Sunday, May 3, 2015

Memadatkan Angan-Angan

Angan-angan itu ternyata nggak pernah cuma jadi udara. Apalagi kalau ada usaha yang berusaha memadatkannya jadi kenyataan.

Ini sudah Bulan Mei. Februari tahun lalu saya datang ke kota berlambang Monas ini untuk memadatkan angan-angan saya.

Setelah lulus dan diwisuda menjadi seorang Sarjana Sastra, yang sebenarnya saya bukan mantan mahasiswa sastra sama sekali melainkan Arkeologi, saya hanya punya bayangan sedikit soal karir saya nanti. Sedikit itu kalau dihitung-hitung ternyata pilihannya cuma ada tiga, yaitu bekerja di Museum, menjadi penulis, atau menjadi seorang jurnalis.

Pilihan pertama untuk bekerja di museum akhirnya saya tangguhkan dari deretan cita-cita saya. Bukan dicoret, hanya ditangguhkan. Kenapa? banyak alasannya, yang jelas saya nggak cocok dengan sistem kerja permuseuman di Indonesia saat ini.

Menjadi penulis? penulis saja tanpa embel-embel instansi maksud saya di sini atau sebut lah penulis lepas. Jujur saja saya nggak merasa sehebat itu untuk bisa menyebut diri sebagai penulis independen. Saya pemalas, moody, dan hey saya memang nggak sehebat itu. Hahahaha.

Maka, saya memberanikan diri menjadi penggombal tangguh yang pantang menyerah mengirimkan berkali-kali surat lamaran pekerjaan ke kantor media di mana pun di Indonesia. Prinsip saya, saya nggak peduli di mana itu saya harus bekerja karena saya suka. Jurnalis, pikir saya lagi, adalah wujud profesi lainnya yang bisa mendukung keinginan saya untuk menjadi penulis.

Kalau dipikir-pikir saya benar-benar nggak punya pengalaman sama sekali dengan dunia ini. Jadi wajar lah kalau gombalan saya itu nyatanya nggak ngefek. Tapi akhirnya, setelah berkali-kali tidak ditanggapi, panggilan itu datang. Agak bangga karena yang memanggil salah satu koran nasional terbesar di Indonesia.

Sesuai bayangan saya, pekerjaan ini memaksa keluar semua keberanian yang ada di dalam diri saya. Satu tahun saya "dipaksa" berhadapan dengan orang-orang yang tidak terbayangkan dan bertanya soal macam-macam yang akhirnya bikin saya jadi ekstra kepo! Malah sedikit rese' karena mau tau aja urusan orang.

Setahun berlalu. Masa-masa menjadi calon reporter selesai begitu Bulan Februari di tahun ini berakhir. Saya sudah resmi bisa menyebut diri seorang jurnalis. Saya punya kartu pers. Saya punya kartu nama dengan nama diri dan nomor telpon pribadi.

Tapi sebenernya itu nggak penting. Menjadi reporter, untuk saya pribadi bukan lah embel-embel kata "Journalist" dalam kartu nama. Saya merasa pekerjaan saya ini justru penuh risiko.

Dengan tulisan seorang reporter, masyarakat bukan hanya diberitahu tentang kebenaran tapi bisa juga kebohongan. Banyak kejadian justru membuat saya merasa bersalah. Bersalah karena pekerjaan ini juga tidak jauh dari muslihat. Banyak kasus yang menunjukkan bahwa kebenaran itu diciptakan bukan diceritakan.

Perjalanan setahun yang sudah lebih tiga bulan ini, meski belum lama, sudah membuat saya bisa banyak berpikir bahwa betapa pun kita berusaha independen, kita tetap berada dalam satu sistem maha besar yang saling terkait. Jadi, selama itu masih bisa dihindari, hindari saja. Jika sulit untuk dihindari, yakin lah masih ada kekuatan dahsyat yang pasti akan membantu. Kekuatan yang sama yang bisa memadatkan angan-angan menjadi kenyataan.




No comments:

Post a Comment