Monday, September 14, 2015

Kontemplasi Seperempat Abad Pengesahan Diri Sebagai Manusia Bumi






Suatu hari di Bulan September, jarum jam menunjuk pukul 00.00 WIB. Detik itu juga hari sudah bisa ditanggali 7 September. Dua puluh lima tahun yang lalu, saya datang menginvasi bumi. Sama seperti manusia lain, yaitu lewat selangkangan perempuan mulia yang kemudian saya panggil ibu.

Dan... setelah sepekan berlalu dari tanggal itu, saya malah heran. Banyak anggapan, umur 25 tahun itu masa peralihan sebenarnya, khususnya buat perempuan. Masa? Apa ada yang berubah? Memang kenapa kalau kebetulan angka itu tepat seperempat abad?

Kenyataannya, saya tetap merasa sama. Dan yakin lah Anda semua juga pasti begitu. Selera humor tetap sama. Gaya tertawa juga, kalau saya masih gagah dan lebar. Hobi juga tidak akan berubah. Tidak lantas jadi suka masak dan bersih-bersih seperti angapan banyak orang soal bagaimana perempuan dewasa seharusnya.

Umur setau saya tidak akan banyak merubah seseorang. Justru keadaan yang lebih banyak berperan.

Kalau saya, saya sudah hampir dua tahun pisah hidup dari orang tua. Tanggung jawab sebagai seorang manusia yang hidup numpang di dunia sudah saya rasakan sejak sebelum jarum jam mengubah usia saya.

Dan memang sih agak heran juga setelah tahu ternyata menjadi 25 tahun itu biasa saja. Padahal dulu saya punya banyak rancangan untuk kehidupan di usia ini. Sama lah kaya remaja-remaja lainnya...

Kalau dingat pasti geli sendiri. Banyak kan yang ketika remajanya membayangkan di umur ini sudah bisa punya rumah, mobil, dan suami? Haha. Tos dulu lah! Kita sama. Saya malah juga merasa di umur 25 tahun, sudah bisa menerbitkan buku sendiri.

Kenyataannya? Mungkin banyak yang sudah berhasil dapat ini itu. Tapi tidak sedikit juga kan yang di umur 25, ibaratnya baru memasang pondasi untuk kehidupan di masa depan. Dan apa sudah cukup kokoh? Ya belum tau.

Bahkan ada masa ketika kita terlalu menghubung-hubungkan aktivitas menikah dengan umur 25 tahun. "Saya akan menikah umur 25 tahun." atau "Umur 25 tahun saya sudah harus menikah!" begitu dan lain-lain.

Kalau saya sih, bisa dijelaskan kenapa begitu. Faktanya, di umur 25 tahun, ibu saya menikah dengan ayah saya. Ayah saya waktu itu umurnya 30 tahun. Ideal? Iya, akhirnya itu menjadi ukuran ideal buat saya.

Tapi kan kita bisa berkelit. Kehidupan terus bergulir. Dan tidak semua hal bisa diukur sama dengan yang sudah lampau.

Ya sudahlah... sebagai manusia visioner, ada baiknya kita punya peta hidup yang jelas. Saya pun akhirnya lebih memutuskan umur ini adalah kesiapan awal saya untuk benar benar melangkah. Melangkah ke mana? Ke kehidupan yang lebih serius. Dalam hal apapun. Termasuk masa depan. Termasuk soal pekerjaan. Termasuk soal tabungan. Termasuk soal pemenuhan kebutuhan primer: sandang, pangan, papan. Juga termasuk soal pernikahan tadi.

Engg.., Memang sih yang terakhir itu masih cukup abstrak....

No comments:

Post a Comment