Berlatar di dunia metafora di mana hewan menjalani
kehidupan layaknya manusia, lewat film animasi Sing (2016), seekor koala jantan, Buster Moon (Matthew McConaughey) berusaha untuk menghidupkan
kembali gedung teater warisan ayahnya. Ia kehabisan akal karena bisnis teaternya
tak lagi punya penonton.
Mr. Moon, hanya dibantu oleh satu-satunya asisten, miss Crawly (diisi sendiri oleh sang
sutradara, Garth Jennings), si kadal hijau yang uzur. Permasalahan muncul
ketika Moon meminta Miss Crawly membuat poster kompetisi menyanyi yang akan ia
adakan dalam rangka menyelamatkan gedung teater. Moon tak menyangka kontesnya
itu mampu menarik banyak sekali minat masyarakat, meski hadiah yang ia tawarkan
hanya sebesar 1.000 dolar AS (Rp 13.363.000). Atau jumlah itu lah yang ia
tawarkan sebelum tanpa disadari si asisten melakukan kesalahan dalam mencetak poster.
Poster hadiah itu salah ketik menjadi 100ribu dolar AS (Rp 1,34 miliar).
Tadinya film ini saya tonton karena iseng saja. Di balik
ceritanya yang sederhana, tidak menduga Jennings yang merangkap tugas sebagai
sutradara sekaligus penulis, dibantu oleh Christophe Laurdelet rupanya
menyisipkan pesan pedas di balik garapannya itu.
Dari animasi ini kita akan mengenal lima karakter penyanyi
yang akhirnya terpilih dari ratusan kontestan yang ikut audisi. Sebutlah Ash (Scarlett Johansson), landak yang
merepresentasikan anak muda penggemar musik rock, Mike (Seth McFarlane), seekor tikus putih angkuh dan culas yang punya suara a
la penyanyi swing, Rosita (Reese
Witherspoon), ibu babi dengan 25 anak, Johnny
(Taron Egerton), anak perampok gorilla yang tak ingin mengikuti jejak ayahnya,
dan Meena (Tori Kelly), gajah pemalu
bersuara emas.
Kelimanya punya latar belakang, mimpi, dan ambisi yang
berbeda. Dari segi cerita, memang sih pengenalan tokoh ini membuat plotnya
melebar ke segala arah. Setiap tokoh mendapat porsinya untuk dikisahkan latar
belakangnya. Tapi justru melalui ini lah, Jennings menyampaikan maksudnya. Bagi
saya, pesan mengenai keadilan gender begitu kuat disampaikan.
Ash, landak ini mengawali karier bernyanyinya sebagai band
duo di café. Namun ia hanya menjadi bayangan pacar sengaknya yang selalu mendominasi penampilan.
“Ash, babe, I’m the
lead singer, ok? Just stick to the backing vocals,” tegur si pacar, Lance,
ketika Ash mengambil porsi menyanyi lebih banyak dari kemauannya.
Pada akhirnya ketika keduanya juga ikut audisi pencarian
bakat, hanya Ash yang diterima. Namun, Lance terus meremehkannya. Ketika Ash
menunjukkan keinginannya untuk menciptakan lagunya sendiri, ia ditertawakan. “I know i make it look easy, babe, but it’s
not,” kata Lance.
Belum lagi Moon memaksa Ash untuk mengenakan pakaian
berwarna pink dengan rok mini untuk penampilannya. Moon juga memaksanya menyanyikan
lagu pop tentang cinta yang dinyanyikan oleh perempuan.
“You’re a female and
you’re a teenager. This song was made for you,” kata Moon ketika diprotes
Ash.
Rasanya, pertunjukan semacam itu banyak kita jumpai di
kehidupan sehari-hari. Perempuan harus menjaga suaranya lirih. Laki-laki adalah
makhluk superior yang harus senantiasa didengar. Jika tidak siap-siap kamu akan
ditinggalkan. Seperti Lance yang kemudian mendapatkan perempuan lain sebagai “korban”
ke-sengak-annya. Sosial juga kerap
membatasi perempuan, bahkan dari segi selera. Pink itu warna perempuan. Musik
pop cinta-cinta-an itu sangat cewe. Yaaahhh
hal-hal basi semacam itu lah…
Lain lagi ceritanya dengan Rosita. Hari-harinya digambarkan
sebagaimana citra ibu rumah tangga yang tak punya waktu untuk dirinya sendiri. Melihat
Rosita, rasanya seperti ada yang mewajibkan dia untuk tersenyum setiap waktu
layaknya pelayan toko melayani pembeli. Itu meski dia lelah dan perhatiannya
hanya ditanggapi tak acuh oleh suaminya, yang hanya mengajaknya bicara ketika
bertanya di mana letak kunci mobil atau soal wastafel kamar mandi yang mampet.
Pada akhirnya Rosita mengkuti kata hati untuk memperjuangkan
mimpi terpendamnya lewat kontes menyanyi milik Moon. Ia mendapatkan cara untuk
tetap bisa mengurus rumah dan 25 anaknya sekaligus datang ke teater. Ia pun
mendesain semacam mesin sederhana yang bisa mengurus dari mulai membangunkan
anak-anaknya, mengingatkan sang suami untuk membawa kunci, menyiapkan sarapan,
mengantar mereka ke pintu ketika akan berangkat sekolah, mencuci piring,
menjemur pakaian, semua itu lengkap dengan rekaman suara Rosita seolah ia ada
di sana sebagaimana biasanya.
Begitu lah cara Rosita menjalankan peran gandanya selama
beberapa hari. Sedih melihat perannya bisa begitu saja digantikan oleh mesin,
tanpa diketahui, baik oleh suami, maupun keduapuluh lima anaknya. Itu sampai
akhirnya sang suami tanpa sengaja megacaukan mesin buatan Rosita. Ini lah titik
balik keluarga Rosita yang pada akhirnya menyadari sisi lain Rosita tidak
sebagai makhluk domestik. Rosita adalah penyanyi dan penari yang hebat!
Belum lagi pemilihan karakter binatang dalam kisah ini. Kalau
dipikir-pikir, kenapa juga pembuat film ini tidak memilih merak yang cantik,
kelinci yang lucu, lumba-lumba yang katanya pandai menyanyi, atau kucing yang
seksi? Justru Meena dan Rosita seakan menampar orang-orang yang hanya memuja
kebagusan fisik dibanding melihat kemampuan mereka sebenarnya. Mike, seekor
tikus kecil yang sempat diremehkan, ternyata juga punya bakat menyanyi yang
mempesona. Saya juga senyum-senyum melihat seekor gorilla menyanyikan lagu I’m
still standing-nya Elton John sambil memainkan piano. Jangan lupakan juga Ash
yang mempertegas kemerdekaan perempuan dalam membuat pilihannya sendiri. Landak
yang dalam film ini digambarkan berbahaya karena durinya yang menancap ke
segala arah itu nyatanya bisa menggebrak panggung dan mendapatkan pengakuan
luar biasa.
Tapi rasanya, terlepas dari soal gender ya, dari awal film
ini memang sudah punya argumen, bahwasanya masyarakat masa kini lebih memilih
untuk menonton pertunjukan bakat atau sebutlah kontes menyanyi seperti The
Voice, X-Factor, atau apalah lainnya, dibanding menonton pementasan semacam
teater. Jadi mau coba iseng menonton film ini?
No comments:
Post a Comment