Dengan terburu-buru Ila masukkan masakannya ke dalam rantang. Cepat-cepat ia berikan kepada kurir pengantar makanan yang sudah menunggunya di depan pintu.
Makanan di dalam tas hijau itu pun berpindah-pindah dalam perjalanannya menuju tempat tujuan. Dari atas sepeda, tas rantang milik Ila bersama tas rantang lainnya diusung masuk ke dalam kereta. Sampai stasiun tujuan, tas rantang kembali diangkut dengan gerobak untuk sampai ke kantor di mana seorang laki-laki bekerja.
Jam makan siang. Lelaki yang mendapat kiriman rantang dari Ila tadi mulai membuka rantang itu. Namun, ia terlihat bingung. Satu persatu rantang bertingkat di hadapannya ia lepas dari rangkanya. Ia ciumi aroma masakan di dalamnya. Meski awalnya terlihat bingung, isi rantang itu akhirnya tetap ia makan juga.
Jam makan siang pun berakhir. Rantang milik Ila kembali dikirim pulang bersama rantang makanan lainnya. Dengan perjalanan panjang yang sama seperti saat datang, rantang itu berhasil kembali ke tangan Ila.
Begitu sampai, ibu satu anak itu langsung memeriksa rantangnya. Ia tersenyum. Rantangnya kosong. Makanan yang ia buat dilahap habis oleh si penerima.
Sorenya, lelaki penerima rantang tadi bergegas pulang dari kantor. Di saat yang sama, Ila terlihat mendandani dirinya dengan celak. Ia mengikat rambutnya sedemikian rupa hingga terlihat lebih cantik dari sebelumnya. Ila seperti akan menyambut seseorang.
Dan ya, ia menanti suaminya tiba. Bel berbunyi, suami yang Ila sebut dengan nama Rajiv itu pun masuk dengan sedikit tergesa. Tanpa menyapa dan berkomentar apa-apa, lelaki itu begitu saja melewati Ila. Kejutannya adalah, wajah Rajiv bukanlah wajah lelaki yang menerima rantang makan siang Ila. Rupanya tanpa Ila tahu, rantang makan siangnya tertukar.
Di sinilah konflik dalam film The Lunchbox (2013) dimulai. Saat cerita bergulir di awal, kita akan dibuat yakin si penerima adalah suami Ila. Memang tidak ada penegasan lewat dialog yang mengatakan Rajiv (Nakul Vaid) tidak menerima rantang yang seharusnya. Namun, Ila (Nimrat Kaur) dan kita para penonton pun akhirnya tahu, karena Rajiv membicarakan makan siang yang bukan masakan sang istri.
Di awal pun, lelaki penerima rantang Ila yang akhirnya diketahui bernama Saajan Fernandes (Irrfan Khan) itu tidak mengungkapkan kebingungannya lewat ucapan. Ia yang belum sadar makan siangnya tertukar justru mendatangi restoran tempat dari mana seharusnya ia mendapatkan makan siangnya. Ia meminta agar besok dibuatkan lagi masakan seenak yang ia terima siang itu.
Kalaupun pada akhirnya Ila dan Saajan saling jatuh cinta, itu tak tampak jelas di film ini. Tak ada dramatisasi. Tak ada ucapan apapun yang puitis atau bermakna cinta.
Kedua tokoh utama, hanya berbalas pesan singkat lewat surat yang dimasukkan lewat rantang makan siang. Ila yang tahu rantangnya salah alamat pun sengaja tidak berbuat apa-apa. Ia senang karena masakannya disukai.
Film dari tanah Hindustan itu selain bercerita soal jasa pengiriman makan siang bernama Dabbawala, secara umum memang bicara soal ungkapan cinta lewat rantang dan surat. Tapi dari interaksi lewat rantang dan surat itu lah, kita akan bisa mendapat kesan soal kehidupan dua orang kesepian yang tinggal di tengah salah satu kota teramai di India. Lewat surat juga, mereka saling menulis tentang, mulai kehidupan Saajan yang sudah lama ditinggal mati istrinya dan Ila yang tidak lagi mendapatkan kehangatan dari sang suami.
Ritesh Batra, sang sutradara, dalam film ini memang memilih menggunakan cara-cara tidak langsung untuk menjelaskan segala sesuatu. Saya pribadi menyukainya. Di filmnya, bahasa visual terasa lebih dalam dibandingkan dialog. Meski dari segi naskah pun sebenarnya Batra, yang dibandtu Rutvik Oza, selalu bisa memilih kata-kata yang jauh dari kesan kacangan. Justru dialog itu bisa membaur dengan apik bersama situasi dan segala simbol visual yang sengaja dimunculkan.
Ditambah lagi, semua itu didukung akting yang pas. Bukan pas-pasan, tapi pas. Ekspresi tokoh yang bermain banyak di film ini pun bisa menyampaikan kesan cerita dengan baik kepada penonton.
Begitu juga dengan peran pemeran pendukungnya, mulai dari Shaikh yang baik tapi menyebalkan, sampai tokoh yang dipanggil Auntie oleh Ila. Tokoh Auntie ini juga sangat spesial. Ia begitu dalam dikisahkan oleh Ila, pun begitu sering bercakap-cakap denganya. Uniknya, Auntie adalah tokoh yang hanya terdengar suaranya.
Juga menarik untuk diperhatikan adalah bagaimana cara Batra dalam karya debutnya ini, menyambung adegan per adegan dengan lagu yang sama, tapi melalui jalan yang berbeda. Misalnya, dalam satu adegan, Ila mendengarkan lagu lewat radio. Di saat yang sama, Saajan mendengar lagu itu lewat mulut-mulut pengamen cilik di dalam kereta. Ini seolah Ila dan Saajan selalu ada di dunia yang sama meski mereka tidak pernah bertemu.
Film ini memang terkesan sederhana. Namun yakinlah, kita semua tetap tidak akan pernah bisa benar-benar menebak akhir kisah ini. Sejak awal, kita dituntun jalan cerita tanpa berharap cerita ini akan menjadi seperti apa.
Setidaknya itu yang saya rasakan. Namun, justru karena tanpa harapan apapun, maka ketika kisah ini berakhir ambigu, saya tidak kecewa. Dan sejujurnya, saya memang selalu merasa lebih suka dengan drama yang berakhir "tidak jelas".
Lalu, seperti pada umumnya orang jatuh cinta, kedua tokoh selalu penuh harap ketika ratang itu tiba. Mereka tidak sabar membaca surat yang dikirimkan satu sama lain. Karakter Saajan yang dingin pun perlahan mulai berganti menjadi lebih hangat. Ia jadi lebih sering tersenyum. Sementara Ila, ia pun menjadi lebih tabah menjalani kehidupan rumah tangganya. Ini memang klise. Tapi bukankah semua orang seperti itu saat sedang jatu cinta? Jadi, selamat menonton!
(poster dari sini)
No comments:
Post a Comment