Lantai bawah kos saya sudah ramai ketika akhirnya saya bangun untuk sahur. Ibu kos sudah mulai teriak-teriak, entah meneriaki si bapak atau anaknya Ojan.
Di lantai atas, saya hanya sahur berdua. Kami sahur dalam diam, karena masih terbawa kantuk. Lantai bawah juga tiba-tiba sunyi. Suara ojan yang biasanya paling berisik juga sudah hilang, sepertinya sudah kembali teredam pintu kamarnya.
Belum mendekati waktu subuh, tiba-tiba saya dikagetkan suara motor negbut di depan rumah. Bunyi mesin menanjak di jalanan depan itu diikuti suara teriakan kalap dari laki-laki yang kemudian saya ketahui adalah penghuni kos-kosan tetangga.
Saya tahu apa itu. Tapi saya tidak mau komentar. Saya cuma melirik teman di depan saya, berharap ia tidak menyebut apa yang ada di pikiran saya.
Tapi rupanya keluarga pemilik kos di lantai bawah lebih dulu teriak setelah paham apa yang terjadi. Mereka ikut kalap ke luar rumah, meneriaki maling motor yang pasti sudah jauh.
Saya lemas. Hingga detik itu saya masih belum tahu motor siapa yang dibawa pergi si pencuri. Bahkan tangan saya gemetar. Saya takut. Saya takut kalau itu motor saya. Dalam hati saya terus berharap semoga itu motor orang lain saja yang dibawa kabur. Motor siapa saja terserah asal bukan motor saya.
Meski akhirnya lega setelah tahu itu motor tetangga, beberapa hari sejak kejadian itu saya masih takut. Takut kalau itu menimpa saya. Tapi bukan itu yang mau saya omongkan di sini. Lama-lama dipikir, saya justru terkejut pada kenyataan, bahwa saya nyatanya bisa menjadi jahat. Saya merasa sedikit menyesal dengan doa saya.
Harapan saya yang tercetus saat itu hanya berupa contoh bukti bahwa kita sebagai manusia yang katanya tinggi akal dan budinya masih sangat menempatkan insting dalam merespon suatu hal. Kita yang katanya makhluk sosial, pada kenyataannya jauh di dalam dirinya selalu berharap kebaikan bagi dirinya sendiri dan tidak peduli apa yang terjadi dengan orang lain. Dan saya yang antroposentris ini, di kala kepepet bisa menjadi liar. Entah dalam prilaku atau pun pikiran seperti yang saya lakukan. Sedikit menakutkan, heh?
Merembet ke kasus yang lebih luas, dan ini memang akan ke mana-mana, semua ujung-ujungnya soal ego. Tapi apa saya bisa dikatakan egois, kalau yang semacam ini kata Thomas Hobbes sudah menjadi sifat dasar manusia? Berdasarkan cetusan harapan yang saya lakukan saat ada kasus pencurian di depan kos saya itu, saya sedikit banyak setuju sama Kakek Hobbes.
Pikir lah, bahkan yang nampaknya seperti berkorban untuk orang lain, seperti memberi santunan kepada fakir miskin, pun juga demi diri sendiri. Mungkin itu supaya hidup menjadi lebih tenang. Atau mungkin untuk mendapat pahala. Atau ada yang berharap supaya Tuhan melipat gandakan rejeki kita nantinya. Atau biar tidak menyesal kalau nanti uangnya hilang dan dituding karena kurang beramal.
Pengemis bahkan sudah pakai tagline ini loh biar masyarakat mau kasih mereka sedekah. Mereka dengan bangga menyebut diri dibutuhkan untuk beramal dan dapat pahala. Pernah dengar kan?
Jadi, istilah makhluk sosial itu sebenarnya asas dimanfaatkan atau memanfaatkan manusia lainnya. Apa pun akan dilakukan jika itu akan menguntungkan bagi kita.
Tapi kalau berangkat dari teorinya Hobbes tadi, artinya setiap kali manusia berbuat untuk kepentingan diri sendiri berarti kita sedang menyesuaikan diri dengan tuntuan alam. Berarti kalau begini saya sebenarnya jahat nggak ya? Toh saya dituntut oleh alam. Ah...
Sumpah deh, saya mungkin akan ditertawai Dalai Lama kalau pikiran saya masih terpengaruh Thomas Hobbes yang bahkan sudah meninggal pada abad ke-17. Mungkin Dalai Lama bakal bilang, Ris, gimana lo mau bahagia bawaan lo curigaan mulu sama orang. Ya, pada akhirnya saya mau bilang, buang jauh-jauh gunjingan saya tadi, buang, lupakan! Idup kita akan lebih santai, mudah, dan bebas kalau selalu lihat sisi positifnya kan? Dalam artian tidak diracuni pemikiran bahwa setiap orang pasti ada maunya dalam melakukan sesuatu. Iya kan? iya aja lah biar bahagia.
Lalu soal doa saya supaya motor orang lain saja yang dicuri dan bukan milik saya? Ah sudah lah... mungkin cuma saya yang suka berharap sesuatu yang jahat bagi orang lain. Tidak semua manusia seperti saya kan, bukan begitu Dalai Lama?
No comments:
Post a Comment