Tuesday, March 14, 2017

Lagi-Lagi Soal Pelecehan Seksual




Saya lupa awalnya bagaimana, tapi tiba-tiba pembicaraan soal pelecehan seksual muncul di salah satu grup chat saya. Kemudian ada yang mengajukan pertanyaan atau lebih tepatnya semacam polling mengenai apa sih yang menyebabkan terjadinya pelecehan secara seksual?

Ada yang nyeletuk karena hasrat seksual tidak terkendali. Ada yang bilang itu karena adanya kesempatan, kondisi sepi, atau keadaan masyarakat yang renggang. Ada juga yang berpendapat itu karena rasa superioritas. Di antara banyak pendapat itu ada satu yang mengganggu saya. Dia mengaku miris melihat perempuan dengan hot pants yang buka dikit joss (ini istilah dia).

“Kesempatan dan niat memang. Saya pribadi, kalau masuk mal, lihat begituan, kalau ada kesempatan, pengen saya bilangin: ‘kasian orang-orang lain, kulit dan tubuh mulusmu jangan kau umbar, karena yang kena bukan kamu, tapi orang lain, yang kebetulan berposisi lemah’. Soal ilmiah, penelitian macem-macem itu kan cuma omong kosong. Buktinya masih banyak orang yang melakukan kekerasan seksual,” begitu kemudian lengkapnya dia menambahkan pendapatnya.

Oke. Saya akui saya cukup, atau bahkan sangat sensitif dengan pembicaraan soal begini. Tapi kalau di depan orang yang tidak begitu kenal, saya lebih memilih menahan diri dan tidak ikut komentar karena takut saya bisa berapi-api di depan dia.

Cuma begini, saya menangkap argumen itu sedang menempatkan laki-laki sebagai korban. Laki-laki itu lemah sehingga pasif dalam menanggapi “serangan” perempuan berbaju mini. Dan jangan salahkan laki-laki kalau mereka tiba-tiba hilang kesadaran, gelap mata, seperti orang kesurupan, atau khilaf bahasa umumnya, kemudian menyerang perempuan berbaju mini tadi. Kadang tanpa sadar (atau sengaja sih?) banyak orang menempatkan laki-laki semacam makhluk barbar yang otaknya berada di selangkangan. Bukankah ini juga pelecehan untuk laki-laki?

Saya cukup sering mendengar pembenaran seperti, laki-laki nafsu melihat tubuh perempuan itu wajar. Itu sifat alami mereka. Jadi jika mereka mencolek payudara perempuan itu karena terbawa naluri. Sudah alami mereka bersikap begitu. Apa konsekuensinya? Ya sudah tidak bisa disalahkan. Makanya perempuan saja yang harus diperbaiki. Bungkus rapat-rapat lah tubuh perempuan kalau tidak mau tiba-tiba diterkam laki-laki di pinggir jalan. Perempuan harus jaga diri, karena banyak laki-laki yang gagal menahan nafsunya!

Emang beneran begitu apa? Dulu waktu saya duduk di kelas 6 SD, saya belum mengenakan jilbab. Tapi saya ingat saya pakai kaus hitam lengan panjang yang tertutup sampai di bawah batas leher dan celana jeans panjang sampai mata kaki.

Waktu itu siang hari. Kondisi memang sepi, karena kami bertiga, saya dan dua kawan perempuan saya iseng jalan-jalan ke belakang areal masjid yang masih berupa kebun. Dari arah berlawanan ada seorang bapak, sudah agak tua, berjalan ke arah kami. Saya kaget karena si bapak tiba-tiba meremas payudara sebelah kanan saya. Saya takut, tapi saya tidak lari. Kalau lari kedua teman saya pasti akan bertanya dan saya malu jika harus menjelaskan. Maka saya juga tidak teriak.

Kejadian berikutnya waktu saya SMP. Itu terjadi di angkot yang membawa saya pulang dari sekolah. Angkot berhenti untuk mengangkut seorang bapak, yang juga tak lagi muda. Bapak itu duduk di sebelah kanan saya. Angkot yang terisi penuh membuat si bapak makin mepet duduknya di sebelah saya. Saya yang saat itu cuek dan terus ngobrol dengan teman di depan saya, tidak sadar sejak kapan rasanya ada tangan masuk ke saku rok sebelah kanan. Tangan itu tidak bergerak. Cuma diam di sana sambil meraba paha saya. Ketika sadar saya langsung diam. Tidak lagi mood ngobrol. Dan reflek langsung menyikut bapak di sebelah saya itu. Dia sempat menarik tangannya sebentar. Tapi tak lama, karena tangan si bapak kembali masuk saku rok saya. Itu sampai akhirnya penumpang berangsur turun. Saya bisa geser menjauh dan si bapak seperti takut ketahuan karena kami sudah berjarak. Sialnya bapak itu tidak juga turun sampai penumpang hanya tinggal kami berdua di belakang. Rumah saya memang cukup dekat dengan pangkalan angkot, jadi saya cukup sering menjadi satu-satunya penumpang yang tertinggal. Saya sangat bersyukur ketika akhirnya bisa keluar dari angkot itu. Tapi ketika keluar, bapak yang sudah pindah duduk di samping pintu itu tidak diam saja. Di samping telinga saya, dia mengeluarkan bunyi decakan yang membuat saya sangat tidak nyaman.

Untuk ketiga kalinya saya mengalami kejadian serupa. Waktu itu sudah kuliah. Saya sudah pakai jilbab. Kondisi sepi karena saya sedang lari pagi sehabis waktu solat subuh. Saya lari di rute biasanya, jalan raya kompleks. Tidak ada pikiran buruk apapun ketika itu. Saya memang suka lari pagi waktu mobil dan motor belum berseliweran. Tapi pagi itu, tiba-tiba saya merasa ada yang tidak beres. Saya mulai sadar kalau di belakang saya ada suara motor yang berjalan pelan seperti mengikuti. Saya percepat lari saya, motor itu tetap terus menjaga posisi, persis di belakang saya. 

Bohong kalau bilang saya tidak takut. Apalagi tidak ada orang di sekitar situ. Tiba-tiba orang itu, dari arah belakang, menjulurkan tangannya dan meremas pantat saya lengkap dengan seruan tidak mengenakkan dari mulutnya, sambil tancap gas. Saya marah, kaget, sekaligus bingung. Mata saya belingsatan mencari batu besar yang mungkin bisa saya lempar dan mampu memecahkan kepalanya seketika. Karena tidak ketemu juga, saya cuma bisa meneriakinya dengan semua makian yang melintas di otak saya.

Pagi itu, lari pagi saya tidak sampai setengah jam. Saya langsung lari pulang. Butuh waktu lama untuk akhirnya saya berani lari pagi sendirian lagi. Bahkan sampai sekarang saya suka merasa gelisah jika mendengar suara motor yang berjalan pelan di belakang saya. Amarah itu pun masih ada. Bahkan ketika menuliskan cerita ini saya masih sangat menyesal kenapa di sekitar saya tidak ada benda yang bisa membuat orang itu mati di tempat.

Itu juga yang membuat saya tidak bisa tidak marah ketika ada seseorang yang malah menyalahkan busana perempuan ketika mereka adalah korban. Coba tunjukkan pakaian saya yang mana yang salah sehingga membuat saya PANTAS dilecehkan? Atau apa? Saya salah karena saya hanya diam? Tidak teriak? Atau saya salah karena saya yang perempuan ini jalan-jalan di tempat sepi atau saya salah besar karena lari pagi sendirian? Saya tidak cukup terampil menjaga diri dan hanya memancing orang berbuat mesum pada saya? Saya salah karena saya tidak segera turun dari angkot ketika tahu paha saya diraba? Atau saya salah karena saya kan bisa saja minta tukar posisi duduk dengan teman saya. Begitu?

Kadang saya berpikir, mungkin kah lebih mudah berpikir untuk mengatur perempuan, baik dalam berpakaian maupun bertindak dibanding memikirkan cara mengatur nafsu untuk berbuat mesum. Apapun alasannya, perilaku mendobrak privasi orang lain itu sudah salah. Logika membenarkan itu. Apakah ketika kemalingan, yang dipenjara yang punya rumah? Apakah ketika dijambret yang dihukum yang dijambret? Ini logika darimana?

Ketika teman saya di grup itu mengaku cukup miris melihat perempuan memakai pakaian mini yang dinilai bisa menggerakkan naluri laki-laki, saya justru miris ketika orang beramai-ramai membenarkan alasan ini, bahkan di TV. Korban pelecehan ini sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sudah dirugikan karena tubuhnya dijamah tanpa izin, masih harus menanggung malu dan disalahkan semua orang.

Saya cukup kecewa, karena pikiran ini bukan hanya menjangkiti laki-laki. Bahkan sesama perempuan juga banyak yang lebih dulu mencari “kesalahan” si korban pelecehan dibanding mendengarkan ungkapan ketakutan dan rasa malu korban setelah dilecehkan.

“Etapi dianya kan emang bukannya suka gitu ya sama cowo. Itu sih gue bilang emang dari cewenya dulu sih. Kalau cewenya nggak ngasih kesempatan ya nggak bakalan jadi,” begitu kata salah satu teman perempuan saya sewatu saat ketika menanggapi kasus pelecehan yang pernah terjadi di sekitar kami.


Saya cuma diam. Malas menanggapi. Saya cukup tahu teman saya ini sudah lebih dulu diyakinkan lingkungannya untuk mempercayai hal-hal semacam itu. Saya malas berdebat. Dengannya, saya berjanji pada diri sendiri, tidak akan lagi membahas hal semacam ini atau saya bisa-bisa malah menjauh darinya dan malas berteman dengannya lagi. 



*) gambar dari sini

No comments:

Post a Comment