Pulau Jawa khususnya, Banten Lama sudah dilengkapi dengan sarana perkotaan. Keraton, masjid, alun-alun, pasar, pelabuhan, jalan, dan perkampungan membentuk wajah Kota Banten kala itu.
Sayang, hampir semua bangunan yang berkaitan dengan Kesultanan Banten dirusak oleh pemerintah kolonial Belanda. Kesultanan pun runtuh ditandai dengan sistem kerajaan yang tak lagi berlaku sejak abad ke-19. Menurut laman Balai Pelestarian Cagar Budaya Serang, Belanda pun menggeser pusat administrasi pemerintahan Banten ke sebuah tempat yang dikenal dengan nama Serang. Dan malam itu, mengawali perjalanan dari Kota Rangkasbitung, kami, saya dan dua teman saya, ingin membuka kembali pesona Kota Banten Lama.
Magis. Itu satu kata yang bisa dengan sempurna menjelaskan perasaan saya ketika tiba di kota ini. Selain mitos asal usulnya sebagai tempat hantu yang melepaskan diri, katanya, Banten juga menjadi tempat tinggal para ahli ilmu kebatinan.
Berangkat tanpa pengetahuan apa-apa soal transportasi, kami asal saja menuju Stasiun Tanah Abang selepas adzan Ashar. Sampai di Stasiun Tanah Abang, kerumunan orang yang mengantri tiket belum cukup membuat kami paham bahwa mereka akan naik kereta yang sama. Di pikiran kami yang polos, ke Banten itu tidak perlu beli tiket lagi, tapi pakai kartu pra-bayar seperti biasa kami gunakan ketika akan naik KRL. Tanya sana tanya sini, ternyata kami harus beli semacam tiket kertas manual untuk perjalanan jauh, dan sialnya ketika mau antri, tiket sudah habis. Baru lah sadar krumunan manusia tadi itu rupanya pesaing kami.
Sebelum mengawali perjalanan nekat ini, saya sebenarnya sempat bertanya ke seorang teman yang memang warga Banten. Katanya, kami bisa naik KRL ke tanah abang dan lanjut naik kereta ke Stasiun Serang. Dari sana, kami bisa naik angkot jurusan Stasiun Karangantu.
Yah mau gimana, sepemahaman saya, ke Stasiun Serang itu ada KRL-nya. Alhasil kami begitu santai, dan tidak memperhatikan jadwal kereta, yang ternyata jadwalnya tidak seperti KRL yang bisa seenaknya memilih waktu keberangkatan.
Jadi, setelah minta saran dari si satpam penjaga stasiun, kami dianjurkan ke Stasiun Duri dulu untuk beli tiket KRD jurusan Stasiun Rangkasbitung. Yasudah lah, pikir kami, yang penting masuk Banten dulu. Pasti di Rangkasbitung ada angkutan untuk melanjutkan perjalanan ke Serang. Syukur lah, biarpun baru bisa berangkat pukul 18.06 WIB, tiket pun bisa kami dapat tanpa antri di sana dengan harga Rp 5.000!
Di kereta, Kami bertiga duduk sebangku dengan seorang ibu-ibu berjilbab. Kami beruntung. Katanya, kereta yang kami naiki ini adalah kereta terakhir menuju Rangkasbitung. Biar begitu, saya tidak menduga jadi begini. Sebenarnya bingung juga setelah sampai di Rangkasbitung nanti kami harus kemana mengingat hari sudah malam.
Waktu pun menunjukkan pukul 21.00 WIB ketika kami keluar dari Stasiun Rangkasbitung. Cukup lama juga kami dalam perjalanan tadi. Eh dasar, memang beruntung kami hari ini. Tidak perlu pusing memikirkan nasib selanjutnya, temannya teman saya yang juga tinggal di pinggiran Kota Serang ternyata berbaik hati menjemput kami setelah diberitahu bahwa kami di Rangkasbitung.
Jadilah kami berenam dengan tiga motor. Berkat jasa temannya teman saya tadi beserta dua temannya, kami bisa sampai langsung ke Banten Lama. Untuk sampai di sana, masih butuh waktu dua jam yang ditandai dengan pantat panas karena terus menerus di atas motor. Dan sumpah! Tak terbayang seandainya tidak ada tiga penjemput dadakan ini. Kenapa? Untuk ukuran saya, pukul 21.00 belum lah begitu malam. Tapi di sini, jalanan sudah sepi. Tanpa penerangan memadai, motor kami membelah kesunyian dan (nyaris) kegelapan.
Banten mungkin memang punya sihir, dan saya masih bisa melihatnya. Salah satunya berpendar bersama cahaya bulan yang benar-benar berjasa malam itu. Saya seumur-umur baru kali itu melihat si primadona malam bersolo karir menerangi sebuah tempat yang sebenarnya tidak jauh dari kota. Tidak perlu lampu, saya bisa melihat jelas hamparan sawah detil dengan pepohonan di sekelilingnya di pinggiran jalan yang saya lalui.
Di tengah lamunan itu, teman yang membawa saya dengan motornya tiba-tiba bercerita kalau Banten bukan tempat yang aneh untuk menuntut ilmu kebatinan. Sambil bercerita begitu, saya seketika sadar, dia selalu membunyikan klakson di daerah-daerah tertentu. Anehnya, klakson dibunyikan bukan di persimpangan, tapi justru saat kami melewati rimbunan pohon di pinggir jalan.
"Itu tadi kan kuburan," Si Ahmad, nama teman saya itu, menjelaskan.
Katanya, biar tidak bisa melihat, kita harus percaya kalau kita hidup berdampingan dengan mereka yang beda dimensi. Sebagaimana dengan sesama manusia, kita juga harus menghargai mereka. Salah satu caranya, ketika lewat daerah yang dianggap ditinggali komunitas alam lain itu, setidaknya kita bisa memberi tanda.
"Ya aku juga nggak bisa liat sih, tapi siapa tau ada yang nyebrang, kita kasih tanda aja," begitu kata dia selanjutnya. Dan... Baiklah....Mungkin sejak si Belanda tanpa sengaja melepaskan hantu dalam guci, warga Banten sudah mulai membiasakan diri hidup berdampingan dengan keturunannya yang diyakini hidup di semak dan permakaman.
Syukur, saya tak lagi harus menerjemahkan kemagisan kota ini. Karena setelah berulang kali mencoba mengubah cara duduk supaya si bokong sedikit lebih adem, akhirnya kami sampai di gapura dengan tulisan yang kira-kira bunyinya "Selamat Datang di Kawasan Banten Lama". Dari situ, kami masih harus melewati jalanan becek dengan kiri kanannya adalah tempat pemotongan kayu. Suasana pelabuhan makin terasa mulai dari sini.
Bersambung.....
No comments:
Post a Comment